Pernikahan di Era Kontemporer: Pelajaran dari Hadis tentang Banyak Isteri

 

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar ikatan lahiriah antara dua insan, melainkan sebuah komitmen spiritual yang diatur dengan prinsip keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab. Dalam sejarah Rasulullah ﷺ, kehidupan rumah tangga beliau menjadi teladan yang kaya akan hikmah, termasuk dalam hal pengaturan waktu, hak-hak istri, dan penghormatan terhadap pasangan, bahkan setelah wafat.

Salah satu riwayat penting datang dari Ibnu Abbas r.a., yang menceritakan peristiwa pengurusan jenazah Maimunah binti al-Harits, istri Nabi ﷺ. Riwayat ini tidak hanya memuat kisah tentang adab menghormati jenazah perempuan, tetapi juga memberikan gambaran nyata mengenai kehidupan rumah tangga Nabi ﷺ yang memiliki beberapa istri, serta bagaimana beliau membagi keadilan di antara mereka.

Di era kontemporer, pembahasan mengenai pernikahan—termasuk isu poligami—sering kali menimbulkan perdebatan. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk keadilan dan solusi sosial, sementara yang lain memandangnya dengan skeptis. Oleh karena itu, memahami teladan Nabi ﷺ melalui hadis-hadis shahih menjadi penting agar pembahasan tidak lepas dari landasan agama, etika, dan nilai kemanusiaan yang luhur.

Sumber Gambar: Dreamina AI


1. Latar Belakang Hadis

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. ini terjadi ketika beliau menghadiri pemakaman Maimunah binti al-Harits di sebuah tempat bernama Syarif (dalam beberapa riwayat disebut Sarf), sekitar 10 mil dari Mekah. Maimunah adalah istri terakhir yang dinikahi Nabi ﷺ dan merupakan wanita yang penuh ketakwaan. Dalam momen tersebut, Ibnu Abbas mengingatkan para pengusung jenazah untuk memperlakukan jenazah dengan penuh kelembutan, tidak menggoncang atau mengguncang usungan dengan kasar, karena beliau adalah istri Rasulullah ﷺ.


حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوْسَى اَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ أَنَّ ابْنَ جُرَيْجٍ اَخْبَرَهُمْ قَالَ اَخْبَرَنِي عَطَاءٌ قَالَ حَضَرْنَا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ * جِنَازَةَ مَيْمُونَةَ بِسَرِفَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هَذِهِ زَوْجَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاِذَا رَفَعْتُمْ نَعْشَهَا فَلَا تُزَعْزِعُوهَا وَلَا تُزَلْزِلُوهَا وَارْفُقُوا فَإِنَّهُ كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعٌ كَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ وَلَا يَقْسِمُ لِوَاحِدَةٍ


Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Musa] Telah mengabarkan kepada kami [Hisyam bin Yusuf] bahwa [Ibnu Juraij] telah mengabarkan kepada mereka, ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku [Atha'] ia berkata; Kami pernah menghadiri jenazah Maimunah bersama Ibnu Abbas di Saif, lalu [Ibnu Abbas] berkata, "Ini adalah salah seorang isteri Nabi SAW. Jika kalian mengangkat usungannya, maka janganlah kalian menggoncangkannya dengan keras, kokohkanlah dengan sempurna. Sesungguhnya di sisi Nabi SAW ada sembilan orang isteri, beliau membagi hari-hari kepada delapan orang, sementara kepada yang satu orang tidak." (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah, Bab Man Takatsara an-Nisa’, no. hadis 5069. Dar al-Ta’liq, Beirut.)

Maksud hadis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Hadis ini menceritakan peristiwa ketika Ibnu Abbas r.a. menghadiri pemakaman Maimunah binti al-Harits, salah satu istri Nabi Muhammad ﷺ, di sebuah tempat bernama Sarif. Ibnu Abbas mengingatkan para pengusung jenazah agar memperlakukan jenazah dengan lembut, tidak menggoncang atau menggerakkannya secara kasar, sebagai bentuk penghormatan terhadap kedudukan beliau sebagai istri Rasulullah ﷺ. Pada kesempatan itu, Ibnu Abbas juga menjelaskan bahwa Nabi ﷺ memiliki sembilan istri, dan beliau membagi giliran waktu (hari-hari) secara adil untuk delapan istri, sementara satu istri tidak mendapat giliran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan rumah tangganya, Rasulullah ﷺ menerapkan prinsip keadilan dan pengaturan yang jelas dalam poligami, sekaligus memberikan pengecualian tertentu berdasarkan alasan syar’i atau kesepakatan yang berlaku di antara beliau dan istrinya tersebut. Hadis ini sekaligus menjadi dalil tentang pentingnya menjaga kehormatan pasangan hidup bahkan setelah wafat, serta memberi gambaran praktik pembagian waktu dalam pernikahan poligami di masa Rasulullah ﷺ.

Penafsiran Hadis

Hadis ini mengandung dua pokok ajaran:

  1. Penghormatan terhadap pasangan, bahkan setelah wafat
    Rasulullah ﷺ sangat menjaga martabat istri-istrinya. Nasihat Ibnu Abbas kepada para pengusung jenazah Maimunah r.a. agar tidak mengguncang usungan dengan kasar menunjukkan bahwa Islam mengajarkan kelembutan, kehati-hatian, dan penghormatan kepada seseorang yang telah wafat, terlebih jika ia memiliki kedudukan mulia.

  2. Keadilan dalam poligami
    Nabi ﷺ memiliki sembilan istri, dan beliau membagi hari-harinya secara adil untuk delapan orang, sementara satu istri tidak masuk dalam pembagian tersebut. Para ulama menafsirkan bahwa istri yang tidak mendapat pembagian itu adalah istri yang secara khusus menyerahkan gilirannya kepada istri lain (dalam riwayat disebutkan Saudah binti Zam’ah yang menyerahkan gilirannya kepada Aisyah r.a.). Ini menunjukkan bahwa keadilan dalam poligami adalah kewajiban, namun pengaturan waktu bisa disesuaikan berdasarkan kesepakatan yang ikhlas.

Catatan Hadis

  1. Sumber Hadis

    • Hadis ini tercatat dalam Shahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah (Pernikahan), Bab Man Takatsara an-Nisa’ (Banyak Isteri).

    • Diriwayatkan melalui jalur Ibrahim bin Musa → Hisyam bin Yusuf → Ibnu Juraij → Atha’ → Ibnu Abbas r.a.

  2. Konteks Peristiwa

    • Terjadi ketika Ibnu Abbas menghadiri jenazah Maimunah binti al-Harits r.a., salah satu istri Rasulullah ﷺ, yang wafat di daerah Sarif (dekat Makkah).

    • Ibnu Abbas memberi nasihat kepada para pengusung jenazah agar berhati-hati dan tidak mengguncangkannya, sebagai bentuk penghormatan.

  3. Kandungan Makna

    • Adab terhadap jenazah: Islam mengajarkan agar memperlakukan jenazah dengan lembut dan penuh hormat.

    • Keadilan Rasulullah ﷺ dalam poligami: Beliau membagi hari secara merata kepada delapan istri, sementara satu istri tidak mendapat bagian karena menyerahkan gilirannya dengan ridha.

    • Penghormatan terhadap pasangan: Baik semasa hidup maupun setelah wafat, pasangan tetap harus dihormati.

  4. Kedudukan Hadis

    • Termasuk hadis shahih karena diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad yang bersambung, perawi-perawinya tsiqah (terpercaya), dan tidak ada cacat dalam sanad maupun matan.

  5. Pelajaran Penting

    • Menunjukkan kelembutan Rasulullah ﷺ.

    • Mengajarkan bahwa keadilan adalah prinsip pokok dalam poligami.

    • Mengingatkan pentingnya adab dalam mengurus jenazah.

Relevansi untuk Era Kontemporer

Dalam konteks pernikahan masa kini, hadis ini memberikan pelajaran penting:

  • Penghormatan dalam rumah tangga harus terus dijaga
    Bahkan setelah pasangan meninggal, sikap hormat, menjaga nama baik, dan mengenang jasa pasangan tetap menjadi ajaran yang luhur.

  • Keadilan bukan sekadar teori, tetapi praktik nyata
    Dalam poligami, keadilan mencakup pembagian waktu, perhatian, dan kebutuhan. Islam menuntut standar keadilan yang tinggi agar tidak ada pihak yang dizalimi.

  • Kesepakatan dan komunikasi
    Hadis ini mengisyaratkan pentingnya kesepakatan yang sehat dalam rumah tangga. Di era sekarang, meskipun poligami menjadi topik yang kontroversial, prinsip saling ridha, komunikasi terbuka, dan kesepakatan yang adil tetap relevan bahkan dalam pernikahan monogami.

  • Nilai kelembutan dalam interaksi
    Baik dalam mengurus jenazah maupun berinteraksi dengan pasangan yang masih hidup, kelembutan adalah ciri akhlak Rasulullah ﷺ yang patut dicontoh.

Pernyataan ini memperlihatkan dua hal penting:

  1. Adab terhadap jenazah — termasuk menjaga kehormatan perempuan yang telah wafat.

  2. Penghormatan terhadap keluarga Nabi ﷺ — bahkan setelah wafat, status beliau tetap dihormati.

Selain itu, Ibnu Abbas menyampaikan fakta bahwa Rasulullah ﷺ pada masa hidupnya memiliki sembilan istri, dan beliau membagi waktu kepada delapan orang, sementara satu orang tidak mendapatkan pembagian tertentu. Ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah istri yang beliau tidak bagi jadwalnya karena suatu kondisi, seperti sakit atau pengaturan khusus.

2. Makna Kandungan Hadis

Hadis ini mengandung beberapa hikmah:

a. Adab dalam Mengurus Jenazah

  • Islam mengajarkan untuk memperlakukan jenazah dengan penuh kelembutan.

  • Khusus bagi perempuan, perlu dijaga kehormatan dan auratnya, termasuk dalam cara mengangkat atau memindahkan jenazah.

b. Penghormatan Terhadap Pasangan

  • Status pernikahan tidak gugur secara moral setelah pasangan wafat; penghormatan tetap dijaga.

  • Teladan ini menunjukkan bahwa ikatan pernikahan memiliki dimensi penghormatan yang abadi.

c. Keadilan dalam Rumah Tangga

  • Nabi ﷺ memberikan pembagian waktu secara adil kepada para istrinya.

  • Meskipun memiliki banyak istri, beliau tetap mempraktikkan prinsip al-‘adl (keadilan) yang menjadi syarat utama poligami.

d. Kebijaksanaan dalam Pengecualian

  • Ada kondisi tertentu di mana pembagian waktu berbeda karena alasan syar’i atau kesehatan.

  • Hal ini menunjukkan fleksibilitas syariat dalam kondisi khusus, selama tidak menghilangkan hak dasar pasangan.


3. Poligami dalam Konteks Sejarah

Poligami pada masa Rasulullah ﷺ memiliki beberapa alasan:

  1. Perlindungan sosial — menikahi janda syuhada untuk memberi nafkah dan perlindungan.

  2. Penguatan dakwah — mempererat hubungan dengan suku-suku melalui pernikahan.

  3. Pengajaran hukum keluarga — istri-istri Nabi menjadi guru umat dalam urusan rumah tangga.

Nabi ﷺ bukan menikah untuk kepentingan hawa nafsu semata, tetapi karena alasan syar’i, sosial, dan strategis.


4. Relevansi di Era Kontemporer

Dalam masyarakat modern, poligami menjadi isu yang kompleks. Beberapa poin relevan yang dapat diambil dari hadis ini adalah:

a. Prinsip Keadilan Harus Menjadi Pondasi

  • Tidak cukup hanya mampu secara materi, tetapi juga mampu secara emosional dan spiritual.

  • Keadilan meliputi pembagian waktu, perhatian, dan nafkah batin.

b. Penghormatan dan Martabat Perempuan

  • Baik dalam pernikahan tunggal maupun poligami, istri harus diperlakukan dengan penuh hormat.

  • Bahkan setelah wafat, penghormatan tersebut tetap dijaga.

c. Fleksibilitas Hukum

  • Dalam kondisi tertentu, pembagian waktu atau hak dapat diatur sesuai kesepakatan bersama, tanpa mengabaikan prinsip syariat.

d. Konsekuensi Sosial

  • Di era modern, poligami sering menuai kontroversi karena faktor emosi, budaya, dan kesetaraan gender.

  • Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap teladan Nabi ﷺ menjadi kunci agar tidak menimbulkan mudarat.

Kesimpulan

Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. tentang pemakaman Maimunah binti al-Harits memberikan pelajaran berharga mengenai adab, penghormatan, dan keadilan dalam pernikahan. Dari peristiwa tersebut, kita belajar bahwa:

  1. Penghormatan terhadap pasangan hidup tidak berakhir saat kematian. Status dan kehormatan tetap dijaga, bahkan di hadapan masyarakat.

  2. Keadilan dalam rumah tangga adalah syarat mutlak dalam poligami, sebagaimana Nabi ﷺ membagi waktu dengan adil kepada para istrinya.

  3. Fleksibilitas syariat memungkinkan adanya pengecualian pembagian waktu atau hak dalam kondisi tertentu, selama dilakukan dengan kesepakatan dan alasan yang benar.

  4. Perlakuan lembut terhadap jenazah adalah bagian dari adab Islam yang menjunjung tinggi martabat manusia, terlebih bagi perempuan.

Di era kontemporer, ketika isu pernikahan dan poligami kerap menjadi bahan perdebatan, teladan Rasulullah ﷺ memberikan panduan yang jelas: pernikahan adalah institusi yang harus dibangun di atas keadilan, penghormatan, dan tanggung jawab, bukan sekadar pemenuhan hasrat atau status sosial.

Dengan memahami hikmah dari hadis ini, umat Islam dapat menempatkan praktik pernikahan—baik monogami maupun poligami—dalam kerangka yang sesuai dengan nilai-nilai syariat, sekaligus relevan dengan tantangan zaman.


Comments