Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga: Ketika Suami Menolak Berhubungan Intim dan Dampaknya dalam Pandangan Islam

 

Sumber Gambar: Rumaysho

Pendahuluan

Pernikahan adalah ikatan suci yang dilandasi oleh cinta, kasih sayang, dan tanggung jawab antara dua insan. Dalam Islam, pernikahan tidak hanya sebatas kontrak sosial atau formalitas administratif, tetapi juga merupakan bentuk ibadah yang bertujuan untuk menjaga fitrah, membangun ketenangan (sakinah), dan meneruskan keturunan yang saleh.

Namun, seperti halnya hubungan antar manusia pada umumnya, pernikahan juga tak lepas dari ujian, konflik, dan tantangan. Salah satu masalah yang sering muncul dalam rumah tangga adalah ketidakharmonisan dalam hubungan suami-istri, terutama dalam aspek hubungan seksual. Ketika seorang suami dengan sengaja menolak atau bahkan bersumpah untuk tidak berhubungan badan dengan istrinya, muncul berbagai pertanyaan: Apa dampaknya? Apakah hal tersebut diperbolehkan dalam Islam? Bagaimana cara menyikapinya?

Artikel ini akan membahas secara mendalam dampak psikologis, hukum Islam, dan solusi untuk menjaga keharmonisan hubungan intim dalam pernikahan, khususnya ketika terjadi sumpah suami untuk menolak hubungan seksual dengan istrinya.


Bab I: Hak dan Kewajiban dalam Hubungan Suami-Istri

1.1 Tujuan Pernikahan dalam Islam

Al-Qur’an menyebutkan:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”
(QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini menggambarkan betapa pentingnya rasa tenteram, kasih sayang, dan cinta dalam rumah tangga. Salah satu cara mencapai ketenangan tersebut adalah melalui hubungan intim yang halal dan penuh kasih.

1.2 Hak Istri atas Suami

Dalam Islam, istri memiliki hak yang harus dipenuhi suami, baik secara lahir (nafkah, tempat tinggal, pakaian) maupun batin (kasih sayang dan hubungan seksual). Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya pada dirimu ada hak istrimu."
(HR. Muslim)

Istri memiliki hak untuk dipenuhi kebutuhan biologisnya secara teratur dan sehat. Menolak hubungan tanpa alasan yang syar’i dapat menjadi sebab munculnya dosa dan konflik dalam rumah tangga.


Bab II: Ketika Suami Menolak Berhubungan Intim

2.1 Sumpah Suami untuk Tidak Menyentuh Istri: Apa yang Dimaksud?

Dalam istilah fikih, terdapat konsep yang dikenal dengan “Ila” yaitu sumpah suami untuk tidak berhubungan intim dengan istrinya selama waktu tertentu. Jika melebihi empat bulan, maka sumpah tersebut akan menimbulkan konsekuensi hukum.

2.2 Hukum “Ila” dalam Islam

Menurut para ulama, jika suami bersumpah tidak menyentuh istrinya lebih dari empat bulan, maka istri berhak untuk meminta talak atau cerai karena kebutuhan biologisnya diabaikan. Hal ini berdasarkan firman Allah:

"Bagi orang-orang yang meng-ila (bersumpah tidak menggauli istrinya) diberi tangguh empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan untuk menceraikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: 226–227)


Bab III: Dampak Psikologis dan Emosional bagi Istri

3.1 Rasa Ditolak dan Luka Emosional

Seorang istri yang terus-menerus ditolak suaminya dalam hubungan intim akan merasakan penolakan secara emosional. Hal ini dapat menyebabkan:

  • Merasa tidak dicintai atau tidak diinginkan

  • Penurunan harga diri

  • Ketidakstabilan emosi

  • Kecemasan dan depresi

3.2 Ketegangan Rumah Tangga

Ketidakharmonisan dalam ranjang sering kali menjalar ke aspek lain: komunikasi menjadi dingin, perhatian berkurang, dan konflik kecil menjadi besar. Seks bukan hanya soal fisik, tapi juga simbol keintiman dan keterikatan batin.

3.3 Potensi Gangguan dari Pihak Ketiga

Dalam beberapa kasus ekstrem, ketidakharmonisan seksual dalam pernikahan membuka pintu godaan dari luar: perselingkuhan, pornografi, bahkan perceraian. Maka penting bagi suami dan istri untuk saling terbuka dan mencari solusi dini.


Bab IV: Alasan yang Mungkin Melatarbelakangi Suami

4.1 Faktor Psikologis

  • Depresi atau stres berat akibat pekerjaan, masalah keuangan, atau keluarga.

  • Gangguan kepercayaan diri, misalnya merasa tidak mampu memuaskan istri atau mengalami ejakulasi dini.

  • Pengalaman traumatik, misalnya pelecehan atau kekerasan masa lalu.

4.2 Faktor Spiritual

  • Keinginan untuk berzuhud atau menahan diri dari hawa nafsu, namun tidak pada tempatnya.

  • Salah memahami makna ibadah dengan menjauhi hubungan duniawi secara total.

4.3 Konflik atau Dendam Emosional

Beberapa suami menolak istri sebagai bentuk protes, hukuman, atau respon dari konflik rumah tangga yang belum terselesaikan. Ini tentu bertentangan dengan etika Islam.


Bab V: Menyikapi dan Menyelesaikan Masalah Ini

5.1 Komunikasi Terbuka

Langkah awal adalah membuka dialog dengan penuh kelembutan dan kejujuran. Gunakan bahasa non-verbal (sentuhan, pelukan) jika kata-kata terasa berat. Jangan menyalahkan, tapi ajak mencari jalan keluar bersama.

5.2 Konsultasi dengan Ahli

Jika masalah berakar dari gangguan psikologis, sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog atau konselor keluarga Islami. Bila karena faktor medis, maka dokter urologi/andrologi dapat membantu.

5.3 Rujuk ke Ulama atau Mediator

Melibatkan pihak ketiga yang bijak, seperti ustadz atau mediator keluarga, bisa membantu membuka komunikasi yang selama ini tersumbat.

5.4 Hak Istri dalam Islam

Jika suami terus bersumpah tidak menyentuh istrinya tanpa alasan syar’i lebih dari empat bulan, maka istri berhak mengajukan cerai (khulu') demi menjaga kesehatan mental, spiritual, dan fisik dirinya.


Bab VI: Perspektif Ulama dan Hukum Islam

6.1 Pendapat Mazhab

  • Mazhab Syafi’i dan Hanafi: Sumpah lebih dari 4 bulan tanpa hubungan adalah bentuk “Ila” dan menjadi sebab gugatan cerai.

  • Mazhab Hambali: Hak istri lebih dikedepankan jika terbukti adanya penderitaan.

  • Mazhab Maliki: Bila hubungan tak terjadi tanpa sumpah sekalipun, maka tetap menjadi alasan fasakh (pembatalan pernikahan).

6.2 Fatwa Lembaga Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga fatwa di berbagai negara juga sepakat bahwa hubungan seksual adalah hak istri yang wajib dipenuhi kecuali ada uzur syar’i.


Bab VII: Membangun Kehidupan Seksual yang Sehat dan Islami

7.1 Pendidikan Seksual dalam Islam

Islam tidak tabu berbicara tentang hubungan seksual. Rasulullah ﷺ bahkan memberikan banyak bimbingan terkait adab, etika, dan teknik yang santun dalam Islam.

7.2 Memahami Nafsu sebagai Amanah

Nafsu bukan untuk diingkari, tetapi dikelola secara halal dan sehat. Pernikahan adalah jalan satu-satunya untuk menyalurkan hasrat secara bertanggung jawab.

7.3 Ibadah Lewat Hubungan Intim

"Dan dalam hubungan intim kalian dengan istri ada pahala."
(HR. Muslim)

Menjalin keintiman bukan sekadar kebutuhan biologis, tapi juga ibadah yang bernilai tinggi jika dilakukan dengan niat saling membahagiakan.


Penutup: Kembali ke Makna Sakral Pernikahan

Pernikahan bukan hanya soal formalitas atau status sosial, tetapi soal kesetiaan, pengertian, dan pemenuhan hak batin. Ketika ada gangguan dalam hubungan suami-istri, termasuk dalam hal seksual, itu adalah sinyal yang harus segera ditangani. Islam memuliakan perempuan dan melindungi hak-hak istri agar kehidupan rumah tangga tetap harmonis, bahagia, dan sesuai tuntunan syariat.


Referensi:

  1. Al-Qur’an, QS. Ar-Rum: 21, QS. Al-Baqarah: 226–227

  2. Hadis Shahih Bukhari dan Muslim

  3. Kitab Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq

  4. Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili

  5. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Comments

Anonymous said…
nyimak
Anonymous said…
hadir
Anonymous said…
nyimak
Anonymous said…
hadir
Anonymous said…
s
Anonymous said…
slam
Anonymous said…
salam santun
Anonymous said…
anonimus
Anonymous said…
Hadir Gan