Komunikasi Islam di Era Digital: Etika, Tantangan, dan Peluang Media Sosial

 

Sumber Gambar: Dreamina AI

Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital dan media sosial telah merevolusi cara manusia berinteraksi dan menyampaikan pesan. Dunia maya kini menjadi ruang publik baru yang memengaruhi cara berpikir, berperilaku, bahkan membentuk identitas umat. Dalam konteks inilah, komunikasi Islam hadir tidak hanya sebagai pedoman ibadah personal, tetapi juga sebagai fondasi moral dan etis dalam mengarungi era digital.

Komunikasi Islam membawa nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, tabayyun, tasamuh, dan amar ma’ruf nahi munkar. Nilai-nilai ini menjadi sangat relevan ketika media sosial sering dijadikan tempat penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan perilaku tidak santun. Di tengah budaya global yang permisif dan relativistik, prinsip komunikasi Islami memberikan arah yang tegas namun bijaksana agar umat Islam tetap menjadi agen kebaikan, bukan korban arus zaman.

Tidak hanya itu, era digital juga membuka peluang besar bagi dakwah dan pendidikan Islam untuk berkembang lebih luas dan kreatif. Melalui media sosial, konten Islami dapat menjangkau generasi muda, menjawab keresahan batin masyarakat, dan membangun peradaban digital yang tetap berakar pada nilai-nilai ilahiah. Namun, peluang ini juga disertai dengan tantangan serius: bagaimana menjaga akhlak, mengedepankan etika, dan menahan diri dari eksploitasi pengaruh atau popularitas dunia maya.

Dengan demikian, pembahasan tentang komunikasi Islam di era media sosial menjadi sangat penting agar umat mampu menavigasi teknologi dengan kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral, sehingga media bukan hanya alat hiburan atau informasi, melainkan juga sarana dakwah, edukasi, dan perbaikan umat.

1. Komunikasi Islam dan Media Sosial

Di era modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan digitalisasi informasi, media sosial menjadi instrumen komunikasi yang dominan dan sangat berpengaruh. Platform seperti Instagram, YouTube, TikTok, Facebook, dan X (Twitter) telah mengubah cara manusia berinteraksi, berbagi gagasan, dan membentuk opini publik. Dalam konteks ini, komunikasi Islam tetap relevan dan bahkan sangat dibutuhkan sebagai panduan etis dan spiritual dalam penggunaan media sosial secara sehat dan bertanggung jawab.

Komunikasi Islam mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran (sidq), amanah, kesantunan dalam berbicara (qaulan baligha), serta larangan menyebar kebohongan (hoaks), ghibah, fitnah, dan ujaran kebencian. Nilai-nilai ini menjadi standar moral yang dapat menjaga integritas dan kemuliaan interaksi digital.[1] Sayangnya, tidak sedikit pengguna media sosial, termasuk Muslim, yang terjebak dalam praktik komunikasi yang jauh dari nilai-nilai tersebut—seperti menyebarkan berita palsu, komentar kasar, atau konten yang menyesatkan.

Al-Qur’an telah memberikan prinsip komunikasi universal yang sangat relevan untuk media sosial, di antaranya:

  • “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya...” (Q.S. Al-Isra’: 36), yang mendorong verifikasi informasi sebelum disebarkan.[2]
  • “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah terlebih dahulu...” (Q.S. Al-Hujurat: 6), yang mengajarkan tabayyun dalam menerima informasi.[3]

Dalam praktiknya, media sosial juga menjadi sarana dakwah digital (e-dakwah) yang sangat efektif. Banyak dai muda dan tokoh agama yang berhasil menggunakan media ini untuk menyebarkan ilmu, membina akhlak, dan memperluas jaringan kebaikan secara global. Ceramah singkat, konten edukatif, hingga humor Islami telah menjadi bentuk komunikasi yang ringan tetapi berdampak luas.[4]

Namun demikian, penggunaan media sosial tetap perlu pengendalian diri (muraqabah) dan kesadaran spiritual. Seorang Muslim tidak boleh larut dalam popularitas semu atau mengejar pengaruh dengan cara yang bertentangan dengan nilai Islam. Komunikasi dalam Islam tidak semata-mata mencari "engagement" atau "followers", tetapi harus berniat sebagai bentuk ibadah dan penyebaran kebaikan.[5]

Sebagai generasi yang hidup di tengah gelombang teknologi, umat Islam dituntut untuk melek digital sekaligus bermoral tinggi. Komunikasi Islam memberikan kerangka berpikir dan bertindak agar umat tidak hanya menjadi pengguna media sosial yang aktif, tetapi juga yang bertanggung jawab, bijak, dan membawa dampak positif.

Dengan memadukan nilai-nilai Islam dan kecanggihan teknologi, komunikasi Islam tetap dan akan terus relevan dalam membentuk peradaban digital yang beradab, toleran, dan berorientasi pada nilai-nilai Ilahiyah.

2. Tantangan Komunikasi Islami di Tengah Budaya Global

Globalisasi telah membawa perubahan besar dalam pola komunikasi umat manusia. Informasi lintas negara dapat diakses secara instan, budaya-budaya lokal bercampur dengan budaya global, dan batas-batas etika menjadi semakin kabur. Dalam konteks ini, komunikasi Islam menghadapi tantangan besar, yaitu bagaimana mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan akhlak mulia di tengah arus budaya global yang cenderung bebas, permisif, dan serba instan.[6]

Salah satu tantangan utama adalah relativisme nilai, yaitu anggapan bahwa tidak ada kebenaran absolut dan semua nilai dianggap setara. Hal ini bertentangan dengan prinsip komunikasi Islam yang berpijak pada wahyu sebagai sumber kebenaran dan rujukan moral. Dalam budaya global, kebebasan berekspresi sering dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas, yang pada akhirnya membuka ruang bagi ujaran kebencian, pornografi, hoaks, dan pelecehan nilai-nilai suci agama.[7]

Tantangan lainnya adalah banjir informasi (information overload) dan dominasi konten yang dangkal dan viral. Media digital saat ini lebih mementingkan kecepatan dan sensasi daripada kebenaran dan kedalaman. Komunikasi Islam yang menekankan prinsip tabayyun, hikmah, dan mau‘izhah hasanah sering kali kalah oleh konten yang provokatif dan populis.[8] Di sinilah pentingnya membekali umat dengan literasi media agar mampu memilah informasi, tidak cepat terpancing emosi, dan tetap berpijak pada etika komunikasi Islami.

Dalam skala individu, umat Islam juga menghadapi tantangan gaya hidup hedonistik dan individualistik, yang sering dipromosikan oleh budaya global melalui film, musik, dan media sosial. Komunikasi yang dibangun dalam sistem kapitalistik cenderung menekankan citra diri, konsumsi, dan popularitas sebagai tolok ukur keberhasilan, bukan ketakwaan, keilmuan, atau kontribusi sosial.[9] Akibatnya, banyak Muslim terjebak dalam pola komunikasi narsistik yang kehilangan orientasi spiritual.

Di sisi lain, islamofobia dan stereotipe negatif terhadap Islam di media global juga menjadi tantangan besar. Banyak komunikasi publik yang menggambarkan umat Islam secara bias, ekstrem, dan intoleran. Untuk melawan hal ini, dibutuhkan komunikasi Islam yang cerdas, santun, dan terbuka dalam menjelaskan ajaran Islam secara objektif dan damai kepada dunia internasional.[10]

Meskipun demikian, tantangan-tantangan tersebut juga membawa peluang besar bagi kebangkitan komunikasi Islam. Justru di tengah krisis etika global, Islam dapat menawarkan alternatif komunikasi yang penuh rahmat, adil, dan bermartabat. Para intelektual Muslim, dai, pendidik, dan konten kreator memiliki tanggung jawab besar untuk menghadirkan wajah Islam yang ramah, mendidik, dan relevan di tengah perubahan zaman.

Dengan memperkuat literasi digital, membina akhlak komunikasi, dan memanfaatkan teknologi untuk dakwah dan pendidikan, komunikasi Islam dapat menjawab tantangan global sekaligus menjadi cahaya bagi peradaban dunia.

3. Peluang Dakwah dan Edukasi Digital

Di balik tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi, tersimpan peluang besar bagi komunikasi Islam, khususnya dalam bidang dakwah dan edukasi. Era digital telah menciptakan ruang baru yang luas, terbuka, dan lintas batas untuk menyampaikan nilai-nilai Islam secara kreatif, cepat, dan masif. Inilah momentum penting yang perlu dimanfaatkan oleh umat Islam untuk meneguhkan peran sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) melalui media komunikasi modern.

Dakwah digital merupakan salah satu bentuk adaptasi dakwah klasik ke dalam kanal-kanal teknologi informasi. Melalui platform seperti YouTube, Instagram, TikTok, podcast, hingga aplikasi streaming, para dai dapat menjangkau jutaan orang dengan beragam gaya penyampaian. Ceramah singkat, video inspiratif, tanya jawab keislaman, maupun konten humor bernuansa Islami menjadi bentuk komunikasi yang efektif untuk menarik generasi muda yang hidup dalam budaya visual dan cepat.[11]

Tidak hanya dakwah, edukasi digital juga berkembang pesat, termasuk dalam pendidikan Islam. Aplikasi belajar Al-Qur’an, platform pembelajaran daring (e-learning) madrasah dan pesantren, serta pelatihan keagamaan berbasis Zoom dan webinar adalah contoh bagaimana teknologi dapat memperluas akses masyarakat terhadap ilmu agama.[12] Hal ini tentu sejalan dengan semangat Islam yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan penyebarannya.

Keunggulan dakwah dan edukasi digital antara lain:

  • Dapat diakses kapan saja dan di mana saja (flexibility);
  • Menjangkau audiens lintas usia dan wilayah (reach);
  • Dapat dikemas dalam berbagai format menarik (multimedia content);
  • Meningkatkan interaksi dua arah secara real-time melalui komentar dan tanya-jawab.[13]

Namun, untuk memaksimalkan peluang ini, diperlukan kompetensi digital yang memadai. Para dai dan pendidik Islam tidak cukup hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga harus melek teknologi, menguasai teknik produksi konten, dan memahami psikologi audiens modern. Keahlian seperti storytelling, desain grafis, sinematografi, manajemen platform digital, dan copywriting menjadi keterampilan tambahan yang penting dalam konteks dakwah masa kini.[14]

Selain itu, kolaborasi antara pesantren, universitas Islam, lembaga dakwah, dan komunitas kreatif juga perlu dikembangkan. Kolaborasi ini akan melahirkan ekosistem dakwah digital yang profesional, kuat secara konten, dan menarik secara visual, tanpa kehilangan substansi ajaran Islam.

Dengan semangat iqra’ (bacalah) dan tabligh (sampaikanlah), umat Islam dapat memanfaatkan perkembangan teknologi sebagai jalan untuk memperluas pengaruh kebaikan dan membentuk generasi digital yang tetap terhubung dengan nilai-nilai ilahiah. Teknologi bukanlah ancaman bagi Islam, melainkan sarana untuk memperkuat pesan-pesan Islam agar terus hidup dan membumi di tengah masyarakat modern.

4. Menjaga Etika dan Akhlak dalam Komunikasi Digital

Dalam derasnya arus komunikasi digital, menjaga etika dan akhlak menjadi keharusan yang tak bisa ditawar. Islam sebagai agama yang menekankan adab dalam setiap lini kehidupan, memberikan panduan moral yang jelas dalam berkomunikasi, termasuk di ranah digital. Etika komunikasi digital dalam Islam bertujuan untuk menciptakan ruang interaksi yang sehat, jujur, dan bertanggung jawab, serta menghindarkan umat dari kerusakan moral akibat penyalahgunaan teknologi informasi.[15]

Al-Qur’an dan hadis banyak menekankan penggunaan kata-kata yang baik, tidak menyakiti, dan menghindari prasangka. Dalam konteks media sosial dan komunikasi daring, prinsip-prinsip tersebut harus tetap dijaga. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar” (Q.S. Al-Ahzab: 70).[16]
Sementara itu, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”[17]

Etika komunikasi digital mencakup:

  1. Tabayyun (klarifikasi): tidak asal membagikan berita yang belum jelas sumbernya.
  2. Tafahhum (pemahaman): tidak terburu-buru dalam menilai atau menyalahkan orang lain di ruang publik.
  3. Tasamuh (toleransi): menghormati perbedaan pendapat dan tidak menyerang secara pribadi.
  4. Tawadhu’ (rendah hati): tidak menyombongkan diri atau mencari popularitas dengan merendahkan orang lain.[18]
  5. Amanah: menjaga privasi, tidak menyebarkan aib, dan tidak memanipulasi informasi.

Sayangnya, dunia digital sering menjadi tempat berkembangnya ujaran kebencian, hoaks, cyberbullying, dan fitnah, bahkan di kalangan yang mengatasnamakan agama. Padahal, Islam melarang keras semua bentuk komunikasi yang menyakitkan atau merusak martabat orang lain. Keberpihakan Islam kepada etika menunjukkan bahwa kebenaran tidak akan sampai jika disampaikan dengan cara yang kasar dan menjatuhkan.

Penting juga disadari bahwa jejak digital adalah tanggung jawab abadi. Apa yang kita tulis, komentari, atau sebarkan di media sosial akan tercatat, bukan hanya oleh sistem digital, tetapi juga oleh malaikat pencatat amal. Oleh sebab itu, niat dan isi komunikasi harus dijaga agar selalu berada dalam koridor dakwah dan kebaikan.

Dalam konteks dakwah digital, menjaga etika adalah bentuk akhlak dakwah. Dakwah yang kasar, penuh caci maki, atau menyudutkan kelompok lain justru akan menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai Islam. Sebaliknya, dakwah yang dilakukan dengan kasih sayang, pengertian, dan kejujuran akan lebih mudah diterima dan berdampak luas.[19]

Menjaga etika dan akhlak dalam komunikasi digital bukan hanya tanggung jawab pribadi, tetapi juga tanggung jawab sosial. Sekolah, keluarga, lembaga dakwah, dan media Islam harus berperan aktif dalam menanamkan nilai-nilai komunikasi Islami kepada generasi digital.

Dengan menjadikan etika sebagai fondasi utama, komunikasi Islam di era modern dapat menjadi penyejuk bagi masyarakat, penuntun dalam kebingungan, dan peneguh nilai-nilai luhur di tengah krisis moral global.

Penutup

Komunikasi Islam di era media sosial bukan sekadar persoalan teknis menyampaikan pesan, melainkan juga persoalan nilai, akhlak, dan tanggung jawab. Di tengah gempuran budaya global yang kerap mengaburkan batas-batas moral, komunikasi Islami menawarkan solusi yang menyejukkan: berbicara dengan hikmah, menyampaikan kebenaran tanpa menyakiti, serta mengedepankan kasih sayang dalam setiap interaksi digital.

Tantangan besar seperti relativisme nilai, banjir informasi, dan budaya hedonistik bukan alasan untuk mundur, melainkan panggilan untuk menghadirkan Islam sebagai rahmat melalui cara komunikasi yang cerdas, santun, dan transformatif. Melalui dakwah dan edukasi digital, umat Islam memiliki peluang emas untuk menanamkan nilai-nilai Qur’ani secara masif dan kreatif, asalkan dibarengi dengan literasi digital yang kuat dan akhlak yang terjaga.

Menjaga etika dalam komunikasi digital adalah manifestasi dari keimanan yang sejati. Sebab jejak digital bukan hanya tertinggal dalam algoritma teknologi, tetapi juga tercatat dalam catatan amal. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk menanamkan niat lurus dalam setiap aktivitas daring—bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk menyebar kebaikan dan membangun peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Dengan menjadikan prinsip komunikasi Islam sebagai fondasi, umat dapat memainkan peran strategis dalam menciptakan ekosistem digital yang tidak hanya informatif, tetapi juga edukatif, damai, dan membangun akhlak mulia dalam kehidupan bermedia sosial.

 



[1] Quraish Shihab, Etika Islam: Panduan Komunikasi Sosial Berdasarkan Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2016), 44–46

[2] Al-Qur’an, Surah Al-Isra’, ayat 36

[3] Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, ayat 6

[4] Hasanuddin, “Peran Media Sosial dalam Dakwah Digital: Studi Kasus Ustaz Online di Indonesia,” Jurnal Dakwah Digital 5, no. 1 (2022): 65–70

[5] Ahmad Zaini, “Komunikasi Islami di Era Sosial Media: Peluang dan Tantangan,” Jurnal Komunikasi Islam 10, no. 2 (2021): 45–49

[6] Hasanuddin, “Komunikasi Islam dan Tantangan Budaya Global,” Jurnal Komunikasi Umat 7, no. 2 (2021): 32–38

[7] Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Kehilangan Arah (Jakarta: Mizan, 2000), 54–57

[8] Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, ayat 6

[9] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 157–160

[10] Yusuf Al-Qaradawi, Min Fiqh al-Da’wah, Jilid I (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1999), 289–291

[11] Hasanuddin, “Transformasi Dakwah Islam di Era Digital,” Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam 10, no. 1 (2022): 25–30

[12] Wahid, M. R., “Pendidikan Islam di Era Digital: Tantangan dan Inovasi,” Tarbiyah Islamiyah 7, no. 2 (2021): 89–95

[13] Ahmad Zaini, Komunikasi Islam di Era Digital: Peluang dan Strategi (Jakarta: Gema Umat Press, 2022), 101–104

[14] Alfan, R., “Kreativitas dan Profesionalisme dalam Produksi Konten Dakwah Digital,” Jurnal Media Dakwah Kreatif 5, no. 3 (2022): 73–78

[15] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 163

[16] Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab, ayat 70

[17] Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, Hadis No. 6018

[18] Quraish Shihab, Etika Islam: Panduan Komunikasi Sosial Berdasarkan Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2016), 52–56

[19] Ahmad Zaini, Dakwah Damai di Era Digital: Menjadi Muslim yang Menyejukkan di Dunia Maya (Yogyakarta: Pustaka Hikmah, 2023), 74–77

Comments