5 Tradisi Jawa yang Mulai Dilupakan, tapi Sarat Makna Kehidupan

 

Sumber Gambar: Orang Istimewa

5 Tradisi Jawa yang Mulai Dilupakan, tapi Sarat Makna Kehidupan

Budaya Jawa adalah salah satu warisan budaya terbesar di Nusantara. Namun, di tengah arus modernisasi, banyak tradisi yang mulai jarang dilakukan, bahkan hanya tersisa di kalangan tertentu. Artikel ini membahas lima tradisi penting yang memiliki makna filosofis mendalam: Macapat, Tedhak Siten, Kawin Gantung, Topo Bisu Malam 1 Suro, dan Tirakat.


1. Macapat – Puisi Kehidupan Orang Jawa

Apa Itu Macapat?

Macapat adalah bentuk puisi tradisional Jawa yang terikat aturan tertentu, baik dari jumlah baris (guru gatra), jumlah suku kata (guru wilangan), maupun bunyi akhir tiap baris (guru lagu). Setiap tembang Macapat memiliki watak, pesan moral, dan biasanya digunakan untuk menyampaikan nilai kehidupan.

Makna Filosofis

Macapat dianggap sebagai perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal. Ada 11 jenis tembang, masing-masing menggambarkan fase kehidupan:

  1. Maskumambang – awal kehidupan, janin dalam kandungan.

  2. Mijil – kelahiran manusia.

  3. Kinanthi – masa kanak-kanak, penuh bimbingan.

  4. Sinom – remaja yang sedang mencari jati diri.

  5. Asmarandana – masa dewasa penuh cinta.

  6. Gambuh – keserasian rumah tangga.

  7. Dhandhanggula – masa kematangan hidup.

  8. Durma – masa menghadapi konflik dan tantangan.

  9. Pangkur – masa menjauhi kesenangan dunia.

  10. Megatruh – kematian.

  11. Pocung – akhir perjalanan menuju alam baka.

Nilai Luhur

  • Mengajarkan budi pekerti melalui karya sastra.

  • Menanamkan kesadaran akan siklus kehidupan.

  • Memperkuat identitas budaya.

Fakta

Kini, Macapat jarang diajarkan di sekolah dan hanya dilestarikan di komunitas seni atau pesantren tertentu.


2. Tedhak Siten – Jejak Pertama Seorang Anak

Asal-Usul

Tedhak Siten adalah upacara turun tanah yang dilakukan ketika bayi berusia sekitar 7 atau 8 bulan (dalam penanggalan Jawa). “Tedhak” berarti turun, “siten” berarti tanah. Upacara ini menandai momen ketika bayi mulai belajar berjalan.

Prosesi

  1. Jalan di atas tangga tebu wulung – simbol perjalanan hidup yang manis dan penuh perjuangan.

  2. Menginjak tanah atau beras kuning – doa agar anak menjadi orang yang berbudi luhur dan berkecukupan.

  3. Masuk kurungan ayam berisi mainan – simbol pemilihan masa depan.

  4. Mandi bunga setaman – pembersihan diri dari sifat buruk.

  5. Berganti pakaian baru – tanda babak baru kehidupan.

Nilai Filosofis

  • Mengajarkan doa restu keluarga sejak dini.

  • Simbol harapan agar anak tumbuh sehat, pintar, dan berbakti.

Fakta

Di era modern, Tedhak Siten mulai tergeser oleh pesta ulang tahun ala Barat.


3. Kawin Gantung – Perkawinan di Usia Dini

Latar Belakang

Kawin Gantung adalah pernikahan yang dilakukan ketika mempelai masih sangat muda, namun belum tinggal bersama sebagai suami-istri hingga usia matang. Praktik ini dahulu bertujuan menjaga kehormatan keluarga dan menghindari fitnah.

Nilai Positif (dahulu)

  • Menjaga garis keturunan.

  • Mengikat janji antar keluarga besar.

Kontroversi Modern

Di era sekarang, praktik ini dianggap rawan menimbulkan masalah hukum dan psikologis. Banyak daerah yang sudah melarangnya.


4. Topo Bisu Malam 1 Suro – Hening di Malam Sakral

Filosofi

Topo Bisu adalah ritual berjalan kaki mengelilingi Keraton Yogyakarta atau Surakarta tanpa berbicara, biasanya dilakukan pada malam 1 Suro (tahun baru Jawa). Ritual ini melambangkan pengendalian diri dan introspeksi.

Proses

Peserta berjalan mengitari benteng keraton (sekitar 5 km), menahan bicara, dan fokus pada doa dalam hati.

Makna

  • Mengajarkan disiplin dan kekuatan mental.

  • Sarana membersihkan batin menjelang tahun baru Jawa.


5. Tirakat – Puasa Batin Orang Jawa

Deskripsi

Tirakat adalah laku prihatin atau tapa (puasa, menyepi, mengurangi kesenangan duniawi) untuk mencapai kesadaran spiritual dan kedamaian batin.

Jenis Tirakat

  1. Puasa mutih – makan nasi putih dan air putih saja.

  2. Puasa ngrowot – makan buah dan sayur saja.

  3. Puasa ngebleng – tidak makan dan minum selama 24 jam.

  4. Tapa bisu – tidak berbicara selama waktu tertentu.

  5. Tapa kungkum – berendam di sungai atau sumber air.

Nilai Luhur

  • Menjaga kesederhanaan.

  • Menguatkan mental.

  • Menjauhkan diri dari keserakahan.

Fakta

Kini hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang tua atau praktisi spiritual.

Pesan

Tirakat bukan sekadar tradisi, tapi latihan jiwa untuk belajar cukup dan rendah hati.


Tantangan Pelestarian

  • Arus globalisasi yang menggeser nilai lokal.

  • Kurangnya pendidikan budaya di sekolah.

  • Minimnya regenerasi pelaku tradisi.


Penutup

Lima tradisi ini adalah bagian dari identitas budaya Jawa yang kaya makna. Melestarikannya bukan hanya soal mempertahankan masa lalu, tapi juga membekali generasi mendatang dengan nilai kehidupan yang dalam.

Comments