Siraman Sebagai Tradisi dalam Budaya Nusantara

 

Sumber Gambar: Sindo News

Siraman adalah salah satu prosesi adat yang umum dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia menjelang akad nikah, terutama di kalangan masyarakat Jawa dan Sunda. Tradisi ini biasanya dilakukan dengan menyiram calon pengantin menggunakan air bunga oleh orang tua dan tokoh keluarga sebagai simbol pensucian diri, harapan kebersihan lahir batin, dan restu keluarga.

Namun, muncul pertanyaan penting: bagaimana Islam memandang praktik ini? Apakah siraman diperbolehkan atau justru bertentangan dengan syariat?


Islam dan Tradisi: Antara Budaya dan Akidah

Islam datang ke Nusantara tidak untuk menghapus seluruh adat dan budaya lokal, melainkan menyaring dan meluruskan yang bertentangan dengan ajaran tauhid. Prinsip yang diajarkan ulama adalah:

"Al-‘Adah Muhakkamah" (Kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat dapat dijadikan pegangan hukum).

Dengan demikian, jika suatu adat seperti siraman tidak mengandung unsur syirik, takhayul, dan maksiat, maka ia boleh dilakukan sebagai bagian dari budaya, bukan ibadah.


Penilaian Fikih terhadap Tradisi Siraman

Dalam kajian fikih, hukum tradisi seperti siraman dikategorikan sebagai:

1. Mubah (Boleh)

Jika dilakukan semata-mata sebagai simbol atau penghormatan terhadap nilai budaya dan tidak diyakini sebagai kewajiban agama, maka tradisi ini boleh dilakukan. Termasuk jika niatnya untuk menyenangkan orang tua dan menjaga nilai adat selama tidak menyalahi akidah.

2. Makruh atau Haram

Namun, jika siraman disertai dengan keyakinan tertentu seperti "wajib agar pernikahan lancar", atau mengandung mantra-mantra, sesajen, atau ritual klenik, maka hukum berubah menjadi haram karena mengandung unsur syirik atau bid'ah dalam akidah.


Perbedaan Antara Siraman dan Mandi Sunah Pernikahan

Penting untuk membedakan siraman sebagai tradisi dan mandi sunah menjelang akad nikah yang dianjurkan dalam Islam.

Dalam Islam, mandi sebelum akad nikah dianjurkan sebagaimana seseorang mandi sebelum salat Jumat atau hari raya. Hal ini didasarkan pada kebersihan, kesiapan lahir batin, dan kesopanan.

Rasulullah SAW bersabda:
“Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan.”
(HR. Muslim)

Maka, mandi sunah bisa dilakukan dengan niat ibadah, sedangkan siraman bisa dilakukan sebagai budaya selama tidak disertai unsur yang menyimpang.


Menjaga Niat dan Akidah dalam Pelaksanaan Siraman

Jika Anda dan keluarga ingin melaksanakan siraman, berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tetap sesuai syariat:

  • Niatkan sebagai penghormatan adat, bukan syarat sah pernikahan.

  • Hindari penggunaan bacaan atau ritual yang tidak berdasar dari Islam.

  • Sertakan nilai-nilai Islam dalam acara, misalnya pembacaan doa, pengajian, atau nasihat pernikahan.

  • Gunakan simbol-simbol alami (air, bunga) sebagai bagian dari estetika, bukan sebagai media magis.


Penutup: Islam Menerima Budaya, Selama Tidak Menyimpang

Siraman sebagai tradisi pra-nikah tidak dilarang selama tidak melanggar syariat. Islam sangat menghargai budaya selama tidak membawa kepada kemusyrikan atau kebatilan. Maka dari itu, umat Islam hendaknya bijak dalam memilah dan melestarikan budaya: yang baik diambil, yang buruk ditinggalkan.

Dengan begitu, kita dapat menjadikan pernikahan tidak hanya sakral secara syariat, tapi juga sarat makna secara budaya dan sosial.

Comments