Kedudukan Wali dalam Hukum Pernikahan Islam

 

Sumber Gambar: Sindo News

Dalam hukum Islam, peran wali adalah sangat penting dalam sahnya pernikahan seorang wanita. Wali adalah pihak yang mewakili perempuan untuk menikahkannya dengan calon suami. Tanpa wali, mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki menyatakan pernikahan menjadi tidak sah, kecuali dalam keadaan tertentu yang dibenarkan oleh syariat.

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak sah nikah tanpa wali.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)


Syarat Sah Menjadi Wali Nikah

Menurut para ulama, seorang wali nikah harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya:

  1. Laki-laki

  2. Muslim

  3. Baligh dan berakal

  4. Adil (tidak fasik)

  5. Tidak sedang ihram

  6. Berurutan dalam garis kekerabatan (ayah, kakek, saudara kandung laki-laki, dst.)

Syarat kedua—beragama Islam—menjadi sangat penting. Karena pernikahan adalah ibadah dan akad yang bernuansa keagamaan, maka tidak bisa diwakili oleh orang yang berbeda keyakinan, sebagaimana shalat tidak bisa diimami oleh orang non-Muslim.


Ayah Non-Muslim: Apakah Bisa Jadi Wali?

Jika seorang wanita Muslimah memiliki ayah kandung yang non-Muslim, maka ayah tersebut tidak bisa menjadi wali dalam akad nikahnya menurut syariat Islam. Hal ini karena:

  • Wali adalah bagian dari pelaksanaan akad ibadah, yang mensyaratkan iman (Islam).

  • Seorang non-Muslim tidak memiliki kekuasaan wali atas Muslim, baik dalam nikah maupun perkara hukum Islam lainnya.

Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menegaskan:

“Orang kafir tidak dapat menjadi wali bagi wanita Muslimah, baik ia ayahnya, kakeknya, atau kerabat lainnya.”


Siapa yang Berhak Menjadi Wali Jika Ayah Non-Muslim?

Jika ayah kandung tidak memenuhi syarat (misalnya non-Muslim atau telah wafat), maka urutan wali berpindah kepada:

  1. Kakek (ayah dari ayah)

  2. Saudara laki-laki sekandung

  3. Saudara laki-laki seayah

  4. Anak laki-laki dari saudara (keponakan)

  5. Paman (saudara laki-laki ayah)

  6. Anak laki-laki dari paman (sepupu)

Jika semua tidak ada atau tidak memenuhi syarat, maka wali hakim (dalam hal ini petugas KUA atau yang ditunjuk negara) dapat bertindak sebagai wali.


Bagaimana Jika Ayah Non-Muslim Tetap Ingin Terlibat?

Meskipun tidak dapat menjadi wali sah secara syariat, ayah non-Muslim tetap bisa dilibatkan secara sosial atau simbolis dalam pernikahan. Misalnya:

  • Memberi restu atau doa secara pribadi.

  • Menghadiri acara akad atau resepsi.

  • Menjadi saksi atau bagian dari keluarga yang menyambut pihak mempelai.

Ini bisa menjadi bentuk penghormatan kepada orang tua, sekaligus menjaga silaturahmi dan keharmonisan keluarga lintas keyakinan — selama tidak menyalahi batasan akidah Islam.


Penutup: Bijak Menjaga Syariat, Lembut Menjaga Hubungan

Kasus pernikahan wanita Muslimah yang ayahnya non-Muslim memang memerlukan kebijaksanaan dalam sikap. Di satu sisi, syariat Islam harus dijaga dengan menempatkan wali yang sah sesuai ketentuan. Di sisi lain, hubungan dengan ayah tetap harus dirawat dengan penuh kasih, hormat, dan komunikasi yang baik.

Menjaga batas syariat bukan berarti memutus kasih sayang, dan menghormati orang tua tidak berarti melanggar hukum Allah. Islam mengajarkan keseimbangan — antara ketaatan kepada Allah dan akhlak mulia kepada sesama, termasuk kepada orang tua yang berbeda iman.

Comments