Sejarah Desa Lengkong, Batangan, Pati: Jejak Pengembara Prajurit Diponegoro

Sejarah Desa Lengkong, Batangan, Pati: Jejak Pengembara Prajurit Diponegoro

Pendahuluan

Sejarah lokal di berbagai desa di Jawa seringkali diwariskan melalui cerita tutur yang ditransmisikan dari generasi ke generasi. Cerita-cerita ini bukan sekadar kisah fiksi, melainkan potret kolektif masyarakat yang menyimpan nilai-nilai moral, spiritual, dan identitas budaya. Salah satunya adalah kisah asal-usul Desa Lengkong, yang terletak di Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Menurut cerita tutur yang dicatat oleh Arga Kencana, asal-usul Desa Lengkong erat kaitannya dengan perjalanan seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang melarikan diri setelah sang pangeran ditangkap Belanda pada tahun 1830. Prajurit ini kemudian mengembara melintasi berbagai tempat di wilayah Pati selatan hingga akhirnya menetap di sebuah dukuh, menikah dengan putri seorang sesepuh setempat, dan diangkat menjadi lurah pertama. Dari kisah inilah lahir penamaan Desa Lengkong.¹


---

Latar Belakang Sejarah: Perang Jawa dan Diaspora Prajurit Diponegoro

Perang Jawa (1825–1830) adalah salah satu perang terbesar dalam sejarah kolonial Belanda di Nusantara. Dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, perang ini menggerakkan ribuan prajurit, petani, dan ulama untuk menentang dominasi kolonial yang menindas. Setelah lima tahun perlawanan sengit, Pangeran Diponegoro ditangkap melalui tipu muslihat di Magelang pada 28 Maret 1830, lalu diasingkan ke Manado dan akhirnya ke Makassar hingga wafat pada 1855.²

Pasca-penangkapan itu, ribuan pengikut dan prajurit Diponegoro tercerai-berai. Sebagian diburu Belanda, sebagian lagi memilih bersembunyi di pelosok desa untuk menyelamatkan diri, sekaligus menjaga api perjuangan tetap menyala. Salah seorang dari mereka disebut dalam cerita tutur masyarakat Batangan sebagai pengembara yang kemudian menjadi cikal bakal pemimpin Desa Lengkong.³


---

Perjalanan Sang Prajurit: Dari Dukuh ke Dukuh

Kisah bermula ketika seorang prajurit Diponegoro berjalan tertatih-tatih karena kelelahan. Setelah beberapa hari tanpa arah, ia sampai di sebuah dukuh saat waktu subuh. Di jalan ia menemukan selembar rukuh (kain penutup kepala), yang menurutnya adalah pertanda gaib. Ia kemudian tinggal beberapa hari di rumah warga untuk beristirahat. Dalam masa singgah itu, ia berpesan bahwa kelak dukuh tersebut akan dinamakan Dukuh Simpar.⁴

Setelah itu, sang prajurit melakukan semedi di tepi Sungai Pekacangan. Dalam laku spiritualnya, ia mendapatkan sebilah golok pusaka. Ia pun menamai tempat tersebut Dukuh Golok. Perjalanan berlanjut ke sebuah wilayah lain di mana ia merasa kebingungan arah; karena “mangu-mangu”, tempat itu kemudian disebut Karang Mangu. Saat pikirannya menjadi terang, ia menyebut wilayah itu Kebanaran.⁵

Dari sinilah terlihat bahwa setiap perjalanan sang prajurit meninggalkan jejak toponimi. Nama-nama dukuh itu lahir dari pengalaman spiritual dan simbolik yang dijalani sang pengembara.


---

Pertemuan dengan Ki Buyut Pager Aren

Mengikuti petunjuk gaib, sang prajurit melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Cebong ke arah timur hingga sampai di sebuah grumbul bernama Pager Aren. Di sana tinggal seorang tokoh kharismatik bernama Ki Buyut Suta Patra, atau dikenal juga sebagai Ki Buyut Pager Aren. Ia adalah sesepuh yang dihormati masyarakat karena kebijaksanaan dan usahanya membangun bendungan untuk mengairi sawah warganya.⁶

Ki Buyut memiliki dua anak: seorang putra dan seorang putri. Sang putri inilah yang kelak berperan penting dalam kisah lahirnya Desa Lengkong.

Suatu hari, saat Ki Buyut membangun bendungan, putrinya datang untuk mengantarkan makanan. Karena kepanasan, sang putri mandi di pancuran. Tanpa sengaja, sang prajurit yang tengah melintas melihatnya. Ia terpesona oleh kecantikan sang putri, dan dalam batinnya menyebut tempat itu kelak akan dinamakan Lengkong, berasal dari kata leng (lubang) dan bokong (pantat).⁷

Meski sempat terjadi kesalahpahaman, akhirnya Ki Buyut memahami siapa sebenarnya sang prajurit. Ia bahkan menikahkan putrinya dengan sang pengembara dan memberinya nama baru: Ki Angga Jiwa Nglana.


---

Dari Menantu ke Pemimpin Desa

Kisah berlanjut ketika Ki Buyut Pager Aren dipanggil untuk sowan ke Kasunanan Surakarta. Karena sudah sepuh, ia mengutus menantunya, Ki Angga Jiwa Nglana, untuk mewakili. Ternyata, di keraton Surakarta, Ki Angga mendapat sambutan baik bahkan diberi Serat Kekancingan sebagai tanda pengakuan resmi.⁸

Sekembalinya ke Pager Aren, masyarakat kagum karena Ki Angga selamat dari sowan ke keraton. Tidak lama kemudian, Ki Buyut menyerahkan kepemimpinan kepada menantunya. Pada hari itulah, diumumkan bahwa Pager Aren resmi berubah nama menjadi Desa Lengkong, dan Ki Angga Jiwa Nglana diangkat sebagai lurah pertama. Hari itu pula ditetapkan sebagai hari jadi Desa Lengkong.⁹


---

Nilai Budaya dan Filosofi Cerita Tutur

Cerita asal-usul Desa Lengkong bukan sekadar kisah romantis atau heroik. Ia menyimpan sejumlah nilai budaya, antara lain:

1. Warisan Perjuangan – Kisah ini menunjukkan jejak diaspora prajurit Diponegoro setelah perang, yang menyebarkan semangat perlawanan ke pelosok desa.


2. Spiritualitas Jawa – Laku semedi, wangsit, dan penamaan tempat mencerminkan cara pandang kosmologis masyarakat Jawa.


3. Integrasi Sosial – Perkawinan sang prajurit dengan putri Ki Buyut melambangkan integrasi pendatang dengan penduduk asli.


4. Legitimasi Kekuasaan – Serat Kekancingan dari Surakarta menjadi simbol bahwa kepemimpinan lokal mendapat pengakuan pusat.


5. Asal-usul Nama – Penamaan Lengkong merefleksikan cara masyarakat Jawa menafsirkan pengalaman keseharian ke dalam toponimi.




---

Penutup

Sejarah tutur tentang asal-usul Desa Lengkong, Batangan, Pati, memperlihatkan bagaimana sebuah desa lahir dari pertemuan antara pengembara prajurit Diponegoro dengan kearifan lokal Pager Aren. Dari pengembaraan, semedi, hingga perkawinan, lahirlah pemimpin pertama dan identitas desa.

Cerita ini, meskipun tidak tercatat dalam arsip resmi kolonial, tetap menjadi bagian penting dari memori kolektif masyarakat. Ia menegaskan bahwa sejarah bukan hanya milik istana dan kota besar, melainkan juga desa-desa kecil yang menyimpan narasi heroik dan penuh makna.


---

Catatan Kaki

1. Arga Kencana, Sejarah Desa Lengkong, Batangan, Pati, blog cerita tutur, 18 Mei 2018, diakses dari http://lengkong.esy.es/?page_id=45.


2. Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785–1855 (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 612.


3. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 234.


4. Arga Kencana, Sejarah Desa Lengkong…, ibid.


5. Ibid.


6. Ibid.


7. Ibid.


8. Ibid.


9. Ibid.

Comments