Tsabit bin Qais: Juru Bicara Rasulullah yang Diuji dengan Perceraian

 

Sumber Gambar: Rumayshio

Dalam sejarah Islam, ada banyak sahabat yang dikenang karena keistimewaan dan kontribusinya dalam perjuangan dakwah Rasulullah ﷺ. Salah satunya adalah Tsabit bin Qais bin Syammas—seorang orator ulung, juru bicara Rasulullah, dan pemimpin dari kaum Anshar yang disegani. Namun di balik kejayaan itu, ia juga mengalami ujian pribadi yang tidak ringan: perceraian karena sang istri sudah tidak mencintainya.

Kisah Tsabit bin Qais memberi pelajaran penting tentang keikhlasan, penghormatan terhadap hak perempuan, dan kebesaran jiwa dalam menerima takdir. Dalam tulisan ini, kita akan menggali lebih dalam siapa sosok Tsabit bin Qais, bagaimana kontribusinya dalam dakwah Islam, serta bagaimana Islam menangani persoalan rumah tangga dengan adil dan manusiawi.


📜 Siapakah Tsabit bin Qais?

Tsabit bin Qais merupakan salah satu tokoh penting dari kaum Anshar di Madinah. Ia terkenal sebagai juru bicara Rasulullah ﷺ, karena memiliki kemampuan retorika dan kefasihan yang luar biasa dalam menyampaikan pesan-pesan Islam, baik kepada kaum Muslimin maupun dalam menghadapi perundingan dengan suku-suku lain.

Tsabit adalah representasi dari kecerdasan verbal dan keberanian diplomatik. Dalam setiap pertemuan penting, terutama yang menyangkut pertahanan Madinah atau dakwah ke suku-suku lain, Rasulullah kerap menunjuknya sebagai perwakilan untuk berbicara.

Kemampuannya dalam berkomunikasi membuatnya disegani, bahkan oleh para tokoh musyrik sekalipun. Tak hanya itu, Tsabit juga dikenal sebagai sahabat yang memiliki iman yang kuat dan ketaatan luar biasa kepada Rasulullah.


🏡 Ujian dalam Rumah Tangga

Di balik kejayaan dan kedudukannya yang tinggi di tengah masyarakat Madinah, Tsabit bin Qais menghadapi ujian yang cukup berat dalam kehidupan rumah tangganya. Sang istri—yang dalam beberapa riwayat disebut bernama Jamilah binti Abdullah—datang kepada Rasulullah ﷺ dan menyampaikan bahwa ia tidak lagi mencintai Tsabit, meskipun tidak memiliki keluhan terkait akhlak atau agama suaminya.

Istrinya berkata, “Aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku tidak bisa lagi mencintainya.”

Dalam kondisi seperti ini, Rasulullah tidak memaksa keduanya untuk tetap bersama. Sang istri mengusulkan agar dirinya mengembalikan mahar berupa kebun yang dulu diberikan oleh Tsabit saat akad nikah sebagai bentuk ganti rugi atau khulu’ (cerai atas permintaan istri dengan memberikan tebusan).

Rasulullah ﷺ menyetujui permintaan itu. Beliau bersabda kepada Tsabit, “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia.”


⚖️ Pelajaran dari Perceraian Tsabit bin Qais

1. Islam Tidak Memaksakan Cinta

Cinta adalah anugerah Allah yang tidak bisa dipaksakan. Ketika cinta telah sirna, meskipun akhlak dan ibadah pasangan masih baik, Islam memberikan jalan keluar yang adil. Dalam hal ini, khulu’ menjadi solusi damai bagi istri yang tak lagi sanggup melanjutkan pernikahan tanpa kebencian atau kedzaliman.

Tsabit bin Qais menerima keputusan itu dengan lapang dada, tanpa menyakiti atau mempermalukan istrinya. Ini adalah cermin akhlak seorang mukmin sejati—yang tidak menjadikan ego sebagai penghalang untuk menyelesaikan persoalan dengan tenang.

2. Perempuan Berhak Menyuarakan Ketidaknyamanan

Kisah ini menjadi dalil kuat bahwa perempuan dalam Islam memiliki hak untuk meminta cerai, terutama ketika ia merasa tidak bahagia atau tidak sanggup menjalankan kehidupan rumah tangga. Ini sekaligus membantah anggapan bahwa wanita dalam Islam hanya bisa diam dan menerima apa pun yang terjadi dalam pernikahannya.

Islam datang untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan. Ketika rumah tangga justru menjadi tempat penderitaan batin, maka membuka jalan khulu’ adalah bentuk rahmat syariat.

3. Akhir yang Baik Tidak Selalu Berarti Bertahan

Kadang, perpisahan adalah bentuk penyelesaian yang paling baik untuk dua hati yang sudah tidak bisa menyatu. Dalam kasus Tsabit dan istrinya, perceraian tidak dilandasi permusuhan, tetapi atas dasar kejujuran dan niat baik. Bahkan, proses perceraian itu dilakukan dengan tetap menghargai mahar yang dulu diberikan.

Rasulullah ﷺ tidak menyalahkan siapapun dalam hal ini. Beliau memahami bahwa cinta adalah wilayah hati, dan ketika hati tak lagi mampu, maka tidak ada dosa dalam berpisah dengan cara yang baik.


💬 Refleksi untuk Kita Hari Ini

Kisah Tsabit bin Qais dan istrinya menyentuh realitas banyak rumah tangga saat ini. Di balik pernikahan yang tampak baik dari luar, tak sedikit pasangan yang bergumul dalam kebisuan karena tidak lagi menemukan cinta dan kenyamanan. Namun banyak pula yang memaksakan bertahan demi gengsi atau tekanan sosial, bukan karena kebaikan rumah tangga itu sendiri.

Islam mengajarkan bahwa keharmonisan adalah bagian dari maqashid nikah (tujuan pernikahan). Ketika harmoni sudah tak ada, maka berpisah dengan baik adalah bagian dari ikhtiar menjaga kemuliaan.


✨ Keteladanan Tsabit: Kuat dalam Dakwah, Tegar dalam Ujian

Bagi kita, kisah ini bukan hanya soal perceraian. Tapi lebih dari itu, ia adalah cermin keimanan dan kedewasaan sikap. Tsabit tidak membalas, tidak mempermalukan, dan tidak menuntut lebih. Ia memahami bahwa cinta adalah pemberian Allah yang tidak bisa dimiliki dengan paksaan.

Ia tetap menjadi sahabat yang setia, pejuang dakwah yang konsisten, dan pribadi yang kuat dalam menghadapi cobaan hidup.


📱 Penutup: Islam Memberi Ruang untuk Solusi

Islam bukan agama yang kaku, tetapi agama yang penuh kasih. Ia membuka ruang penyelesaian yang adil dan penuh hikmah, bahkan dalam hal yang sangat personal seperti rumah tangga.

Jika Rasulullah ﷺ saja memberikan jalan keluar yang bijak dan adil kepada pasangan Tsabit dan istrinya, maka kita pun perlu belajar menyikapi dinamika rumah tangga dengan lebih terbuka, adil, dan manusiawi, tanpa menghilangkan nilai-nilai syariat.

Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk menjadi pribadi yang kuat dalam dakwah, lembut dalam sikap, dan bijak dalam menghadapi takdir hidup.

Comments