Nikah Sirri Menurut Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif, Review Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam Vol. XX No.2 Tahun 2021

Nikah Sirri Menurut Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif, Review Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam Vol. XX No.2 Tahun 2021 - A Rima Mustajab - Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan makhluknya, baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Islam sangat memahami situasi dan kondisi manusia, sehingga tidak ada aktivitas kehidupan manusia di dunia ini yang terlewatkan oleh ajaran agama Islam. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan teman untuk berinteraksi dan mewujudkan apa yang diinginkannya. Dalam agama Islam, hal ini disebut mu'amalah (yang mengatur kehidupan sosial).

Islam mendorong untuk membentuk keluarga dan mengajak manusia untuk hidup dalam naungan keluarga karena keluarga merupakan gambaran kecil dari kehidupan sosial yang memenuhi keinginan manusia tanpa mengabaikan kebutuhannya. Menikah adalah fitrah insani yang membawa manusia pada kebahagiaan dan kedudukan mulia di sisi Allah SWT. Seseorang yang akan menikah tentu bercita-cita memiliki keluarga yang harmonis yang dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang, sehingga mendapatkan ketenteraman dan kebahagiaan dalam kehidupan.

Anjuran untuk menikah dalam agama Islam dinyatakan dalam berbagai ungkapan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, di antaranya:

  • "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah." (QS. Ad-Dzariyyat: 49)
  • "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?" (QS. An-Nahl: 72)
  • "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An-Nisa': 1)
  • "Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya." (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).

Dari ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup dengan tujuan, antara lain, untuk memperoleh keturunan guna melangsungkan hidup. Menikah dan memiliki keluarga dalam kehidupan merupakan salah satu sunnatullah terhadap makhluk, yang merupakan hal umum dan mutlak dalam dunia kehidupan hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Pernikahan disyariatkan oleh Islam sebagai jalan terhormat yang harus ditempuh manusia dalam membentuk keluarga. Melalui pernikahan, umat manusia membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera untuk mengisi dan memakmurkan dunia dengan tuntunan dan ajaran dari Allah SWT. Manusia yang menyalurkan kebutuhan biologisnya tanpa melalui pernikahan berarti rela melepaskan dirinya dari eksistensi kemanusiaannya selaku makhluk yang paling utama, dan terjerumuslah ia ke dalam lembah hidup hewani yang rendah, bahkan lebih hina dari hewan.

Pernikahan dalam hukum Islam dispesialisasikan sebagai sebuah bentuk ikatan yang sangat kuat atau *mitsaqon ghalidhan* untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya sebagai ibadah. Oleh karena pentingnya perkawinan atau pernikahan, maka ia harus dilakukan menurut ketentuan hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Pernikahan sirri dalam pandangan hukum positif Indonesia tidak sah dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan UU Perkawinan Pasal 2 Ayat 2 dan pelaksanaannya terdapat dalam PP No 9 Pasal 2 Ayat 2. Secara garis besar, keberadaan perkawinan yang tidak dicatatkan berarti telah membiarkan adanya seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama di luar perkawinan, yang sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terutama jika mereka sudah memiliki anak-anak yang dilahirkan dari hubungan di luar nikah.

Ilustrasi Pernikahan Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif

Nikah sirri berasal dari bahasa Arab yang dikenal dengan *zawaj as-sirri*, yaitu pernikahan yang dilakukan secara rahasia. Pernikahan sirri yang dikenal di kalangan masyarakat luas ada dua jenis: pertama, pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia karena wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali atau semata-mata ingin memenuhi hasrat nafsunya saja. Kedua, pernikahan yang sah secara agama, namun tidak diumumkan secara luas dan tidak pula dicatatkan dalam lembaga negara yang berwenang.

Pernikahan sirri yang dilakukan oleh sebagian masyarakat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pernikahan. Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah siri. Ada yang menikah karena terbentur masalah ekonomi, karena tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik sendiri, dan harta gono-gini, sehingga mereka memilih menikah dengan cara misyar yang penting halal, yang terjadi di sebagian besar negara Arab. Ada juga yang tidak mampu mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang dianggap mahal. Atau, secara finansial pasangan ini cukup untuk membiayai, namun khawatir pernikahannya tersebar luas sehingga mengurungkan niat untuk mendaftar secara resmi ke KUA atau catatan sipil. Hal ini untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan TNI). Ada juga sebagian masyarakat yang melakukan nikah sirri untuk menutupi aib seseorang, seperti ingin poligami tapi takut diketahui oleh istrinya, atau karena seorang wanita hamil di luar nikah. Faktor dominan yang menyebabkan orang menikah sirri atau di bawah tangan adalah masalah prosedural yang tidak bisa terpenuhi.

Hasil dan Pembahasan

1. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

Dalam bahasa Indonesia, istilah "perkawinan" sering juga disebut "pernikahan." Kata "kawin" sendiri berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristeri, dan melakukan hubungan kelamin. 

Hukum perkawinan dalam Islam merupakan bagian integral dari syari'ah Islam, sehingga tidak bisa dipisahkan dari Islam itu sendiri. Dalam masyarakat Islam, norma atau kaidah yang terkandung dalam agama Islam diimplementasikan dalam bentuk aturan pokok yang disebut syari'at perkawinan Islam. Allah Swt mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan syari'at Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara, terutama dalam hal perkawinan. Untuk mewujudkan perkawinan Islam dalam sistem hukum positif Indonesia, diperlukan proses formulasi ke dalam bentuk aturan perundang-undangan. Formulasi ini merupakan hasil perjuangan masyarakat Islam, sehingga hukum perkawinan Islam dapat diakomodasi dalam bentuk undang-undang yang mengikat sebagai bagian dari sistem hukum positif Indonesia. Perjuangan ini tidaklah mudah dan memerlukan waktu yang lama.

Selama tiga dekade terakhir, beberapa aturan syari'at perkawinan Islam telah menjadi bagian dari sistem hukum positif Indonesia, antara lain:

  1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
  2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Perjuangan umat Islam dalam mewujudkan peraturan perkawinan Islam sebagai bagian dari hukum normatif dalam sistem hukum positif Indonesia tidak boleh dianggap remeh dan sudah cukup berarti. Secara normatif, status hukum perkawinan Islam sudah cukup kuat dalam berbagai kegiatan hidup bermasyarakat. Yang perlu diperjuangkan dalam kehidupan nyata adalah mewujudkannya dalam perilaku mulia yang diridhoi Allah Swt.

2. Hukum Nikah Siri Menurut Perspektif Hukum Islam

Istilah "sirri" dalam nikah sirri berasal dari bahasa Arab "sirrun" yang artinya rahasia. Oleh karena itu, nikah sirri diartikan sebagai pernikahan yang dirahasiakan, berbeda dengan pernikahan pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Nikah sirri didefinisikan sebagai bentuk pernikahan yang dilakukan secara hukum agama atau adat istiadat, tidak diumumkan kepada khalayak ramai, dan tidak dicatatkan secara resmi di kantor pencatat nikah.

Dalam hukum Islam, pernikahan diatur sesuai dengan perintah dalam Al-Qur'an dan al-Hadist, yang dikenal sebagai fiqh munakahat. Dalam kitab-kitab fiqh klasik, tidak banyak yang menjelaskan secara khusus tentang nikah sirri, karena pada masa Nabi Muhammad SAW yang populer dan umum adalah pernikahan biasa (jahri). Pernikahan adalah kontrak yang serius dan momen yang sangat membahagiakan dalam kehidupan seseorang, sehingga dianjurkan untuk mengadakan pesta perayaan pernikahan (walimatul 'urs) dan membagi kebahagiaan itu dengan orang lain, termasuk kerabat, teman, atau mereka yang kurang mampu. Pesta perayaan juga sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikan.

Dalam hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing." (Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim). Selain itu, walimah memiliki fungsi untuk mengumumkan pernikahan kepada khalayak ramai. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menghindari zina selain melalui pernikahan. Rasulullah SAW mengajarkan kewajiban seorang muslim untuk menjawab undangan pernikahan dan menghadirinya, dengan catatan dalam walimah tersebut tidak ada kemungkaran.

Dalam hadits, Nabi SAW bersabda: "Apabila seorang di antara kamu diundang ke walimah, hendaknya ia menghadirinya." (Muttafaq Alaihi. menurut Riwayat Muslim). Walimah disunnahkan untuk mengundang orang-orang saleh, baik yang miskin maupun kaya, termasuk sunnah merayakannya tiga hari setelah pasangan berkumpul, dan menghidangkan makanan halal. Walimah menjadi haram jika hanya mengundang orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin. Ulama berpendapat bahwa seseorang boleh tidak menghadiri pernikahan dengan alasan-alasan yang diperbolehkan menurut Islam.

Namun demikian, ada juga sebagian orang yang melakukan pernikahan secara diam-diam, tanpa diketahui banyak orang, yang biasa disebut nikah sirri. Hal ini sangat ditentang oleh para ulama dan imam mazhab karena dianggap menyalahi aturan dan pernikahannya tidak sah. Jumhur ulama menyatakan bahwa pernikahan belum dianggap sah kecuali diumumkan secara terang-terangan, atau dihadiri oleh wali dan saksi saat akad nikah berlangsung.

Mengumumkan pernikahan dapat menghindarkan pasangan suami-istri dari kemudharatan. Pernikahan yang dirahasiakan dapat menimbulkan dugaan negatif dari masyarakat, seperti dugaan kumpul kebo, perselingkuhan, atau perzinahan. Salah satu rukun nikah yang menjadi permasalahan dalam nikah sirri adalah perwalian dan saksi. Ulama sepakat bahwa pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi tidak sah, berdasarkan hadits Nabi SAW: "Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil." (HR. Ahmad).

Pentingnya posisi wali dalam pernikahan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berdasarkan hadits Nabi dari 'Aisyah RA, Rasulullah bersabda: "Siapapun yang menikah tanpa wali, maka nikahnya batal." (HR. Empat Imam kecuali Nasa'i). Dari ketentuan hadits ini, posisi wali sangat penting karena merupakan rukun yang menentukan sah tidaknya pernikahan. Meskipun beberapa ulama membolehkan pernikahan tanpa wali, seperti Abu Hanifah, Zufar, dan Zuhri, selama pasangan sekufu (setara). Pendapat mereka ini dipahami dari Al-Qur'an Al-Baqarah ayat 234 yang berbicara tentang masa 'iddah bagi janda.

Meskipun demikian, dianjurkan untuk menghadirkan wali dan saksi baik untuk janda maupun gadis. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. An Nisa 25: "Maka nikahilah wanita itu dengan izin keluarganya." Ayat ini menjadi pedoman kesempurnaan pernikahan. Hukum Fiqh yang berlaku di Indonesia mensyaratkan adanya wali dan saksi dalam pernikahan, berdasarkan teks-teks keagamaan yang menyatakan adanya wali dan saksi. Lalu, bagaimana dengan pernikahan yang sudah dilaksanakan, tetapi saksi diminta merahasiakan akadnya?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi'i dan Hanafi menilai akad tersebut tetap sah, namun makruh. Imam Malik dan para sahabatnya menganggap pernikahan yang dirahasiakan tidak sah dan harus diulang dengan disaksikan khalayak ramai. Kesaksian dalam pernikahan dalam Al-Qur'an tidak secara jelas diungkapkan, namun dalam KHI pasal 24 dan 26 disebutkan bahwa saksi harus hadir dan menyaksikan akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.

Dalam konteks nikah sirri, pernikahan yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya adalah sah, namun perlu diumumkan untuk menghindari fitnah dan tanggapan negatif dari masyarakat. Berdasarkan hadits Nabi: "Sebarkanlah berita pernikahan." (Riwayat Ahmad). Nikah sirri sendiri masih diperdebatkan di kalangan ulama, namun banyak yang setuju bahwa nikah sirri lebih baik dari perzinahan, meskipun nikah sirri tampaknya lebih banyak menimbulkan kemudharatan daripada manfaatnya.

Hukum Nikah Siri Menurut Perspektif Hukum Positif Indonesia

Secara harfiah, Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata: "nikah" dan "sirri". Kata "nikah" berarti mengumpulkan atau saling memasukkan, dan sering digunakan untuk makna bersetubuh (wathi) serta akad nikah. Sedangkan "sirri" berasal dari kata Arab "sirr" yang berarti rahasia. Jadi, secara etimologis, nikah sirri berarti pernikahan yang dirahasiakan. Pernikahan ini biasanya disembunyikan dari publik dan hanya dihadiri oleh keluarga dekat tanpa resepsi terbuka.

Terdapat tiga bentuk atau model nikah sirri di masyarakat:

  1. Pernikahan antara seorang pria dan wanita yang sudah cukup umur di hadapan petugas negara dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, tetapi hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan tanpa resepsi walimatul ursy.
  2. Pernikahan antara seorang pria dan wanita di bawah umur menurut undang-undang, yang masih bersekolah, diinisiasi oleh orang tua kedua belah pihak dengan tujuan menjodohkan anak-anak mereka. Setelah mereka tamat sekolah dan mencapai umur perkawinan, mereka dinikahkan lagi secara resmi di hadapan PPN/KUA.
  3. Pernikahan antara pria dan wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang, tetapi sengaja dilakukan di bawah tangan (nikah sirri) dan tidak dicatat di KUA karena berbagai alasan, seperti menghemat biaya atau menghindari urusan administrasi.

Model ketiga adalah yang paling relevan dengan topik ini, di mana nikah sirri berarti pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

Menurut hukum positif Indonesia, nikah sirri adalah perkawinan yang tidak memiliki legalitas hukum. Hal ini berdasarkan UU No 1/1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1 dan 2) jo KHI pasal 4, yang menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing serta dicatat sesuai peraturan perundang-undangan. KHI pasal 5 ayat (1 dan 2) menambahkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.

Pencatatan perkawinan di KUA merupakan syarat sahnya perkawinan dalam hukum positif di Indonesia, bukan hanya sekadar administrasi. Berdasarkan KUHAPerdata pasal 81 dan Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975, perkawinan harus dicatat oleh pejabat yang berwenang agar sah menurut negara. 

Nikah sirri, yang tidak dicatat, tidak memiliki kekuatan hukum dan berdampak pada hak-hak pelayanan publik. Pernikahan ini tidak diakui dalam daftar kependudukan, anak-anak dari pernikahan ini tidak dapat memperoleh akte kelahiran, dan pelakunya tidak mendapatkan perlindungan dan pelayanan hukum sebagaimana mestinya. Nikah sirri membawa lebih banyak madharat daripada manfaat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sedangkan pencatatan perkawinan membawa banyak manfaat.

Perkembangan Hukum Nikah Siri Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia

Nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, tanpa dilaporkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim atau ke Kantor Catatan Sipil bagi non-muslim. Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hukum Islam, nikah adalah ijab dan qabul (akad) yang menghalalkan hubungan suami istri yang diucapkan dengan kata-kata yang menunjukkan pernikahan.

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa pernikahan dianggap sah jika dilakukan dengan akad yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dan laki-laki yang melamar, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Pernikahan ini menciptakan hak dan kewajiban antara suami dan istri serta bertujuan untuk membentuk pergaulan yang dilandasi tolong-menolong dan menghasilkan keturunan yang menjamin kelangsungan eksistensi manusia. Dalam Islam, pernikahan bertujuan untuk meraih keteraturan dalam berketurunan, menjaga harkat dan martabat manusia, dan merupakan salah satu tujuan diturunkannya Islam.

Meskipun pernikahan sangat dimuliakan dan diatur baik oleh agama maupun negara, masih ditemukan pelanggaran seperti nikah siri, nikah usia dini, dan nikah kontrak di Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur perkawinan rakyatnya, walaupun hukum Islam memiliki tempat khusus dalam aturan pernikahan. Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur nikah siri, sehingga pernikahan ini tidak memiliki legalitas hukum dan tidak sesuai dengan aturan yang ada. Berdasarkan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1 dan 2) jo KHI pasal 4, perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta dicatat sesuai peraturan yang berlaku. KHI pasal 5 ayat (1 dan 2) menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.

Dengan demikian, nikah siri dianggap sebagai pernikahan yang tidak sah dan ilegal menurut hukum positif Indonesia. Pernikahan ini tidak memiliki kepastian hukum, buku nikah, serta sulit menjamin keabsahannya, dan sering terjadi manipulasi identitas melalui penghulu gadungan. Pernikahan harus dilakukan secara sah menurut hukum agama dan dicatat oleh pejabat yang berwenang agar sah secara negara dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada.

Nikah siri tidak mempunyai kekuatan hukum dan berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik bagi pelakunya. Mereka tidak mendapatkan perlindungan dan pelayanan hukum yang semestinya, pernikahan tidak diakui dalam daftar kependudukan, dan anak-anak dari pernikahan ini tidak dapat memperoleh akte kelahiran. Dengan kata lain, nikah siri membawa lebih banyak madharat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sementara pencatatan pernikahan lebih banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.

A. Faktor-Faktor Terjadinya Nikah Siri

Nikah siri umumnya terjadi karena beberapa faktor:

1. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman Hukum di Masyarakat

   Banyak masyarakat yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya pencatatan perkawinan. Meski sebagian dari mereka mencatatkan perkawinan di KUA, hal itu seringkali dilakukan hanya karena mengikuti tradisi atau sekadar formalitas administrasi. Padahal, pencatatan perkawinan yang diperintahkan oleh undang-undang bertujuan mendokumentasikan tindakan hukum perkawinan itu sendiri, memberikan perlindungan hukum bagi pasangan suami istri dan anak-anak mereka di masa depan, serta menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib hukum. Rendahnya kesadaran ini juga disebabkan oleh kurang maksimalnya peran lembaga pemerintahan dalam memberikan edukasi tentang pentingnya pencatatan perkawinan.

2. Sikap Apatis Masyarakat terhadap Hukum

   Sebagian masyarakat bersikap masa bodoh terhadap peraturan perkawinan. Contoh nyata dari sikap apatis ini adalah pernikahan Syekh Puji dengan Ulfah, seorang perempuan di bawah umur, dan pernikahan siri Aceng Fikri, mantan Bupati Garut. Kasus-kasus ini menunjukkan pengabaian terhadap hukum, baik dalam hal poligami tanpa izin pengadilan maupun pernikahan di bawah umur tanpa dispensasi. Sikap apatisme ini, terutama dari tokoh masyarakat, menghambat penegakan hukum dan dapat dicontoh oleh pengikut mereka. Oleh karena itu, penanganan hukum terhadap kasus-kasus seperti ini sangat penting untuk menjaga citra hukum di Indonesia.

3. Ketentuan Pencatatan Perkawinan yang Tidak Tegas

   Pasal 2 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan mengatur sahnya perkawinan, namun ketentuan ini bersifat multi tafsir dan tidak disertai sanksi bagi pelanggarnya. Ketentuan yang tidak tegas dan ambigu ini perlu direvisi agar tidak menimbulkan kebingungan dalam penafsiran dan penerapannya. RUU baru menyatakan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh PPN/KUA, dan ketentuan ini disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya. Ketidaktegasan dalam undang-undang yang berlaku saat ini memberikan ruang bagi pelaksanaan nikah siri di masyarakat. Hal ini juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya nikah siri.

4. Sulitnya Mendapatkan Izin Poligami

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sistem perkawinan di Indonesia umumnya menganut prinsip monogami. Namun, undang-undang ini masih memberikan kemungkinan untuk berpoligami dengan ketentuan khusus yang diatur dalam pasal 4, yaitu:

  • Ayat (1): Jika seorang suami ingin menikah lebih dari satu istri, ia harus mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
  • Ayat (2): Pengadilan hanya akan memberikan izin untuk berpoligami jika:

  1.   Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
  2. Istri mengalami cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain itu, Pasal 5 Ayat (1) menetapkan syarat-syarat berikut untuk mengajukan permohonan izin poligami:

  1. Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri yang ada,
  2. Suami harus mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka,
  3. Suami harus dapat menjamin perlakuan adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Ayat (2): Persetujuan dari istri tidak diperlukan jika istri atau istri-istrinya tidak bisa dimintai persetujuan atau tidak dapat berpartisipasi dalam perjanjian; atau jika tidak ada kabar dari istri selama sekurang-kurangnya dua tahun atau alasan lain yang memerlukan penilaian hakim pengadilan.

Kesimpulan

Pernikahan dianggap sah menurut hukum agama jika memenuhi semua rukun dan syarat nikah. Hal ini juga berlaku untuk pernikahan yang dilakukan secara rahasia (nikah siri) dalam konteks hukum Islam di Indonesia. Berbeda dari praktik nikah siri di masa lalu, yang umumnya dilarang oleh para ulama, hukum Islam kini menganjurkan agar pernikahan diumumkan secara terbuka berdasarkan hadist nabi.

Dalam hukum Islam, pencatatan pernikahan adalah syarat untuk melengkapi keabsahan sebuah pernikahan. Pencatatan ini dapat dianggap sebagai analogi dari pencatatan jual beli dalam muamalah dan merupakan bagian dari maqasid syari'ah yaitu perlindungan terhadap keturunan.

Dalam perspektif hukum positif Indonesia, nikah siri dianggap tidak memiliki asas legalitas. Artinya, pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum resmi dan berdampak negatif terhadap hak-hak pelayanan publik. Pelaku nikah siri tidak mendapatkan perlindungan atau layanan hukum yang seharusnya, serta pernikahan mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan, yang menyebabkan anak-anak mereka kesulitan memperoleh akta kelahiran dan dokumen lainnya. Dengan demikian, nikah siri dapat menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, pencatatan pernikahan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan negara.

Nikah siri sering terjadi di masyarakat karena beberapa faktor, antara lain:

  1. Kurangnya kesadaran dan pemahaman hukum masyarakat,
  2. Sikap apatis sebagian masyarakat terhadap hukum,
  3. Ketentuan pencatatan perkawinan yang tidak tegas,
  4. Kesulitan dalam mendapatkan izin poligami,
  5. Faktor usia serta kehamilan di luar nikah,
  6. Perbedaan agama.

Comments