Fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) Dan Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama Di Indonesia

Fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) Dan Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama Di Indonesia - A Rima Mustajab -  Kemajuan teknologi dan demokrasi telah membuat interaksi antara pria dan wanita melampaui batas suku, etnis, negara, bahasa, bahkan agama. Perbedaan tersebut tidak lagi menjadi halangan dalam perkenalan, dan seringkali berujung pada pernikahan, sehingga muncul kasus pernikahan beda agama. Masalah ini selalu menjadi topik perdebatan sejak zaman klasik hingga zaman modern. Beberapa ayat dan hadis melarang pernikahan beda agama, namun pernikahan semacam ini tetap banyak terjadi di masyarakat. Contoh yang sering diekspos oleh media massa adalah pernikahan beda agama di kalangan selebritas Indonesia, seperti pasangan Ira Wibowo-Katon Bagaskara, Nurul Arifin-Mayong, Dewi Yull-Rae Sahetapy, dan Nia Zulkarnain-Ari Siasaleh (Majid, 2010).

Ilustrasi: Pernikahan Dalam Islam, Sumber: Liputan6

Pada tahun 1986 di Keraton Solo, Gusti Raden Ayu Kus Ondowiyah, putri Paku Buwono XII yang beragama Islam, menikah dengan Bandoro Raden Mas Susatya yang beragama Kristen. Mereka memutuskan untuk tetap pada agama masing-masing dan menikah di catatan sipil (Ramulyo, 2004). Pada tahun 1975, Ir. Silvanus, Gubernur Kalimantan Tengah yang beragama Kristen, menikah dengan G.R.A.Y. Kus Supiah yang beragama Islam di Keraton Solo. Pada tahun yang sama di Kudus, Jawa Tengah, seorang hakim yang taat menjalankan syariat Islam menikah di catatan sipil dengan seorang wanita Katolik (Ramulyo, 2004).

Pernikahan beda agama tidak hanya terjadi di kalangan artis dan masyarakat elit di kota besar, tetapi juga di perkampungan. Mereka tidak lagi mendasarkan pernikahan pada akidah agama, melainkan pada cinta semata (Hadi, 2017). Masalah ini muncul di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen dengan beragam suku, ras, adat-istiadat, dan agama. Permasalahan ini perlu dipecahkan dengan langkah-langkah moderat. Dalam konteks Indonesia, salah satu upaya merealisasikan hukum Islam yang dinamis adalah melalui fatwa. Fatwa dikeluarkan jika terdapat persoalan hukum yang memerlukan penyelesaian, baik oleh lembaga yang kompeten maupun ulama perorangan. Fatwa merupakan pendapat atau jawaban hukum terhadap persoalan yang diajukan atau terjadi. Dalam hal ini, masyarakat mengajukan masalah kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU), yang kemudian dibahas dalam forum dan menghasilkan sebuah fatwa.

Perkawinan Beda Agama dalam Islam

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan beda agama atau antar agama adalah pernikahan antara dua individu dengan agama, kepercayaan, atau faham yang berbeda. Pernikahan beda agama dalam Islam melibatkan orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita).

Dalam Islam, pernikahan beda agama memiliki aturan hukum sebagai berikut:

  1. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik.
  2. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab.
  3. Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim.

Yusuf Qardhawi melarang pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik, berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 221. Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai siapa yang dimaksud dengan musyrikah. Ibnu Jarir at-Thabari berpendapat bahwa musyrikah yang dilarang dinikahi adalah musyrikah dari bangsa Arab saja. Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa semua musyrikah, baik dari bangsa Arab maupun non-Arab selain Ahli Kitab, tidak boleh dinikahi. Menurut pendapat ini, siapa pun yang bukan muslim atau ahli kitab (Kristen/Yahudi) haram dinikahi.

Fatwa MUI Tentang Perkawinan Beda Agama

Dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-VII pada tahun 2005 di Jakarta, MUI mengeluarkan 11 fatwa, salah satunya tentang pernikahan beda agama. Berikut kutipan keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Pernikahan Beda Agama:

  1. Pernikahan beda agama sering terjadi.
  2. Pernikahan beda agama menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam dan keresahan di masyarakat.
  3. Muncul pemikiran yang membenarkan pernikahan beda agama dengan alasan hak asasi manusia dan kemaslahatan.
  4. Untuk menjaga ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama.

Berdasarkan beberapa firman Allah dalam Al-Qur'an dan Hadis Rasulullah SAW, serta kaidah fiqh, MUI memutuskan bahwa:

  1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
  2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

Dari deskripsi di atas, fatwa MUI tentang pernikahan beda agama dijelaskan dalam dua poin: pernikahan beda agama haram dan tidak sah tanpa ada pengecualian, serta khusus pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab yang juga dihukumi haram dan tidak sah. Fatwa ini masih diperdebatkan karena dalam Al-Qur'an, hadis, dan literatur fiqih klasik, pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab diperbolehkan oleh mayoritas ulama.

Fatwa NU Tentang Perkawinan Beda Agama

Nahdlatul Ulama (NU) secara tegas mengeluarkan fatwa terkait perkawinan beda agama dengan beberapa latar belakang yang mendasarinya. Latar belakang sosiologis dari fatwa ini adalah kekhawatiran masyarakat yang belum memahami hukum terkait perkawinan beda agama. Oleh karena itu, NU mengambil peran untuk memecahkan masalah ini melalui Muktamar dan membentuk Lajnah Bahtsul Masail.

Dalam forum Bahtsul Masail, para ulama NU secara aktif membahas masalah-masalah aktual termasuk perkawinan beda agama. Mereka berupaya menemukan solusi hukum Islam dalam konteks perkembangan sosial yang terus berubah dan seringkali tidak memiliki landasan tekstual yang jelas dalam Al-Quran.

NU menyatakan bahwa perempuan kafir yang dimaksud bukanlah ahli kitab yang murni, seperti keturunan Yahudi atau Nasrani sebelum kitab-kitab tersebut diubah. Istilah ahli kitab dalam Islam mengacu pada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mempercayai Taurat dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. Namun, NU dalam fatwanya menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak sah karena akan berdampak buruk pada pembinaan rumah tangga yang bahagia.

Perkawinan dengan non-Muslim pada masa sekarang berbeda dengan zaman nabi, karena ahli kitab saat ini tidak lagi beriman kepada Allah SWT dan menyekutukan-Nya. Oleh karena itu, pernikahan seorang Muslim dengan wanita non-Muslim, termasuk penyembah berhala atau majusi, tidak diperbolehkan.

Fatwa NU ditegaskan kembali oleh PBNU melalui KH. Ahmad Ishomuddin dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014, yang menyatakan bahwa pernikahan beda agama diharamkan dalam ajaran Islam. Hal ini sudah sesuai dengan kesepakatan ulama di Indonesia bahwa perempuan Muslim hanya boleh menikah dengan pria Muslim.

Nikah beda agama dianggap sebagai ancaman terhadap keimanan dan kestabilan rumah tangga. Oleh karena itu, para ulama menegaskan keharamannya, berdasarkan QS. Al-Baqarah: 221, QS. Al-Maidah: 5, dan QS. Al-Mumtahanah: 10. Fatwa NU yang dikeluarkan melalui bahtsul masail di Yogyakarta pada November 1989 menyatakan keharaman perkawinan beda agama berdasarkan Al-Quran, Hadis, dan ijtima' para ulama, sehingga fatwa ini dianggap tepat.

Kesimpulan

Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 yang mengharamkan perkawinan beda agama. Fatwa ini didasarkan pada dalil-dalil Alquran, hadis, serta kaidah fiqhiyyah dan ushuliyah, dan dianggap relevan dalam konteks keindonesiaan. Dalam hal ini, MUI mempertimbangkan aspek hifdz al-din, mengkhawatirkan bahwa perkawinan antara laki-laki Muslim dan wanita ahli kitab dapat membawa bahaya berupa ketidakmampuan suami menjaga agama anak-anaknya sehingga tidak dapat melindungi keluarga dari api neraka.

Mukhtamar NU ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989 juga menegaskan bahwa perkawinan antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah. Keputusan Lajnah Bahtsul Masail ini didasarkan pada pemahaman kitab Tuhfah al-Tullab bi Sharh al-Tahrir dan Hashiyah al-Sharqawi. Fatwa ini diperkuat oleh PBNU yang menolak tegas legalisasi perkawinan beda agama saat memberi keterangan di sidang Mahkamah Konstitusi pada September 2014. NU berpandangan bahwa perempuan Muslimah hanya boleh menikah dengan pria Muslim karena seluruh ulama sepakat mengharamkan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Demikian pula, pria Muslim hanya boleh menikah dengan wanita Muslimah. NU juga menegaskan bahwa kecil kemungkinan menarik wanita Yahudi atau Nasrani masuk Islam melalui perkawinan, dan masih banyak cara lain untuk mengajak orang masuk Islam.

Comments