Pandangan Para Tokoh Rifa’iyah dan Nahdhatul ‘Ulama tentang Pembaharuan Akad Nikah Di Kalangan Jam’iyah Rifa’iyah Dukuh Cepokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal
Pandangan Para Tokoh Rifa’iyah dan Nahdhatul ‘Ulama tentang Pembaharuan Akad Nikah Di Kalangan Jam’iyah Rifa’iyah Dukuh Cepokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal
Fakhrur Rifki_236060027
IAIN KUDUS,JAWA TENGAH,Indonesia
rifkifakhrur@gmail.com
Abstract
Tajdid marriage or renewing the marriage contract is a tradition carried out by Jam'iyah Rifa'yah. This study examines the marriage contract among the Jam'iyyah Rifa'iyah Hamlet of Cepokomulyo Village, Gemuh District, Kendal Regency and the views of Rifa'iyah leaders regarding the implementation of the marriage contract among the Jam'iyyah Rifa'iyah Hamlet of Paesan Village, West Kedungwuni District, Kedungwuni Regency. Pekalongan views and figures from Nahdhatul 'Ulama regarding the implementation of the marriage contract among the Jam'iyyah Rifa'iyah Hamlet of Paesan, Kedungwuni Barat Village, Kedungwuni District, Pekalongan Regency. marry. Jam'iyah Rifa'iyah Dukuh Paesan tries not to carry out the tajdid marriage tradition because it considers marriages carried out today to meet the stipulated conditions and to save time and energy. The marriage has been handed over to the Kyai and the task of the penghulu is only as VAT (Marriage Registrar) only. Whereas in the NU jam'iyah from ancient times until now the marriage contract is only carried out once, there is no implementation of tajdid marriage as in the Rifa'iyah group. This means that in terms of the marriage contract, Rifa'iyah and Nahdhatul Ulama are almost the same, there is no difference that makes the implementation of tajdid marriage today.
Keywords: Renewal of marriage contract, Marriage, Tajdid an-Nikah
Abstrak
Tajdid nikah atau memperbaharui akad nikah adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh Jam’iyah Rifa’yah. Penelitian ini mengkaji pembaharuan akad nikah di kalangan Jam’iyyah Rifa’iyah Desa cepokomulyo Kecamatan gemuh Kabupaten kendal serta pandangan para tokoh Rifa’iyah tentang pelaksanaan pembaharuan akad nikah di kalangan Jam’iyyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal serta pandangan para tokoh Nahdhatul ‘Ulama tentang pelaksanaan pembaharuan akad nikah di kalangan Jam’iyyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal Pelaksanaan tajdid nikah ini bertujuan untuk kehati-hatian saja manakala ada syarat dan rukun nikah yang belum terpenuhi pada waktu akad nikah. Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo berusaha untuk tidak melakukan tradisi tajdid nikah karena menganggap pernikahan yang dilakukan pada zaman sekarang sudah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan agar lebih menghemat waktu dan tenaga. Pernikahanpun sudah diserahkan kepada Kyai dan tugas penghulu hanya sebagai PPN (Pegawai Pencatat Nikah) saja. Sedangkan didalam jam’iyah NU dari zaman dahulu hingga sekarang akad nikah hanya dilaksanakan satu kali, tidak ada pelaksanaan tajdid nikah seperti dalam kelompok Rifa’iyah. Artinya dalam masalah akad nikah ,Rifa’iyah dan Nahdhatul Ulama sudah hampir sama, tidak ada perbedaan yang menjadikan adanya pelaksanaan tajdid nikah dizaman sekarang.
Kata kunci : Pembaharuan akad nikah, Pernikahan, Tajdid nikah.
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang penuh dengan rahmat dan ditujukan untuk seluruh umat manusia. Karena banyaknya warga negara Indonesia yang mayoritas muslim, maka di Indonesia sendiri terdapat banyak Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam, diantaranya adalah Nahdhatul ‘Ulama dan Rifa’iyah. Di Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh terdapat beberapa kelompok masyarakat yang tinggal dan menetap, diantaranya adalah kelompok Rifa’iyah dan Nahdhatul ‘ Ulama. Jumlah warga Nahdhatul ‘Ulama di Desa Cepokomulyo kurang lebih 200 orang dan jumlah warga Rifa’iyah kurang lebih 700 orang. Mereka hidup berdampingan dan hidup rukun satu sama lain. Hukum islam sendiri merupakan patokan yang ditujukan dan diberlakukan untuk seluruh umat islam. Dalam hukum islam terdapat beberapa kajian diantaranya kajian fikih .Setiap wilayah berbeda-beda dalam menerapkan hukum islamnya asalkan masih sesuai dan tidak melanggar syari’at islam. Negara Indonesia mempunyai buku pedoman Fikih yang diberi nama Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tetapi pada kenyatannya pelaksanaan hukum islam tidak semua ormas sama. Ada berbagai perbedaan salah satunya dalam hal pernikahan.
Terdapat perbedaan dalam hal pernikahan di kalangan Ormas Nahdhatul Ulama dan Rifaiyyah, diantaranya dalam masalah Akad nikahnya. Zaman dahulu Jam’iyyah Rifa’iyah menganggap pernikahan yang dilaksanakan di KUA (Kantor Urusan Agama) atau dengan penghulu itu tidak sah. Tidak sahnya pernikahan tersebut dikarenakan pada zaman dahulu peran pegawai dan penghulu masih berada dibawah pemerintah kolonial Belanda, sehingga pemerintahannya dicap sebagai pemerintahan kafir. Jam’iyah Rifaiyah pun akan melaksanakan pernikahan ulang atau memperbaharui akad nikah (Tajdid Nikah). Jadi, pada zaman dahulu Pernikahan dilakukan di KUA untuk dicatatkan dan disahkan oleh negara, kemudian dilaksanakan lagi pernikahan ulang di rumah mempelai wanita dengan menghadirkan Kyai Rifa’iyahnya.“Hal ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dalam melaksanakan pernikahan. Tajdid nikah ini mulai dilakukan pada tahun 1264 Hijriyah atau sekitar tahun 1847 Masehi.
Berbeda dengan zaman dahulu, pada zaman sekarang tradisi Tajdid Nikah sendiri sudah jarang dilaksanakan. Terhitung sejak kurang lebih tahun 1970an tradisi Pembaharuan Akad Nikah sudah jarang diberlakukan di kalangan Jam’iyyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh. Pernikahan di kalangan Rifa’iyah pada zaman sekarang tetap melibatkan penghulu, tetapi tugas penghulu hanyalah mencatat pernikahan, dan akad nikah hanya dilakukan satu kali saja.
Setelah melakukan observasi, peneliti juga menemukan ada 4 orang di kalangan Rifa’iyah yang pernikahannya diulang ,salah satunya yaitu : Ibu Halimah (58 tahun) dan Suami (almarhum), menikah di KUA Kota Jakarta pada tahun 1980. Setelah 30 hari menikah, Ibu Halimah dan suaminya pulang ke Desa Cepokomulyo dan mereka melaksanakan akad nikah lagi dengan Bapak K.H. Rahmatulllah (almarhum) sebagai wali nikahnya. Pengulangan akad nikah ini bertujuan untuk Tajammul Nikah (memperindah pernikahan) dan mengharap barokah dari Kyai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktik pembaharuan akad nikah di kalangan Jam’iyyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal, untuk mengetahui bagaimana pandangan para tokoh Rifa’iyah tentang Pelaksanaan Pembaharuan Akad Nikah di kalangan Jam’iyyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal, dan untuk mengetahui bagaimana pandangan para tokoh Nahdhatul ‘Ulama tentang Pelaksanaan Pembaharuan Akad Nikah di kalangan Jam’iyyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan model kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis dan pendekatan fenomenologis. Sumber data yang digunakan yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara kepada para tokoh Rifa’iyah dan Nahdhatul ‘Ulama serta beberapa warga Rifa’iyah Desa Cepokomulyo, kemudian mereduksi dan menyajikan data yang terkait dengan penelitian yang diambil dari berbagai buku, kitab, jurnal, maupun artikel. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data induktif dan komperatif.
Hasil dan Pembahasan
Pelaksanaan Pembaharuan Akad Nikah di Kalangan Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, K.H Ahmad Rifa’i mengharuskan adanya pembaharuan akad nikah (tajdidu an-nikah) dikarenakan tidak terpenuhinya persyaratan menjadi wali nikah. K.H Ahmad Rifa’i menganggap bahwa penghulu adalah orang yang fasik karena mendukung dan diangkat oleh pemerintahan Belanda yang dicap sebagai pemerintahan kafir dan K.H Ahmad Rifa’i menganggap iman penghulu sudah rusak karena menjadi kaki tangan penguasa kafir. Sehingga suatu pernikahan yang diselenggarakan oleh penghulu menurut K.H Ahmad Rifa’i tidak sah dan harus diulang lagi, dan pelaksanaan tajdid nikah ini juga diikuti oleh murid-murid K.H Ahmad Rifa’I.
Tajdid nikah dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dan untuk mengharap barokah dari Kyai. K.H Amruddin selaku Tokoh Agama dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muttaqin Cepokomulyo menuturkan bahwa pelaksanaan tajdid nikah pada zaman dahulu itu tejadi karena adanya kekurangan dalam masalah persyaratan wali dan saksi yang disebutkan dalam Kitab Tabyin al-Islah yaitu Saksi harus benar-benar adil. Zaman dahulu seorang penghulu dianggap sebagai orang munafik karena pro dengan pemerintah Belanda, sehingga adanya penghulu dalam suatu majelis pernikahan dianggap bisa menyebabkan rusaknya akad pernikahan. maka pernikahan tersebut harus diulang kembali agar benar-benar sah menurut hukum islam. Seiring berkembangnya zaman, tradisi tajdid nikah atau yang biasa disebut shihhah nikah di kalangan jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo sudah mulai ditinggalkan sejak tahun 1970-an. Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo berusaha untuk tidak melakukan tradisi tajdid nikah karena dianggap pernikahan yang dilakukan pada zaman sekarang sudah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan agar lebih menghemat waktu dan tenaga. Pernikahan pun sudah diserahkan kepada Kyai dan tugas penghulu hanya sebagai PPN (Pegawai Pencatat Nikah) saja.
Pada zaman sekarang, penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki disiplin keilmuan agama Islam yang memadai, para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) juga diangkat melalui tes kemampuan profesi, dan keilmuan agama yang memadai. Di samping itu, pada umumnya pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki latar belakang pendidikan pesantren dan memiliki pengabdian dan perjuangan di masyarakatnya sendiri sendiri. Atas dasar latar belakang pendidikan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) di era sekarang ini dengan era zaman Belanda jelas terdapat perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu, di era sekarang juga terjadi pergeseran pemikiran dari pandangan jam’iyah Rifa`iyah terhadap keabsahan penghulu.
Menurut K.H Amruddin, Jam’iyah Rifa’iyah Dukuh Paesan hanya melakukan akad nikah satu kali saja,akad nikah bisa dilaksanakan di rumah maupun di KUA asal tetap memperhatikan persyaratan wali dan saksi seperti yang telah disebutkan dalam kitab Tabyinal-Islah.
Seperti keterangan dari Ibu Hj. Istikharoh (65 Tahun), salah satu warga Rifa’iyah yang menikah di tahun 1972. Akad nikah Ibu Hj. Istikharoh dilakukan satu kali di rumahnya dengan mendatangkan Kyai sebagai Wali dan penghulu hanya bertugas untuk mencatat perkawinannya saja. Tidak ada pengulangan akad nikah seperti zaman dahulu yang diajarkan oleh K.H Ahmad Rifa’i. Begitu juga dengan Ibu Hj. Atikah (68 Tahun) kakak dari Ibu Hj. Istikharoh yang menikah ditahun 1970. Akad nikahnya juga dilakukan satu kali di rumah Hj. Atikah dengan perwalian dari Kyai dan penghulu hanya mecatat perkawinannya saja.
Vika Sanaya (24 Tahun), menikah ditahun 2017. Akad nikahnya dilaksanakan di rumah Vika Sanaya dengan mendatangkan penghulu sebagai PPN saja. Wali nikahnya yaitu Bapak Sofyan, saksinya yaitu Bapak K.H Faizin dan K.H Aziz Tsani. Ainun Najibah (24 tahun) dan suaminya menikah di tahun 2019. Pernikahan dilaksanakan di rumah Ainun Najibah dengan wali Bapak kandung dari Ainun Najibah yaitu Bapak Absori dan dua orang Saksi yaitu Bapak Zahroni dan Bapak Moh. Rois. Pernikahannya juga dihadiri oleh kyai dari kalangan Rifa’iyah untuk mendoakan agar mereka diberi kebaikan dan keberkahan dalam rumah tangganya. Selain di rumah, Jam’iyah Rifaiyah juga ada yang melaksanakan akad nikah di KUA (Kantor Urusan Agama), dengan catatan bahwa wali dan saksi harus memenuhi persyaratan yang telah tercantum dalam Kitab Tabyin al-Islah. Yang menjadi saksi nikah tidak harus seorang kyai atau ustadz asalkan memenuhi syarat. Tetapi Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo lebih memprioritaskan seorang kyai atau ustadz untuk menjadi saksi nikah.
Khairul Muflikhin dengan Sobrotun yang menikah ditahun 2019. Akad nikah dilaksanakan di KUA dengan mendatangkan wali dan dua orang saksi. Yang menjadi wali nikah adalah K.H Affan Dzul Fadzdhol dan saksinya yaitu K.H Amruddin dan K.H Habibullah. Penghulu hanya sebagai PPN saja. Menurut Khairul Muflikhin “Jam’iyahh Rifa’iyah membolehkan melaksanakan akad nikah di KUA karena lebih menghemat biaya, akan tetapi harus memperhatikan apa saja ketentuan-ketentuan yang telah Mbah Rifa’i tulis dalam Kitab Tabyin al-Islah, agar pernikahan benar-benar sah menurut agama.” Tajdid nikah atau biasa disebut shihhah nikah dilakukan untuk mengharap barokah dari Kyai. Dahulu ada beberapa Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo yang pernah melaksanakan shihhah nikah. Shihhah nikah ini dahulu dilakukan oleh warga Rifa’iyah yang menikah diluar kota dan kemudian pulang ke Desa Cepokomulyo, lalu mengadakan shihhah atau “nganyar-nganyari nikah” dalam Bahasa Jawa. Tujuannya adalah untuk mengharap Barokah dari Kyai di kalangan Rifa’iyah. Beberapa warga Rifa’iyah yang melaksanakan shihhah nikah diantaranya :
Ibu Halimah (58 tahun) dan Suami (alm), menikah di KUA Kota Jakarta pada tahun 1980. Setelah 30 hari menikah, Ibu Halimah dan suaminya pulang ke Desa Cepokomulyo dan mereka melaksanakan akad nikah lagi dengan Bapak K.H. Rahmatulllah(alm) sebagai wali nikahnya.
Ibu Rohanah (71 tahun) dan Suami (alm), menikah di KUA Kota Jakarta pada tahun 1960. Setelah 30 hari menikah, Ibu Rohanah dan suaminya pulang ke Desa Cepokomulyo dan mereka melaksanakan akad nikah lagi dengan Bapak K.H. Rahmatulllah(alm) sebagai wali nikahnya.
Bapak Maksudi (67 tahun) dan istri (alm), menikah di KUA Kota Jakarta pada tahun 1981. Setelah 40 hari menikah, Bapak Maksudi dan Istrinya pulang ke Desa Cepokomulyo dan mereka melaksanakan akad nikah lagi dengan Bapak K.H. Rahmatulllah(alm) sebagai wali nikahnya.
Bapak Faozan (65 tahun) dan Ibu Manilah (alm), menikah di KUA Kota Jakarta pada tahun 1981. Setelah 40 hari menikah, Bapak Faozan dan istrinya pulang ke Desa Cepokomulyo dan mereka melaksanakan akad nikah lagi dengan Bapak K.H. Rahmatulllah(alm) sebagai wali nikahnya.
Menurut K.H Affan Dzul Fadzdhol, “shihhah nikah yang dilakukan oleh pasangan yang menikah di luar kota dulu memang ada tetapi hanya beberapa orang saja, dan sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi, dan juga tajdid nikah yang seperti pada zamannya K.H Ahmad Rifa’i itu sudah tidak lagi dilakukan oleh Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo dan sekarang nikahnya cukup satu kali saja. Pandangan Para Tokoh Rifa’iyah Tentang Pelaksanaan Pembaharuan Akad Nikah di Kalangan Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal.
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, K.H Ahmad Rifa’i mengharuskan adanya pembaharuan akad nikah (tajdidu an-nikah) dikarenakan tidak terpenuhinya persyaratan menjadi wali dan saksi nikah. K.H Ahmad Rifa’i menganggap bahwa penghulu adalah orang yang fasik karena mendukung dan diangkat oleh pemerintahan Belanda yang dicap sebagai pemerintahan kafir dan K.H Ahmad Rifa’i menganggap iman penghulu sudah rusak karena menjadi kaki tangan penguasa kafir. Sehingga suatu pernikahan yang diselenggarakan oleh penghulu menurut K.H Ahmad Rifa’i tidak sah dan harus diulang lagi, dan pelaksanaan tajdid nikah ini juga diikuti oleh murid-murid K.H Ahmad Rifa’i. Tajdid nikah dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dan untuk mengharap barokah dari Kyai.
K.H Amruddin selaku Tokoh Agama dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muttaqin Cepokomulyo menuturkan bahwa pelaksanaan tajdid nikah pada zaman dahulu itu terjadi karena adanya kekurangan dalam persyaratan wali dan saksi yang disebutkan dalam Kitab Tabyin al-Islah,yaitu saksi harus benar-benar adil. Zaman dahulu seorang penghulu dianggap sebagai orang munafik karena pro dengan pemerintah Belanda, sehingga adanya penghulu dalam suatu majelis pernikahan dianggap bisa menyebabkan rusaknya akad pernikahan. maka pernikahan tersebut harus diulang kembali agar benar-benar sah menurut hukum islam.
Seiring berkembangnya zaman, tradisi tajdid nikah atau yang biasa disebut shihhah nikah di kalangan jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo sudah mulai ditinggalkan sejak tahun 1970an. Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo berusaha untuk tidak melakukan tradisi tajdid nikah karena dianggap pernikahan yang dilakukan pada zaman sekarang sudah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan agar lebih menghemat waktu dan tenaga. Pernikahan pun sudah diserahkan kepada Kyai dan tugas penghulu hanya sebagai PPN (Pegawai Pencatat Nikah) saja.
Ustad Habibullah menuturkan bahwa tajdid nikah itu terjadi pada zaman kolonial Belanda pada saat K.H Ahmad Rifa’i masih menyiarkan agama islam di tanah Jawa. Tetapi pada zaman sekarang orang Rifa’iyah sudah lebih mengikuti aturan pemerintahan, jadi sudah tidak melakukan tajdid nikah dan nikahnya cukup satu kali saja termasuk di Desa Cepokomulyo ini sudah tidak melaksanakan tajdid nikah seperti zaman dulu. Tetapi di daerah lain ada juga kalangan Rifa’iyah yang masih melaksanakan tradisi tajdid nikah ini dengan tujuan mengharap barokah dari kyainya
Ustad Muhajirin menambahkan,“tajdid nikah atau memperbarui akad nikah itu adalah sebuah tradisi di kalangan Rifa’iyah yang terjadi dari zaman Belanda atau zaman K.H Ahmad Rifa’i masih hidup. Tajdid nikah sendiri tidak diatur dalam kitab ataupun organisasi Rifa’iyah. Tetapi untuk zaman sekarang terutama di Desa Cepokomulyo, tradisi tajdid nikah sudah mulai ditinggalkan dan sekarang sudah mengikuti aturan pemerintah. Pernikahan dapat dilakukan di KUA maupun di rumah dan pernikahan hanya dilakukan satu kali saja.
Menurut K.H Affan Dzul Fadzdhol, “ tajdid nikah yang seperti pada zamannya K.H Ahmad Rifa’i itu sudah tidak lagi dilakukan oleh Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo dan sekarang nikahnya cukup satu kali saja. Begitu juga dengan shihhah nikah yang dilakukan oleh pasangan yang menikah di luar kota, dulu memang ada tetapi hanya beberapa orang saja, dan sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi.” Menurut K.H Amruddin, zaman sekarang Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo hanya melakukan akad nikah satu kali saja, dan akad nikah bisa dilaksanakan di rumah maupun di KUA asal tetap memperhatikan persyaratan wali dan saksi seperti yang telah disebutkan dalam kitab Tabyinal-Islah.
Ada pergeseran pemikirian dari pandangan Jam’iyah Rifa’iyah terhadap syarat wali dan saksi yang disebutkan dalam kitab Tabyin al-islah, di zaman koloniall Belanda dahulu , syarat wali dan saksi haruslah orang yang adil dan tidak fasik. Definisi dari adil dalam kitab Tabyin al-islah adalah orang yang tidak melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil. Pada zaman kolonial Belanda, pegawai pemerintah dianggap orang yang fasik dan tidak adil karena mengikuti dan patuh terhadap pemerintah Belanda. Oleh sebab itu, pernikahan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah pada zaman Belanda dianggap tidak sah dan kemudian pernikahan harus diulang kembali. Pengulangan akad nikah tersebut dilakukan dengan kyai Rifa’iyah.
Berbeda dengan zaman dahulu, di zaman sekarang Adil yang dimaksud dalam kitab Tabyin al-islah menurut Jam’iyah Rifa’iyah yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar dan menjaga muru’ah nya dengan dibuktikan oleh pemantauan dari para Kyai Rifa’iyah dan warga Rifa’iyah. Karena untuk zaman sekarang mencari oranng yang benar-benar adil itu sangatlah susah. Tetapi dalam hal penentuan syarat wali dan saksi nikah, Rifa’iyah yang sekarang tidak kaku, siapapun boleh menjadi wali dan saksi. Hanya saja biasanya di kalangan Rifa’iyah lebih memprioritaskan Kyai atau Ustadz untuk menjadi wali dan saksi nikah.
Adanya perbedaan pandangan jam’iyah Rifa’iyah terhadap pegawai pemerintah yang dahulu di zaman kolonial Belanda dengan yang sekarang, bahwa pegawai pemerintah pada zaman Belanda dianggap minim ilmu agama dan pro dengan Belanda yang dicap sebagai pemerintahan kafir, sehingga dianggap banyak melakukan dosa-dosa kecil maupun dosa besar. Sehingga jika pernikahan dilakukan oleh pegawai pemerintah maka dianggap tidak sah dan harus diulang lagi.
Terjadi pergeseran pemikiran dari pandangan jam’iyah Rifa’iyah terhadap pegawai pemerintah di KUA. Dilihat dari latar belakang pendidikan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) di era sekarang ini dengan era zaman Belanda jelas terdapat perbedaan yang signifikan. Pada zaman sekarang, penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki disiplin keilmuan agama Islam yang memadai, para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) juga diangkat melalui tes kemampuan profesi, dan keilmuan agama yang memadai. Di samping itu, pada umumnya pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki latar belakang pendidikan Agama yang tinggi. Maka pernikahan yang dilaksanakan di KUA pun sudah dapat dikatakan sah.
Pandangan Para Tokoh Nahdhatul ‘Ulama Tentang Pelaksanaan Pembaharuan Akad Nikah di Kalangan Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cwpokomulyo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal
Setiap orang yang sudah mampu berijtihad maka hukumnya wajib untuk berijtihad. Tetapi tidak sembarang orang bisa berijtihad, karena banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi agar menjadi seorang mujtahid dan itu tidaklah mudah. Diantara syaratnya adalah mengetahui bahasa Arab dan ilmu-ilmunya dengan sempurna, mengetahui ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum, mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para ahlinya, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya, mengetahui nasikh mansukh, mengetahu dengan jelas rahasia-rahasia tasyri’, mengetahui seluk beluk qiyas, dan lain sebagainya. Dan hasil ijtihad setiap ulama pasti berbeda-beda.
Tentang pembaharuan akad nikah atau tajdid nikah di kalangan Rifa’iyah sebenarnya bagus, karena sudah menjadi keyakinan dan i’tikad Ulama Rifa’iyah dalam mengkaji pemerintahan pada zaman Belanda itu termasuk golongan orang yang meniru Belanda. Jadi berdampak pada pernikahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada zaman Belanda bahwa Rifa’iyah tidak mengesahkan pernikahan yang dilaksanakan oleh penghulu karena pemerintah Belanda dianggap sebagai pemerintahan kafir. Sebagai orang NU kita beregangan pada kaidah ا لحكم يدور مع علته yang artinya hukum itu tidak baku, selalu berputar melihat permasalahan yang muncul. Jadi hukum di zaman sekarang bisa saja berbeda dengan zaman dahulu, dan hukum yang sekarang berlaku bisa saja berubah dimasa mendatang.
Pada zaman Kolonial Belanda K.H Ahmad Rifa’i tidak mengesahkan pernikahan yang dilaksanakan oleh penghulu karena penghulu dianggap orang fasik itu menurut ustad Ghozi bagus jika dilihat dari zamannya. Kalau di NU dari zaman dahulu, menikah melalui penghulu atau di KUA itu sah-sah saja dan pernikahan dilakukan satu kali. Jadi, Rifai’yah dan NU zaman dahulu berbeda dalam melaksanakan pernikahan. di Rifa’iyah sangat hati hati dalam menentukan syarat dan rukun nikahnya. Sedangkan di NU lebih mudah dalam menentukan syarat nikahnya terutama dalam syarat saksi. Kalau di NU saksi boleh siapa saja, karena untuk menemukan orang yang benar-benar Adil itu sangat susah. Maka dari itu, dalam pelaksanaan walimatul ‘ursy semua tamu undangan membaca istighfar dan syahadat bersama-sama. Jika sudah beristighfar dan bersyahadat maka dianggap sudah bertaubat.
Hal senada juga dituturkan oleh Ustad Imadul Husni, “saksi memang harus adil, teteapi kalau untuk zaman sekarang mencari orang yang benar-benar adil itu sangatlah susah. Di zaman Belanda saja menurut Mbah Rifa’i juga sudah sulit menemukan orang adil apalagi zaman sekarang. Disisi lain ada juga qoul dan ulama yang membolehkan wali dan saksi yang fasik (tidak memenuhi syarat wali dan saksi). Kalau sangat hati-hati dalam menyeleksi seseorang untuk menjadi saksi nanti menjadi sulit, karena zaman sekarang sulit menemukan orang yang benar-benar adil. Kalau di NU biasanya memanggil orangorang soleh seperti habib, kyai-kyai sebagai wali nikah. Jadi, di NU sendiri dan menurut beberapa Ulama menghadiri acara walimatul ‘ursy yang disertai dengan akad nikah itu hukumnya wajib. Disamping kita menjadi tamu walimah kita juga menyaksikan akad nikah. Barangkali disekian banyak tamu undangan ada salah satu orang yang tidak tergolong fasik atau yang memenuhi syarat saksi nikah. Kalau prinsip ikhtiyat dari K.H Ahmad Rifa’i itu sebenarnya sangat bagus, tapi nantinya kalau terus diterapkan sepeti itu, yg kalangan kurang pendidikan agama jadi sulit dan khawatir pernikahannya menjadi tidak sah.
Ajaran Rifaiyah tidak mengesahkan orang fasik sebagai saksi nikah. K.H ahmad Rifa’i pada zaman dahulu sangat berhati-hati dalam memenuhi syarat dan rukun nikah dan jika ada pernikahan yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah maka dianggap tidak sah. Padahal itupun belum pasti benar atau salahnya karena semua itu adalah sebuah ijtihad. Sedangkan di NU orang fasikpun bisa menjadi saksi, tetapi pada waktu akan menjadi saksi harus bertaubat terlebih dahulu dengan cara membaca istighfar dan syahadat. Dengan membaca istighfar dan syahadat maka seseorang sudah dapat dikatakan adil. Menurut ajaran dalam NU, wali dan saksi nikah itu tidak harus adil selamanya seperti adilnya para Rawi hadis. Wali dan saksi nikah dikatakan Adil hanya pada waktu pernikahan, artinya sebelum dilaksanakan pernikahan wali dan saksi harus bertaubat dari segala kemaksiatan.
Bapak Kyai Achmad Achsin menambahkan, “Ulama’ Nahdhatul Ulama dalam memberikan sebuah hukum itu, مِنۢ َبيْنِ فَرْثٍ وَدمٍ َّلبَنًا َخاِلًصا diantara darah dan kotoran itu ada susu yang murni. Jadi kita dalam melihat sesuatu itu jangan melihat bagus atau jeleknya saja, pasti diantara keduanya ada yang lebih baik. NU juga tidak memudahkan dan juga tidak menyusahkan dalam memberikan sebuah hukum. Selagi hukum suatu masalah bisa diringankan maka NU meringankannya, tetapi jika sudah diringankan dan kita malah terjerumus dalam dosa maka hukum itu tidak dilaksanakan. Rifa’iyah pada zaman dahulu lebih hati-hati dalam menetapkan syarat dan rukun nikah, sedangkan NU lebih memudahkan dan tidak kaku. Keduanya bagus karena memang berasal dari ijtihad masing-masing ulama. Rifa’iyah tidak boleh menyalahkan NU karena kurang berhati-hati ,begitu juga NU tidak boleh menyalahkan Rifa’iyah karena kehatihatiannya dalam menetapkan syarat dan rukun nikah.
Hukum itu berjalan menurut sebab musababnya. Hukum juga bisa berubah melihat masa atau zamannya. Dalam tajdid nikah, hukum tajdid nikah itu boleh (jawaz), yang tidak diperbolehkan itu adalah yang benar-benar mengulang nikah. Maksudnya, sudah menikah lalu menikah lagi dengan niat mengulang pernikahan. Hal ini menyebabkan pernikahan yg pertama menjadi batal. Jadi, jika ingin memperbaharui pernikahan itu niatnya harus untuk tajammul (memperindah) pernikahan. jadi pernikahan itu diulang bukan karena kesalahan dalam akad nikahnya, dan tidak mengurangi bilangan talak. Contohnya sepasang suami istri sudah menikah di KUA pada bulan Mei 2020, karena adanya Covid-19 maka diadakan akad nikah lagi pada bulan September 2020 di rumah pengantin wanita. Pengulangan akad nikah ini tujuannya untuk memperindah dan sebagai tanda agar orang lain mengetahui adanya suatu pernikahan.
“Dalam hal syarat dan rukun nikah, Rifaiyah yang dahulu tidak sama dengan Nahdhatul ulama. Dari zaman dahulu hingga sekarang yang namanya akad nikah di NU yang penting ada calon laki-laki, calon wanita, wali, dua orang saksi, ijab kabul. Saksi harus orang yang adil, NU tidak kaku dalam menentukan siapa saksinya, apakah orang itu fasik atau tidak. Tetapi dalam Rifa’iyah di zaman kolonial saksi haruslah orang yang adil atau tidak fasik. Berarti harus benar-benar yang memenuhi kriteria. Tetapi seiring berjalannya waktu Rifa’iyah lebih memudahkan jama’ahnya dalam memenuhi syarat dan rukun nikah. Sebuah transformasi hukum yang luar biasa para ulama Rifa’iyah lebih memudahkan para jamaahnya dalam masalah hukum nikah.
Analisis Perbedaan Pendapat Para Tokoh Ulama Rifa’iyah dan Nahdhatul ‘Ulama tentang Pembaharuan Akad Nikah Dikalangan Jam’iyah Rifa’iyah Dukuh Paesan Kelurahan Kedungwuni Barat Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan
Menurut Prof. Dr Abdul Djamil dalam penelitiannya disebutkan bahwa K.H Ahmad Rifa’i merupakan sosok ulama yang terkenal anti Belanda. K.H Ahmad Rifa’i sering menyebut “kafir” para penguasa kolonial Belanda di Jawa dan para pegawai pemerintahnya seperti Bupati, penghulu, dan demang. K.H. Ahmad Rifa’i menganggap mereka telah tersesat karena mengikuti kemauan raja kafir (Belanda) dan orang yang mendukung pemerintahan klonial adalah golongan orang munafik. Sehingga muncullah corak fikih yang berbeda dengan kelompok lain salah satunya dalam masalah pernikahan yang bercirikan dengan penolakan terhadap pemerintahan colonial.
Dalam penelitian yang dilakukan G.F Pijper tahun 1878 menyebutkan bahwa tugas seorang penghulu adalah mengurus masalah pernikahan termasuk menjadi saksi ataupun wali hakim. K.H Ahmad Rifa’i menganggap penghulu adalah orang yang fasik karena mendukung dan diangkat oleh pemerintahan Belanda yang dicap sebagai pemerintahan kafir dan menganggap iman penghulu sudah rusak karena menjadi kaki tangan penguasa kafir .
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Bapak K.H Amruddin, dan Ustad Habibullah,bahwa K.H Ahmad Rifa’i tidak mengesahkan pernikahan yang dilaksanakan oleh penghulu (pada masa Kolonial Belanda) karena adanya pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan seperti saksi dan wali yang tidak memenuhi kriteria persyaratan wali dan saksi nikah yang dijelaskan dalam kitab Tabyinal Islah yaitu Adil dan tidak fasik.
Zaman dahulu seorang penghulu dianggap sebagai orang munafik karena pro dengan pemerintah Belanda, sehingga adanya penghulu dalam suatu majelis pernikahan dianggap bisa menyebabkan rusaknya akad pernikahan. maka pernikahan tersebut harus diulang kembali agar benar-benar sah menurut hukum islam.
Seiring berkembangnya zaman, tradisi tajdid nikah atau yang biasa disebut shihhah nikah di kalangan jam’iyah Rifa’iyah Dukuh Paesan sudah mulai ditinggalkan sejak tahun 1970an. Jam’iyah Rifa’iyah Dukuh Paesan berusaha untuk tidak melakukan tradisi tajdid nikah karena dianggap pernikahan yang dilakukan pada zaman sekarang sudah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan agar lebih menghemat waktu dan tenaga. Pernikahanpun sudah diserahkan kepada Kyai dan tugas penghulu hanya sebagai PPN (Pegawai Pencatat Nikah) saja.
Ada pergeseran pemikirian pandangan Jam’iyah Rifa’iyah terhadap syarat wali dan saksi yang disebutkan dalam kitab Tabyin al-islah, zaman dahulu sebelum tahun 1970-an wali dan saksi haruslah orang yang adil dan tidak fasik. Definisi dari adil dalam kitab Tabyin al-islah adalah orang yang tidak melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil. Pada zaman kolonial Belanda, pegawai pemerintah dianggap orang yang fasik dan tidak adil karena mengikuti dan patuh terhadap pemerintah Belanda. Oleh sebab itu, pernikahan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah pada zaman Belanda dianggap tidak sah dan kemudian pernikahan harus diulang kembali. Pengulangan akad nikah tersebut dilakukan dengan kyai Rifa’iyah.
Berbeda dengan zaman dahulu, di zaman sekarang Adil yang dimaksud dalam kitab Tabyin al-islah menurut Jam’iyah Rifa’iyah yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar dan menjaga muru’ah nya dengan dibuktikan oleh pemantauan dari para Kyai Rifa’iyah dan warga Rifa’iyah. Tetapi dalam hal penentuan syarat wali dan saksi nikah, Rifa’iyah yang sekarang tidak kaku, siapapun boleh menjadi wali dan saksi. Hanya saja biasanya di kalangan Rifa’iyah lebih memprioritaskan Kyai atau Ustadz untuk menjadi wali dan saksi nikah.
Adanya perbedaan pandangan jam’iyah Rifa’iyah terhadap pegawai pemerintah yang dahulu di zaman kolonial Belanda dengan yang sekarang, bahwa pegawai pemerintah pada zaman Belanda dianggap minim ilmu agama dan pro dengan Belanda, sehingga pasti banyak melakukan dosa-dosa kecil maupun dosa besar. Sehingga jika pernikahan dilakukan oleh pegawai pemerintah maka dianggap tidak sah dan harus diulang lagi. Kemudian juga terjadi pergeseran pemikiran dari pandangan jam’iyah Rifa’iyah terhadap pegawai pemerintah di Kantor Urusan Agama (KUA). Dilihat dari latar belakang pendidikan pegawai KUA di era sekarang ini dengan era zaman Belanda jelas terdapat perbedaan yang signifikan. Pada zaman sekarang, penghulu di KUA memiliki disiplin keilmuan agama Islam yang memadai, para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) juga diangkat melalui tes kemampuan profesi, dan keilmuan agama yang memadai. Di samping itu, pada umumnya pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki latar belakang pendidikan Agama yang tinggi. Maka pernikahan yang dilaksanakan di KUA pun sudah dapat dikatakan sah.
Di kalangan Nahdhatul ‘Ulama dari zaman dahulu hingga sekarang siapapun bisa menjadi saksi nikah walaupun orang itu tergolong fasik, tetapi pada waktu akan menjadi saksi harus bertaubat dulu dengan cara membaca istighfar dan syahadat. Dengan membaca istighfar dan syahadat maka seseorang sudah dapat dikatakan adil. Menurut ajaran dalam NU, wali dan saksi nikah itu tidak harus adil selamanya seperti adilnya para Rawi hadis. Wali dan saksi nikah dikatakan Adil hanya pada waktu pernikahan, artinya sebelum dilaksanakan pernikahan wali dan saksi harus bertaubat dari segala kemaksiatan.
Dalam hal syarat dan rukun nikah, Rifaiyah yang dahulu tidak sama dengan Nahdhatul ulama. Dari zaman dahulu hingga sekarang yang namanya akad nikah di NU yang penting ada calon laki-laki, calon wanita, wali, dua orang saksi, ijab kabul. Saksi harus orang yang adil, NU tidak kaku dalam menentukan siapa saksinya, apakah orang itu fasik atau tidak. Tetapi dalam Rifa’iyah di zaman kolonial saksi haruslah orang yang adil atau tidak fasik. Berarti harus benar-benar yang memenuhi kriteria. Tetapi seiring berjalannya waktu Rifa’iyah menjadi hampir sama dengan NU dalam masalah akad nikah. Rifa’iyah lebih memudahkan jama’ahnya dalam memenuhi syarat dan rukun nikah. Sebuah transformasi hukum yang luar biasa para ulama Rifa’iyah agar lebih memudahkan para jamaahnya dalam masalah hukum nikah.
Simpulan
Dari beberapa uraian, pembahasan dan analisis dalam penulisan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan Tajdid nikah atau pembaharuan akad nikah terjadi pada zaman Kolonial belanda saat K.H Ahmad Rifa’i masih hidup dan diikuti oleh pengikutnya (Jam’iyah Rifa’iyah) hingga saat ini. Tajdid nikah ini terjadi karena seorang penghulu dianggap sebagai orang munafik karena pro dengan pemerintah Belanda, sehingga adanya penghulu dalam suatu majelis pernikahan dianggap bisa menyebabkan rusaknya akad pernikahan. maka pernikahan tersebut harus diulang kembali agar benarbenar sah menurut hukum islam. Pelaksanaan tajdid nikah ini bertujuan untuk kehatihatian saja, manakala ada syarat dan rukun nikah yang belum terpenuhi pada waktu akad nikah.
Adanya pergeseran pemikiran dari jam’iyah Rifa’iyah terhadap syarat saksi dan wali dalam akad nikah. Jika zaman dahulu saksi dan wali haruslah orang yang adil. Adil yang dimaksud adalah tidak melakukan dosa besar dan dosa kecil. Pegawai pemerintah pada zaman belanda dianggap tidak adil karena pro dengan Belanda dan juga minim ilmu agama. Tetapi di zaman sekarang jam’iyah Rifa’iyah sudah patuh dengan aturan-aturan pemerintah Indonesia dan tidak mempermasalahkan jika menikah melalui penghulu ,karena penghulu zaman sekarang sudah pasti latar belakang pendidikan agamanya baik. Dalam hal penentuan syarat wali dan saksi nikah, Rifa’iyah yang sekarang tidak kaku, siapapun boleh menjadi wali dan saksi. Hanya saja biasanya di kalangan Rifa’iyah lebih memprioritaskan Kyai atau Ustadz untuk menjadi wali dan saksi nikah.
Di Desa Cepokomulyo sendiri tajdid nikah sudah ditinggal sejak tahun 1970-an hingga sekarang. Jam’iyah Rifa’iyah Desa Cepokomulyo berusaha untuk tidak melakukan tradisi tajdid nikah karena menganggap pernikahan yang dilakukan pada zaman sekarang sudah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan agar lebih menghemat waktu dan tenaga. Pernikahanpun sudah diserahkan kepada Kyai dan tugas penghulu hanya sebagai PPN (Pegawai Pencatat Nikah) saja. Sedangkan didalam jam’iyah NU dari zaman dahulu hingga sekarang akad nikah hanya dilaksanakan satu kali, tidak ada pelaksanaan tajdid nikah seperti dalam kelompok Rifa’iyah. Artinya dalam masalah akad nikah ,Rifa’iyah dan Nahdhatul Ulama sudah hampir sama, tidak ada perbedaan yang menjadikan adanya pelaksanaan tajdid nikah dizaman sekarang.
Saran Setiap ijtihad seorang Ulama harus dihormati, termasuk ijtihad dari Pendiri Rifa’iyah yaitu K.H Ahmad Rifa’i. Beliau merupakan ulama dan juga pahlawan yang sangat menentang Belanda, sehingga ajarannyapun juga bercorak kontra dengan Kolonial Belanda. Hal ini menjadi sesuatu yang unik dan ada nilai tersendiri bagi Rifa’iyah. Adanya perbedaan hukum maupun tradisi di setiap Organisasi islam haruslah dihormati, tidak boleh saling menyalahkan satu sama lain. Terutama bagi para Jam’iyah Rifa’iyah dan juga Nahdhatul Ulama yang kini hidup saling berdampingan. Hukum itu bisa berubah sesuai dengan zaman dan sesuai dengan permasalahan yang muncul. Hukum dizaman dahulu bisa berbeda dengan hukum yang sekarang, dan hukum yang sekarangpun bisa juga berbeda dengan hukum dimasa mendatang. Bagi para Jam’iyah Rifa’iyah,tetaplah berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, serta memperdalam lagi ilmu-ilmu dari K.H Ahmad Rifa’i dan lestarikan ajaran-ajaran Beliau.
Daftar Pustaka
Buku Anas, A Idhoh. (2008) . Risalah Nikah Ala Rifa’iyah , Pekalongan : Al-Asri Departemen Agama R.I , (2000) Kompilasi Hukum Islam
Ghazaly, Abdul Rahman.(2003). Fiqh Munakahat, Jakarta : Prenade Media Kasiram,Moh. (2010) Metodologi Penelitian (Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian), Malang: UIN Maliki
Mardani, (2011) Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern ,Yogyakarta : Graha Ilmu Mughniyah,Muhammad Jawad(2009) Fiqih Lima Mazhab Jakarta : Penerbit Lentera
Mukti, Fajar dan Yulianto Achmad. (2013). Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Muzzammil, Iffah. (2019). Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan dalam Islam. Cet. 1. Tangerang : Tira Smart
Raco, J.R (2010) Metode Penelitian Kualitatif Jenis,karakteristik, dan Keunggulnnya . Jakarta : PT Gramedia Widiasarna Indonesia
Sarwat, Ahmad. (2011). Seri Fiqih Kehidupan Pernikahan . Jakarta : DU Publishing
Surahmud, Winarno.(1982). Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung : Tarsita
Yusuf,Muri. (2014). Metodologi Penelitian: Kualitatif, Kuantitatif, Dan Penelitian Gabungan, Jakarta: Prenada Media
Jurnal
Atabik, Ahmad. (2018). Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. Jurnal Yudisia , (2)
Fauzi,Muhammad Hilmi,(2018) “Tajdidun Nikah sebagai Trend Adat Masyarakat Jawa(Analisis Hukum Islam Terhadap Study Kasus Pada Masyarakat Desa Budi Mulya, Puncak Harapan dan Ayunan Papan Kecamatan Lokpaikat Kabupaten Tapin)” (Jurnal Bimas Islam Vol.11. No.III) Ikhsan Ikhtizam, (2016) “Keabsahan Nikah di KUA ; Studi Kasus Jamaah Rifa’iyah Kabupaten Kendal” (Jurnal Didaktika Islamika Vol.7 No.1 , Februari 2016)
Khairani . (2017) Pengulangan Nikah Menurut Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Kota Kualasimpang). Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam , 1(2) Juli – Desember
Muftadin, Dahrul. (2017). Fikih Perlawanan Kolonialisme Ahmad Rifa’i. Jurnal Penelitian .14(2).
Nafik, Mohammad. (2016), Fenomena Tajdidu An-Nikah Di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kodya Surabaya. Jurnal Realita. 14(2).
Sahibudin,M. “Pandangan Fuqaha’ Terhadap Tajdid An-Nikah (Sebuah Eksplorasi Terhadap Fenomena Tajdid Nikah di Desa Toket Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan)” (Jurnal penelitian dan Pemikiran Islam, Juli. 5 (2)
Wahyuni, Sri. (2010).Kontroversi Perkawinan Beda Agama . Jurnal Hukum Islam (JHI), 8(1) , Juni , 65
Wibisana,Wahyu. (2016) Pernikahan Dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, 14 (2)
Buku Terjemahan
al-Malibari,Zainuddin bin Abdul Aziz. (1993) Fathul Mu’in. Terj.Abul Hiyadh. Surabaya : Al-Hidayah
Rifa’i ,Ahmad. (2020) Kitab Nikah Tabyinal Islah. Terj. Ahmad Syadzirin Amin ,Pekalongan : Yayasan Wakaf Rifa’iyah
Skripsi
AfdianSyah, Tahlis.(2015). “Pelaksanaan Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah Di Desa Tanah Baya Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang” Skripsi S1 Ahwal AlSyakhsyiyyah, Purwokerto : Institut Agama Islam Negeri Purwokerto
Asih ,Yayuk Ning. (2016). Konsep Wali Nikah Menurut K.K. Ahmad Rifa’i (Studi Analisis terhadap Kitab Tabyin Al Islah), Sekolah Tinggi Agama Isam Pekalongan
Baihaqi, Wahid Ahtar.(2015). “ Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Fatwa Syekh Ismail Al-Zain Dalam Kitab Qurrah Al-‘Ain Tentang Tajdid Nikah”. Skripsi S1 Jurusan Ahwal Al- Syakhsyiyyah, Jember : Institut Agama Islam Negeri Jember
Huda, Khoirul. (2009). “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Saks Nikah Menurut Jam’iyyah Rifa;Iyyah (Studi Kasus Di Kelurahan Rowosari Kecamatan Tembalang Kota Semarang, Tahun 2009-2010)”. Skripsi S1 Ahwal Al-Syakhsyiyyah, Semarang : Institut Agama Islam Negeri Semarang.
Saifuddin, Hanif Ahmad. (2015), “Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah Di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang” Skripsi S1 Al-Syakhsyiyyah Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Saifullah, Khasan. (2018). Implikasi Tajdd Al-Nikah Terhadap Relasi Suami Istri Dalam Membina Keluarga (Studi Kasus Desa Ngampal Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro). Ponorogo : IAIN Ponorogo.
Sabiqa, Muhammad Adi Farid. (2019). Tajdid al-Nikah (Pembaharuan Nikah) Sebagai Alternatif Keluarga yang Belum Memiliki Keturunan (Studi Kasus Desa Nyalembang Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang). Semarang : UIN Semarang.
Comments