perjalanan Menuntut Ilmu
Pada abad ke-17, hubungan antara Tuban, Pati, dan daerah Banten menjadi hal yang penting dalam konteks perdagangan dan distribusi hasil pertanian dari pedalaman. Kedua pelabuhan, yaitu Tuban dan Juana (Pati), menjadi pusat aktivitas penting bagi Kerajaan Mataram. Mereka berperan sebagai titik-titik utama dalam distribusi hasil pertanian dari wilayah pedalaman Mataram ke pelabuhan-pelabuhan tersebut.
Pelabuhan Tuban dan Juana memiliki peran yang signifikan dalam menjaga stabilitas dan kelancaran distribusi hasil pertanian Mataram ke luar daerah. Mataram pada saat itu sangat bergantung pada ekspor hasil pertanian seperti rempah-rempah, kopi, gula, dan produk pertanian lainnya. Pelabuhan-pelabuhan ini membantu Mataram untuk bersaing dengan pelabuhan Semarang dan Jepara, yang juga merupakan pusat perdagangan penting pada masa itu.
Selain itu, situasi politik dan keamanan juga mempengaruhi hubungan perdagangan di daerah tersebut. Pelabuhan Jepara, misalnya, dianggap kurang aman karena sering kali terjadi serangan bajak laut yang mengancam kapal-kapal yang singgah di sana. Hal ini menjadikan pelabuhan Tuban dan Juana semakin menonjol sebagai alternatif yang lebih aman untuk perdagangan. Keamanan ini memberikan keuntungan tambahan bagi kedua pelabuhan tersebut dan memperkuat posisi mereka dalam distribusi hasil pertanian Mataram.
Pada intinya, hubungan antara Tuban, Pati, dan daerah Banten pada abad ke-17 memiliki peran sentral dalam menjaga kelancaran perdagangan dan distribusi hasil pertanian, yang merupakan elemen penting dalam kehidupan ekonomi dan politik Mataram pada masa itu.
Perjalanan intelektual Syeikh Ahmad Mutamakkin Kajen merupakan bagian penting dari sejarah dan perkembangan pemikiran agama di Jawa. Diduga, perjalanan intelektualnya dimulai dengan berlayar ke Banten, sebuah kota pelabuhan yang terkenal pada masa itu sebagai pusat keilmuan dan agama di Nusantara. Di Banten, Syeikh Ahmad Mutamakkin bertemu dengan seorang ulama besar, yaitu Syekh Muhammad Yusup al Makassari. Pertemuan ini kemungkinan menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan intelektualnya.\
Selanjutnya, Syeikh Ahmad Mutamakkin melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah, yang pada masa itu merupakan pusat keilmuan Islam. Di sana, dia mungkin belajar lebih banyak tentang agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan dari para ulama terkemuka. Perjalanan ini bisa menjadi kesempatan baginya untuk mendalami pemahaman agama dan memperluas wawasannya.
Sebelum mencapai Banten, ada dugaan bahwa Syeikh Ahmad Mutamakkin mungkin singgah di Tegal, Jawa Tengah. Hal ini diperkuat oleh adanya makam ayahnya, Pangeran Benawa II, yang dipercayai berada di Tegal. Bahkan, di daerah tersebut terdapat Desa yang diberi nama Kajen, yang mungkin memiliki kaitan dengan keluarga atau hubungan historis dengan Syeikh Ahmad Mutamakkin.
Namun, yang menarik, setelah kembali dari Timur Tengah, Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak kembali ke Tuban, tetapi memilih tinggal di sebuah Desa di Pati bagian utara. Ini bisa jadi tindakan yang penting dalam pengembangan dakwah dan pengajaran agama di daerah tersebut, serta menunjukkan komitmen beliau untuk berkontribusi pada masyarakat setempat.
Perjalanan dan pemilihan tempat tinggal Syeikh Ahmad Mutamakkin mencerminkan peran serta pentingnya dalam pengembangan agama dan pemikiran di Jawa pada masa itu serta pengaruh dari berbagai tempat yang pernah dikunjunginya.
Menurut KH. Maspu'duri, salah satu keluarga dekat dari keturunan Syeikh Ahmad Mutamakkin, riwayat intelektual Syeikh Mutamakkin didasarkan pada informasi yang lebih dekat dengan keluarganya sendiri. Keluarga Syeikh Ahmad Mutamakkin memiliki akar intelektual yang kuat, karena mereka berasal dari keluarga ningrat dan terdidik. Ayahnya adalah salah satu Adipati di Tuban, yaitu Hadinegoro atau Sumohadiningrat. Dalam keluarga ini, Syeikh Ahmad Mutamakkin pertama kali mendapatkan pendidikan dan pengarahan intelektual.
Namun, sejak masa kecilnya, Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak merasa cocok dengan gaya hidup yang umumnya terkait dengan keraton atau istana. Ia merasa lebih tertarik pada perjalanan dan pencarian ilmu yang lebih mendalam. Sebagai hasilnya, ia melakukan perjalanan ke arah Barat dan akhirnya tiba di Sarang, Rembang. Di sana, ia mendirikan sebuah masjid dan menetap sementara. Ini mungkin menjadi awal dari peran dakwahnya yang lebih besar.
Setelah tinggal sementara di Sarang, Syeikh Ahmad Mutamakkin melanjutkan perjalanan dakwahnya ke arah Barat dan akhirnya sampai di Cebolek. Ini adalah bagian penting dari perjalanan intelektual dan dakwahnya yang kemudian membawanya menjadi tokoh agama yang dikenal di daerah tersebut.
Perjalanan hidupnya yang mencakup perpindahan dari Tuban ke Sarang hingga akhirnya ke Cebolek mencerminkan keinginan dan hasratnya untuk mencari ilmu dan berkontribusi dalam penyebaran agama Islam, meskipun ia memilih untuk menjauh dari gaya hidup keraton yang lebih glamor pada masa itu.
Santri KH. Shamsudin
Setelah menetap sementara di Cebolek, Syeikh Mutamakkin mengalami pengalaman spiritual yang sangat penting dalam perjalanan hidupnya. Setiap malam, setelah menyelesaikan shalat malam atau shalat Tahajud, beliau mulai melihat sinar yang berasal dari arah atas. Ketika sinar ini muncul, Syeikh Mutamakkin memutuskan untuk mengikutinya dan mengikuti arah sinar tersebut, yang mengarah ke Barat.
Perjalanan mengikuti sinar ini akhirnya membawanya ke pusat sinar tersebut, yang ternyata berada di kediaman seorang ulama terkemuka bernama KH Shamsuddin, yang tinggal di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. KH Shamsuddin adalah seorang tokoh agama yang sangat dihormati dan dihormati dalam masyarakat.
Syeikh Mutamakkin kemudian memutuskan untuk berbaiat dan menjadi murid serta santri dari KH Shamsuddin. Hal ini menunjukkan penghargaan dan ketertarikannya pada ilmu, akhlak, dan pemahaman agama yang diterima dari KH Shamsuddin. Syeikh Mutamakkin dengan cepat menunjukkan kecerdasan, kealiman, dan kebagusan akhlaknya, yang membuatnya menjadi murid yang sangat berharga bagi KH Shamsuddin.
Akhirnya, sebagai bentuk pengakuan atas kealimannya dan sebagai bagian dari perjodohan, Syeikh Mutamakkin diambil sebagai menantu oleh KH Shamsuddin. Ia menikahi putri dari KH Shamsuddin yang bernama Nyai Shalihah. Ini adalah pernikahan yang tidak hanya mempersatukan dua keluarga terhormat, tetapi juga melanjutkan warisan intelektual dan agama yang kuat yang dimiliki oleh KH Shamsuddin dan Syeikh Mutamakkin.
Menuntut Ilmu Di Timur Tengah
Setelah menjadi santri di bawah bimbingan KH. Shamsuddin, Syeikh Mutamakkin melanjutkan perjalanan intelektualnya yang sangat penting dengan pergi ke Timur Tengah. Di Timur Tengah, beliau menghabiskan beberapa waktu untuk mendalami ilmu agama Islam dan memperluas pemahamannya tentang ajaran-ajaran Islam.
Selama berada di Timur Tengah, salah satu guru utama yang dia pelajari adalah seorang ulama yang makamnya terletak di Madinah. Makam gurunya ini memiliki ciri unik, yaitu adanya lubang di makamnya yang selalu mengeluarkan angin yang berbau harum. Ini mungkin dianggap sebagai tanda berkat spiritual atau kehadiran yang khusus.
Namun, sayangnya, makam gurunya ini menghadapi nasib yang kurang menguntungkan di kemudian hari. Seiring berjalannya waktu, karena perubahan pemahaman agama dan pandangan yang berbeda di masyarakat Arab, khususnya paham Wahabi, makam guru Syeikh Mutamakkin tersebut tidak lagi terawat dengan baik. Bahkan, sayangnya, beberapa masyarakat Arab bahkan membuang sampah di sekitar makam tersebut.
Ini mencerminkan perubahan budaya dan pandangan di wilayah tersebut seiring berjalannya waktu. Namun, perjalanan intelektual Syeikh Mutamakkin dan pengalamannya di Timur Tengah tetap menjadi bagian penting dari perjalanan hidupnya yang menginspirasi.
Pada abad ke-18, setelah perjalanan intelektualnya di Timur Tengah, Syeikh Ahmad Mutamakkin mengalami peristiwa yang mengubah hidupnya ketika ia tiba di Desa Cebolek, yang terletak di wilayah Pati Utara, khususnya wilayah Kawedanan Tayu. Nama "Cebolek" untuk desa ini berasal dari Syeikh Mutamakkin sendiri dan memiliki makna yang unik.
Syeikh Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek setelah mengalami peristiwa yang tidak biasa. Saat terhempas di pantai, beliau dibawa oleh salah satu muridnya yang berasal dari bangsa Jin. Mereka kemudian memindahkan beliau ke atas seekor ikan mladang, yang dalam bahasa Jawa berarti "ikan yang melompat." Selama perjalanan ini, terjadi sebuah peristiwa yang disebut "jebul-jebul Melek," yang dapat diterjemahkan sebagai "tiba-tiba terbuka matanya atau terjaga." Peristiwa ini mungkin merujuk pada pengalaman spiritual atau pencerahan yang dialami oleh Syeikh Mutamakkin setelah kembali dari tanah suci Mekah.
Selain itu, bisa diasumsikan bahwa alasan Syeikh Mutamakkin terdampar di pantai timur Cebolek adalah karena kapal yang ditumpanginya dibajak oleh pembajak dari Jepara. Pada masa itu, sering terjadi pembajakan kapal di laut utara Jawa yang merajalela, dan hal ini mungkin menjadi salah satu faktor yang mengarahkan perjalanannya ke Cebolek.
Peristiwa ini menjadi awal dari peran dan pengaruh Syeikh Ahmad Mutamakkin di daerah tersebut, serta membentuk sebagian dari cerita yang mengelilingi kehidupannya yang penuh warna dan perjalanan spiritualnya yang unik.
Cerita lisan yang masih terjaga dengan baik dalam tradisi sejarah memperkaya narasi tentang perjalanan Syeikh Ahmad Mutamakkin setelah pulang dari Timur Tengah pada abad ke-18. Menurut cerita ini, terhempasnya Syeikh Mutamakkin di tengah lautan disebabkan oleh pengkhianatan seorang muridnya yang berasal dari bangsa jin.
Cerita ini dimulai ketika Syeikh Mutamakkin memutuskan untuk pergi haji ke Mekah. Ia memanggil salah seorang muridnya yang berasal dari bangsa jin untuk mengantarnya ke Mekah. Ketika pulang dari Mekah, Syeikh Mutamakkin juga diantarkan oleh muridnya yang berasal dari bangsa jin. Namun, di tengah lautan, mereka berpapasan dengan Ratu jin kafir yang meminta agar Syeikh Mutamakkin dilepaskan oleh muridnya. Ratu jin kafir mengancam akan membunuh murid jin Syeikh Mutamakkin jika tidak memenuhi permintaannya.
Akhirnya, dalam sebuah pengkhianatan, muridnya yang berasal dari bangsa jin meninggalkan Syeikh Mutamakkin sendirian di tengah lautan. Dalam keadaan pasrah kepada Allah, Syeikh Mutamakkin memejamkan matanya dan berdoa. Kemudian, ia ditolong oleh seekor ikan mladang yang membawanya ke pinggir pantai.
Tempat di mana Syeikh Mutamakkin terhempas di pantai tersebut kemudian dinamai Cebolek. Nama "Cebolek" mungkin berasal dari kondisi di mana Syeikh Mutamakkin terhempas di pantai yang dijelaskan sebagai "melek" atau "terjaga" setelah pengalaman tersebut.
Cerita ini menambah dimensi spiritual dan petualangan dalam perjalanan Syeikh Ahmad Mutamakkin dan menjadi bagian dari legenda dan sejarah lokal yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Comments