Tradisi Militer di Kerajaan Jawa: Prajurit Wanita Langen Kusuma di Kasultanan Yogyakarta Masa Sultan Hamengku Buwana II (1767–1830)

Tradisi Militer di Kerajaan Jawa: Prajurit Wanita Langen Kusuma di Kasultanan Yogyakarta Masa Sultan Hamengku Buwana II (1767–1830) - Autiya Nila Agustina - Sejarah Jawa kaya akan tradisi militer yang unik, mulai dari pasukan elit kerajaan hingga prajurit-prajurit simbolis yang terlibat dalam upacara kebudayaan. Namun, ada satu sisi sejarah militer Jawa yang jarang dibicarakan: peran kaum wanita. Dalam narasi besar sejarah, perempuan seringkali ditempatkan di ruang domestik, tetapi kenyataannya mereka pernah terlibat langsung dalam sektor militer, khususnya di lingkup istana. Salah satu contoh pentingnya adalah keberadaan prajurit wanita Langen Kusuma di Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II (1767–1830).
Sumber Gambar: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta 

Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang latar belakang munculnya prajurit wanita, proses pembentukannya, peran yang mereka jalankan, hingga akhirnya hilangnya tradisi tersebut. Selain itu, kita juga akan melihat fenomena ini dari perspektif sejarah, sosial, budaya, serta politik Jawa pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19.

Perempuan dalam Tradisi Militer Jawa Sebelum Kasultanan Yogyakarta

Sebelum membahas Langen Kusuma, kita perlu memahami bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia militer di Jawa bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Sejak masa Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-17, terdapat catatan tentang partisipasi perempuan dalam bidang pertahanan kerajaan.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1645), Mataram mengalami masa kejayaan sekaligus konflik besar dengan VOC Belanda dan kerajaan-kerajaan pesisir. Dalam situasi itu, kebutuhan militer meningkat tajam. Walaupun pasukan utama tetap terdiri dari laki-laki, catatan sejarah menunjukkan adanya keterlibatan perempuan sebagai pendukung pertahanan, baik dalam bentuk logistik, pengobatan, maupun pasukan pengawal simbolis. Namun, pada periode ini, keberadaan mereka belum dilembagakan dalam sebuah korps militer resmi.
Fenomena prajurit perempuan tidak hanya terjadi di Jawa. Dalam sejarah dunia, kita juga mengenal pasukan Amazon di Dahomey (Afrika), atau Onna-Bugeisha di Jepang, perempuan samurai yang ikut bertempur dalam peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan tentang perempuan dalam militer adalah fenomena lintas budaya, yang muncul ketika ada kebutuhan strategis sekaligus nilai simbolis.

Kasultanan Yogyakarta dan Latar Belakang Politik Abad ke-18

Kasultanan Yogyakarta lahir pada 1755 melalui Perjanjian Giyanti, yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwana I menjadi penguasa pertama Yogyakarta. Keraton baru ini tidak hanya menjadi pusat politik, tetapi juga pusat budaya Jawa.
Namun, kondisi politik pada masa awal berdirinya Yogyakarta jauh dari stabil. Adanya campur tangan VOC Belanda, konflik internal keluarga kerajaan, serta perebutan legitimasi kekuasaan membuat istana membutuhkan kekuatan militer yang kokoh. Ketegangan politik ini semakin meningkat pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II (1792–1810 dan 1811–1812).
Dalam konteks inilah, muncul kebutuhan untuk memperkuat pertahanan, termasuk dengan melibatkan kaum perempuan dalam sebuah korps militer resmi.

Lahirnya Prajurit Wanita Langen Kusuma

1. Asal-usul Nama

Korps prajurit wanita yang terbentuk di Kasultanan Yogyakarta pada masa Hamengku Buwana II diberi nama Langen Kusuma. Nama ini sarat makna:
  • Langen berarti hiburan atau kesenangan.
  • Kusuma berarti bunga, lambang keindahan, kesucian, dan keanggunan.
Dengan demikian, Langen Kusuma dapat dimaknai sebagai “bunga-bunga hiburan yang mengawal istana”. Nama ini sekaligus menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak hanya militeristik, tetapi juga memiliki fungsi simbolis, estetis, dan representatif.
2. Kriteria Anggota
Menjadi prajurit Langen Kusuma bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
  • Harus cantik secara fisik, mencerminkan keanggunan perempuan Jawa.
  • Harus cerdas dan terampil, terutama dalam seni bela diri dan tata krama istana.
  • Tidak hanya berasal dari kalangan rakyat biasa, tetapi juga wanita bangsawan.
  • Bahkan, salah satu yang tercatat menjadi anggota adalah Gusti Kanjeng Ratu Sultan, permaisuri Sultan Hamengku Buwana II sendiri.

3. Fungsi Militer dan Simbolis

Fungsi utama Langen Kusuma adalah sebagai pasukan pengawal istana, terutama dalam konteks keamanan internal keraton. Namun, fungsi mereka juga sangat simbolis:
  • Menunjukkan kekuasaan dan kemegahan Sultan.
  • Memberikan citra bahwa kerajaan memiliki prajurit “bunga-bunga pilihan” yang tak hanya indah, tetapi juga siap menjaga kehormatan istana.
  • Menjadi lambang bahwa wanita Jawa juga memiliki peran dalam urusan negara, bukan hanya domestik.

Peran Langen Kusuma dalam Kehidupan Keraton

1. Upacara dan Ritual

Prajurit wanita ini kerap tampil dalam berbagai upacara kerajaan, seperti kirab, penyambutan tamu, dan perayaan-perayaan penting. Kehadiran mereka menjadi bagian dari koreografi kebesaran Kasultanan Yogyakarta.

2. Fungsi Pertahanan

Meski tidak turun ke medan perang secara langsung seperti prajurit laki-laki, Langen Kusuma memiliki peran sebagai lapisan pengawal dalam istana, menjaga Sultan dan keluarga kerajaan dari ancaman internal.

3. Kekuatan Politik

Di tengah intrik politik istana, keberadaan prajurit wanita juga bisa menjadi alat legitimasi kekuasaan Sultan. Dengan menunjukkan bahwa istana mampu membina pasukan wanita, Sultan menampilkan keunggulan moral dan simbolis dibandingkan lawan politiknya.

Faktor Hilangnya Prajurit Wanita Langen Kusuma

Keberadaan Langen Kusuma ternyata tidak berlangsung lama. Beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya korps ini antara lain:

1. Perubahan Sistem Politik

Pada awal abad ke-19, politik Jawa semakin dikendalikan oleh kolonial Belanda dan Inggris. Campur tangan mereka dalam urusan istana membuat banyak tradisi militer internal dikurangi perannya.

2. Perbedaan Kebijakan Sultan

Penguasa selanjutnya tidak lagi memandang perlu mempertahankan korps prajurit wanita, karena fungsinya dianggap lebih simbolis daripada strategis.

3. Masalah Finansial

Membiayai korps prajurit khusus, apalagi wanita dengan standar tinggi, membutuhkan dana besar. Sementara Kasultanan Yogyakarta menghadapi kesulitan keuangan akibat tekanan kolonial dan biaya perang.
4. Perubahan Peran Gender
Seiring masuknya pengaruh kolonial dan modernisasi, peran perempuan kembali dipersempit ke ranah domestik. Fungsi militer perempuan dianggap tidak sesuai dengan “kodrat” menurut pandangan kolonial Eropa.

Analisis Sosial-Budaya

Keberadaan prajurit wanita Langen Kusuma menunjukkan bahwa:
  • Wanita Jawa memiliki peran publik yang signifikan, bahkan di ranah militer.
  • Tradisi ini merepresentasikan sintesis antara kekuasaan, estetika, dan gender dalam budaya Jawa.
  • Hilangnya Langen Kusuma mencerminkan dominasi kolonial yang mengubah struktur kekuasaan dan budaya istana.
Jika tradisi ini bertahan, mungkin citra perempuan Jawa dalam sejarah militer akan lebih menonjol, sejajar dengan figur legendaris seperti Ratu Kalinyamat atau Cut Nyak Dien.

Warisan Langen Kusuma di Era Modern

Meskipun korps ini sudah tidak ada, warisan mereka masih bisa kita lihat dalam:
  1. Seni Pertunjukan Keraton – Beberapa tarian keraton menampilkan perempuan dengan gerak yang tegas, mencerminkan semangat prajurit.
  2. Tradisi Bregada Prajurit Keraton – Walau kini didominasi laki-laki, ada simbolisasi bahwa perempuan juga pernah menjadi bagian dari korps keprajuritan.
  3. Inspirasi Gerakan Emansipasi – Kisah Langen Kusuma bisa dijadikan simbol bahwa perempuan Jawa sejak dulu sudah berdaya, jauh sebelum emansipasi modern.

Kesimpulan

Prajurit wanita Langen Kusuma di Kasultanan Yogyakarta merupakan fenomena unik dalam sejarah Jawa. Mereka hadir bukan hanya sebagai pasukan pengawal, tetapi juga sebagai simbol keanggunan, kekuasaan, dan partisipasi perempuan dalam ruang publik. Namun, tradisi ini tidak bertahan lama akibat faktor politik, ekonomi, dan budaya yang berubah pada abad ke-19.
Hari ini, kisah mereka penting untuk diangkat kembali. Bukan hanya untuk memperkaya sejarah militer Jawa, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Bahwa perempuan, dalam keanggunannya, juga memiliki kekuatan dan peran strategis dalam menjaga marwah bangsa.

Daftar Pustaka

  • Darmarasti, Hayu Adi & Djoko Suryo. Tradisi Militer di Kerajaan Jawa: Prajurit Wanita di Kasultanan Yogyakarta Masa Sultan Agung Hamengku Buwana II (1767–1830). Tesis S2 Sejarah, Universitas Gadjah Mada, 2006.
  • Soemarsaid Moertono. State and Statecraft in Old Java. Cornell University Press, 1968.
  • M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008.
  • Clara van Groenendael. The Dalang behind the Wayang: The Role of the Surakarta and Yogyakarta Court Poets in the Yasadipura Tradition. Leiden: KITLV Press, 1985.
  • Peter Carey. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV, 2007.


Comments