Rasionalitas Islam dan Kritik terhadap Skolastikisme Pesantren

 

Sumber Gambar: Dreamina AI

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional memiliki warisan keilmuan yang sangat kaya. Ilmu-ilmu itu diwariskan turun-temurun melalui kajian kitab-kitab klasik (kutub al-turāth) yang menjadi ciri khasnya. Namun, dalam diskursus akademik modern, tradisi keilmuan pesantren sering mendapat kritik karena dianggap terlalu skolastik—terjebak dalam pola belajar yang menekankan hafalan, pengulangan tafsir lama, dan reproduksi dogma, tanpa cukup membuka ruang untuk eksplorasi kritis dan rasional.

Subbab ini membedah secara kritis hubungan antara rasionalitas Islam dan tantangan skolastikisme dalam pendidikan pesantren.


1. Rasionalitas Islam: Ciri dan Konsepsi

Secara epistemologis, Islam tidak menolak peran akal (‘aql). Bahkan, akal dipandang sebagai instrumen penting untuk mencari dan memahami kebenaran. Al-Qur’an berulang kali mendorong manusia untuk menggunakan akalnya untuk merenungi, memahami, dan mengambil pelajaran dari ciptaan Allah maupun isi wahyu.

Dalam QS. al-Baqarah ayat 44, Allah menegur orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, namun melupakan diri sendiri, seraya bertanya: “Apakah kamu tidak berpikir?”
Begitu pula QS. Muhammad ayat 24 menegaskan pentingnya tadabbur (perenungan mendalam) terhadap al-Qur’an, sebagai bagian dari iman yang melibatkan kerja akal secara aktif.

Namun, rasionalitas Islam berbeda dari rasionalisme dalam filsafat Barat sekuler. Dalam Islam, akal bukanlah sumber kebenaran yang absolut dan otonom, melainkan alat untuk memahami wahyu. Akal berperan fungsional—ia tidak menciptakan kebenaran, tetapi menyingkap dan membenarkan kebenaran yang telah diturunkan melalui wahyu. Karena itu, akal harus tunduk pada kerangka nilai dan etika ilahiyah.


2. Jejak Rasionalitas dalam Tradisi Ilmu Kalam Pesantren

Dalam sejarah intelektual Islam, rasionalitas ini tercermin jelas dalam tradisi ilmu kalam. Kitab Umm al-Barāhīn karya Abu ‘Abdillah as-Sanusi, yang banyak diajarkan di pesantren, menegaskan:

“Kewajiban pertama bagi mukallaf adalah mengenal Allah Ta’ala.”

Pengetahuan ini tidak dicapai hanya melalui hafalan atau taqlid, tetapi melalui burhān (argumentasi rasional) yang meneguhkan keyakinan.

Demikian pula, Jauharat at-Tauḥīd karya Ibrahim al-Laqqani menyatakan:

“Segala sesuatu yang diwajibkan oleh dalil, baik sam‘i (wahyu) maupun ‘aqli (akal), dalam perkara akidah, wajib diyakini.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa akal diberi ruang penting dalam pembuktian keyakinan, namun tetap selaras dengan wahyu.


3. Praktik Rasionalitas di Pesantren

Di pesantren, prinsip integrasi wahyu dan akal ini tercermin dalam beberapa aspek pembelajaran:

  • Pembacaan teks klasik (turats) yang disertai analisis logis.

  • Dialog dan debat yang melatih santri menyusun argumen dan bantahan secara runtut.

  • Pengajaran ilmu mantik (logika) untuk menghindari kesalahan berpikir (mughalathah), sehingga validitas pengetahuan terjaga.

Rasionalitas Islam yang diajarkan di pesantren bukanlah rasionalitas bebas nilai, melainkan rasionalitas transendental—yang mengakui kekuatan nalar, tetapi menempatkannya dalam kerangka kebenaran ilahi.


4. Kritik terhadap Skolastikisme Pesantren

Meski memiliki tradisi rasionalitas, pesantren sering dikritik karena terjebak dalam skolastikisme, yaitu:

  • Terlalu fokus pada hafalan teks tanpa mengkontekstualisasikannya.

  • Terbatasnya ruang untuk berpikir kreatif dan inovatif.

  • Kurangnya keterhubungan antara pembelajaran kitab klasik dengan realitas sosial kontemporer.

Model skolastik ini, meski menjaga kelestarian tradisi, berpotensi menghambat pengembangan pemikiran kritis yang relevan dengan tantangan zaman.


5. Menemukan Keseimbangan

Tantangan bagi pesantren masa kini adalah menemukan titik temu antara:

  • Pelestarian tradisi (menjaga otoritas kitab klasik dan metode sanad keilmuan).

  • Inovasi rasional (mengembangkan pembacaan kritis, kontekstual, dan responsif terhadap masalah modern).

Dengan demikian, pesantren dapat tetap menjadi benteng ilmu agama yang kokoh sekaligus pusat pengembangan pemikiran Islam yang progresif.


Kesimpulan:
Rasionalitas Islam menempatkan akal sebagai mitra wahyu dalam mencari kebenaran. Pesantren, dengan tradisi ilmu kalam dan mantiknya, sebenarnya memiliki basis rasional yang kuat. Namun, tantangan skolastikisme menuntut reformulasi metode pembelajaran agar santri tidak hanya hafal, tetapi juga mampu berpikir kritis, analitis, dan kreatif, sehingga warisan keilmuan Islam dapat menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan ruhnya.

Comments