Kritik terhadap Tradisi Intelektual Arab: Analisis Struktural dalam Pemikiran Islam

Grobogan - Autiya Nila Agustina - Kritik terhadap Tradisi Intelektual Arab: Analisis Struktural dalam Pemikiran Islam - M . Abid al-Jabiri dikenal sebagai salah satu pemikir Muslim kontemporer yang melakukan kritik mendalam terhadap struktur epistemologi dalam tradisi intelektual Arab-Islam. Ia berpendapat bahwa pemikiran Islam mengalami stagnasi karena masih berpegang teguh pada pola berpikir tradisional yang tidak lagi relevan dengan tantangan zaman modern. Melalui analisis strukturalnya, al-Jabiri membedah bagaimana nalar Arab terbentuk dan berkembang, serta bagaimana pemikiran ini dapat direkonstruksi agar lebih sesuai dengan tuntutan rasionalitas dan kemajuan ilmu pengetahuan.


Dalam analisisnya, al-Jabiri membagi epistemologi Arab-Islam ke dalam tiga kategori utama: epistemologi Bayani, yang didasarkan pada teks dan otoritas ulama; epistemologi Irfani, yang bertumpu pada intuisi dan mistisisme; serta epistemologi Burhani, yang mengutamakan rasionalitas dan metode ilmiah. Ketiga epistemologi ini memiliki peran besar dalam membentuk cara berpikir umat Islam, tetapi juga menjadi tantangan dalam upaya pembaruan pemikiran Islam.


A. Epistemologi Arab-Islam: Konsep Bayani, Irfani, dan Burhani dalam Pemikiran al-Jabiri


Dalam karyanya, al-Jabiri menjelaskan bahwa tradisi intelektual Islam dibangun di atas tiga pola berpikir utama: Bayani, Irfani, dan Burhani. Ketiga konsep ini mencerminkan pendekatan yang berbeda dalam memahami dan menafsirkan realitas dalam Islam.


1. Epistemologi Bayani: Dominasi Teks dan Otoritas Ulama


Epistemologi Bayani adalah pola berpikir yang berpusat pada teks dan otoritas ulama. Pendekatan ini mengandalkan Al-Qur’an, hadis, serta tafsir klasik sebagai sumber utama dalam memahami ilmu dan hukum Islam. Metode Bayani cenderung bersifat deduktif, di mana kebenaran diperoleh dengan merujuk pada teks suci dan penafsiran ulama terdahulu.


Menurut al-Jabiri, dominasi Bayani dalam tradisi Islam telah menyebabkan keterikatan umat Islam pada otoritas ulama secara berlebihan, sehingga menghambat kebebasan berpikir dan inovasi intelektual. Model ini sering kali menekankan keseragaman dalam pemikiran dan kurang memberi ruang bagi pendekatan kritis yang lebih fleksibel.


2. Epistemologi Irfani: Dominasi Intuisi dan Mistisisme


Epistemologi Irfani lebih bersifat esoterik dan bertumpu pada intuisi serta pengalaman mistik. Pola berpikir ini berkembang dalam tradisi tasawuf dan filsafat iluminasi (Isyraq), di mana kebenaran tidak hanya didasarkan pada teks atau logika, tetapi juga pada pengalaman spiritual individu.


Al-Jabiri berpendapat bahwa meskipun pendekatan Irfani dapat memperkaya aspek spiritualitas dalam Islam, ia juga memiliki kelemahan, terutama dalam hal objektivitas dan keterbukaan terhadap kritik. Pemikiran berbasis intuisi dan mistisisme sering kali sulit diverifikasi secara rasional, sehingga kurang dapat diandalkan dalam konteks ilmu pengetahuan dan kebijakan publik.


3. Epistemologi Burhani: Rasionalitas dan Metode Ilmiah


Epistemologi Burhani merupakan pendekatan yang menekankan rasionalitas dan metode ilmiah dalam memperoleh pengetahuan. Model ini merujuk pada tradisi filsafat Islam yang berkembang pada masa Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan para filsuf Muslim lainnya yang mengadopsi logika Aristotelian dan metode empiris.


Al-Jabiri menilai bahwa epistemologi Burhani adalah pendekatan yang paling relevan untuk menghadapi tantangan modernitas. Dengan menekankan rasionalitas, argumentasi logis, dan bukti empiris, model ini memungkinkan umat Islam untuk beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa terjebak dalam doktrin tekstualisme yang kaku atau mistisisme yang subjektif.


4. Relevansi Epistemologi al-Jabiri dalam Konteks Modern


Dalam analisisnya, al-Jabiri tidak sekadar mengkritik dominasi Bayani dan Irfani, tetapi juga mendorong umat Islam untuk mengadopsi pendekatan Burhani dalam memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia berargumen bahwa kemunduran dunia Islam sebagian besar disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam penggunaan ketiga epistemologi ini, di mana pola pikir Bayani dan Irfani lebih dominan, sementara pendekatan rasional dan ilmiah (Burhani) kurang mendapat perhatian.


Dalam konteks modern, kritik al-Jabiri terhadap struktur epistemologi Islam menjadi semakin relevan. Kemajuan teknologi dan globalisasi menuntut umat Islam untuk lebih terbuka terhadap metode ilmiah dan rasionalitas dalam memahami agama dan realitas sosial. Dengan menyeimbangkan antara tradisi dan modernitas, umat Islam dapat membangun pemikiran yang lebih progresif, inklusif, dan sesuai dengan perkembangan zaman.


Sebagai pemikir yang berani, al-Jabiri membuka jalan bagi diskusi yang lebih luas tentang bagaimana Islam dapat berkembang tanpa kehilangan identitasnya. Pemikirannya tetap menjadi rujukan penting dalam studi filsafat Islam kontemporer, khususnya dalam upaya mereformasi pemikiran keislaman agar lebih adaptif terhadap realitas modern.

Kesimpulan


Pemikiran M. Abid al-Jabiri memberikan kontribusi besar dalam menganalisis dan mengkritisi tradisi intelektual Arab-Islam melalui pendekatan struktural. Ia mengkategorikan epistemologi Islam ke dalam tiga model utama: Bayani, yang menekankan dominasi teks dan otoritas ulama; Irfani, yang berbasis pada intuisi dan mistisisme; serta Burhani, yang mengutamakan rasionalitas dan metode ilmiah. Dalam kritiknya, al-Jabiri menyoroti bagaimana dominasi Bayani dan Irfani dalam sejarah Islam telah membentuk pola berpikir yang cenderung stagnan dan kurang adaptif terhadap tantangan modernitas.


Melalui pendekatan Burhani, al-Jabiri menawarkan solusi dengan menekankan pentingnya rasionalitas dan metode ilmiah dalam memahami Islam dan realitas sosial. Ia berpendapat bahwa hanya dengan mengadopsi pola berpikir yang lebih kritis dan berbasis logika, umat Islam dapat keluar dari keterbelakangan intelektual dan kembali menjadi pelopor dalam ilmu pengetahuan dan peradaban.


Relevansi pemikiran al-Jabiri dalam konteks modern sangat signifikan, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan global seperti perkembangan teknologi, perubahan sosial, dan modernisasi hukum Islam. Dengan menyeimbangkan antara tradisi dan rasionalitas, umat Islam dapat membangun pemikiran yang lebih terbuka, inklusif, dan progresif tanpa kehilangan identitasnya. Oleh karena itu, gagasan al-Jabiri tetap menjadi bahan kajian yang penting bagi akademisi, cendekiawan, dan pemikir Muslim yang berupaya mereformasi pemahaman Islam dalam era kontemporer.



Comments

Postingan Populer

12 Ulama Indonesia yang Pemikirannya Diakui Dunia

Hadis Shahih: Pengertian, Syarat, Macam, dan Tingkatannya

HTM, Rute, Dan Fasilitas Taman Kartini Rembang 2022