Pati - Perkembangan industri keuangan digital di Indonesia terus menunjukkan akselerasi yang signifikan. Salah satu penandanya adalah semakin ramainya pembicaraan mengenai bank digital, termasuk di pasar modal. Fenomena ini kian menguat setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi merilis Peraturan OJK (POJK) No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, yang di dalamnya turut mengatur operasional bank digital.
Aturan ini sekaligus memperjelas posisi bank digital di Indonesia. OJK menegaskan bahwa tidak ada lisensi khusus untuk bank digital, karena perizinan tetap hanya diberikan untuk Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan kata lain, bank digital tetap merupakan bank umum, hanya saja model bisnis dan layanannya lebih mengandalkan teknologi digital.
Kejelasan regulasi tersebut langsung berdampak pada pasar saham. Sejumlah bank beraset kecil hingga menengah, khususnya yang memiliki modal inti di bawah Rp5 triliun, mulai mengumumkan rencana transformasi menjadi bank digital. Akibatnya, saham-saham bank mini ini mendadak menjadi primadona dan ramai diburu investor.
Namun, euforia pasar tentu perlu diimbangi dengan analisis yang matang. Memborong saham bank digital tanpa strategi ibarat naik kapal pesiar tanpa pelampung—kelihatannya mewah, tapi risikonya tetap ada.
Jurus Cerdas Sebelum Membeli Saham Bank Digital
Direktur Riset dan Investasi PT Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, membagikan sejumlah tips penting bagi investor yang tertarik masuk ke saham bank digital maupun perusahaan berbasis teknologi lainnya.
Menurut Maximilianus, langkah pertama yang tidak boleh dilewatkan investor adalah menghitung dan memahami nilai ekosistem bisnis perusahaan.
Ia menekankan bahwa di industri digital, kekuatan utama bukan hanya pada produk, tetapi pada ekosistem yang dibangun.
“Nilai ekosistem bisnisnya harus dihitung, apalagi bicara industri digital. Artinya, perusahaan tersebut harus memiliki ekosistem dan keunggulan tersendiri,” ujar Maximilianus dalam program InvestTime CNBC Indonesia.
Ekosistem ini mencakup keterkaitan layanan, basis pengguna, kemitraan strategis, hingga potensi integrasi dengan gaya hidup masyarakat. Bank digital yang hanya berganti nama tanpa inovasi nyata cenderung sulit bertahan dalam persaingan.
Kenali Perusahaan, Jangan Sekadar Ikut Tren
Selain ekosistem, investor juga wajib mengenal perusahaan secara mendalam. Hal ini mencakup analisis laporan keuangan, kinerja historis, serta proyeksi bisnis ke depan yang dikombinasikan dengan valuasi saham.
Maximilianus menyebut ada dua aspek utama yang harus menjadi perhatian investor:
Pertama, ekosistem bisnis yang kuat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. Bank digital idealnya mampu menciptakan ketergantungan positif dalam aktivitas finansial sehari-hari, mulai dari pembayaran, tabungan, hingga pembiayaan.
Kedua, fundamental perusahaan yang sehat. Inovasi teknologi tetap harus ditopang oleh kinerja keuangan yang memadai, tata kelola yang baik, serta strategi pertumbuhan yang jelas.
Jika kedua aspek ini terpenuhi, maka potensi kenaikan valuasi saham menjadi lebih rasional dan terukur. Dalam kondisi tersebut, membeli saham bisa menjadi keputusan investasi yang masuk akal, bukan sekadar spekulasi.
Soal Harga Saham dan Ujian Mental Investor
Namun demikian, Maximilianus juga mengingatkan bahwa harga saham harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak semua saham digital layak dibeli hanya karena label “teknologi” atau “digital”.
Ia mencontohkan kasus saham teknologi yang dinilai terlalu mahal dibandingkan nilai wajarnya.
“Kalau sudah kemahalan, buat apa dibeli? Saat membeli saham, kata kuncinya adalah sejauh mana iman kita kuat membaca ARB terus berhari-hari tanpa panik. Di situlah keyakinan terhadap hitungan kita diuji,” jelasnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa investasi saham bukan hanya soal analisis angka, tetapi juga kesiapan mental. Investor harus siap menghadapi fluktuasi harga dan tetap berpegang pada analisis yang telah dibuat, bukan emosi sesaat.
Definisi Bank Digital Menurut OJK
Sebagai tambahan informasi, dalam POJK No.12/POJK.03/2021, OJK mendefinisikan bank digital sebagai bank berbadan hukum Indonesia yang menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik, dengan dukungan teknologi informasi yang optimal.
OJK memberikan fleksibilitas operasional bagi bank digital, di antaranya:
-
Bank digital diperbolehkan hanya memiliki satu kantor fisik, yaitu kantor pusat.
-
Bank digital dapat beroperasi tanpa kantor fisik tambahan atau dengan kantor fisik yang sangat terbatas.
Kebijakan ini bertujuan mendorong efisiensi, inovasi layanan, serta perluasan inklusi keuangan di Indonesia.
Penutup
Fenomena bank digital membuka peluang besar di sektor keuangan dan pasar modal. Namun, peluang tersebut harus disikapi dengan analisis rasional, pemahaman regulasi, dan disiplin investasi. Memborong saham bank digital tanpa strategi yang jelas justru berpotensi menimbulkan kerugian.
Bagi investor, terutama generasi muda dan sivitas akademika, literasi keuangan menjadi kunci utama. Dengan memahami ekosistem bisnis, fundamental perusahaan, serta regulasi yang berlaku, investasi tidak lagi sekadar ikut tren, melainkan menjadi langkah strategis untuk masa depan finansial yang lebih sehat.
Sumber:
CNBC Indonesia
http://mega.staf.narotama.ac.id/berita/detail/30738-mau-borong-saham-bank-bank-digital?-cek-dulu-ini-jurusnya
Comments