Salah satu pesan paling kuat dalam hadis Nabi adalah bahwa kerja berkaitan langsung dengan kehormatan manusia. Rasulullah ﷺ berulang kali menegaskan bahwa bekerja, meskipun berat dan sederhana, tetap lebih mulia dibanding hidup dengan meminta-minta.
Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa lebih baik seseorang memikul kayu bakar di punggungnya, lalu menjualnya, daripada meminta-minta kepada orang lain—baik diberi ataupun tidak. Pesan ini sederhana, tetapi maknanya dalam.
Islam ingin menjaga wajah manusia, bukan hanya secara fisik, tetapi secara moral. Meminta-minta tanpa kebutuhan mendesak perlahan mengikis harga diri. Sebaliknya, bekerja—apa pun bentuknya—adalah pernyataan bahwa seseorang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.
Di dunia modern, “meminta-minta” tidak selalu berarti mengemis di jalan. Bisa berbentuk mentalitas bergantung, malas berusaha, atau ingin jalan pintas tanpa kontribusi. Dalam konteks ini, hadis Nabi terasa sangat aktual.
Nabi Dawud dan Filosofi Rezeki yang Bersih
Hadis tentang Nabi Dawud ‘alaihis salam sering dikutip ketika membahas etos kerja dalam Islam. Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa tidak ada makanan yang lebih baik daripada makanan hasil kerja tangan sendiri, dan Nabi Dawud pun makan dari hasil usahanya sendiri (HR. Bukhari).
Ini menarik, karena Nabi Dawud bukan orang biasa. Ia adalah nabi sekaligus raja. Jika mau, ia bisa hidup nyaman dari harta kerajaan. Namun, justru beliau memilih bekerja. Ini menunjukkan bahwa kerja bukan sekadar kebutuhan ekonomi, tetapi juga latihan spiritual.
Islam mengajarkan bahwa rezeki yang baik bukan hanya soal halal secara hukum, tetapi juga sehat secara moral. Rezeki yang diperoleh dari usaha sendiri melahirkan rasa syukur, tanggung jawab, dan ketenangan batin. Sebaliknya, rezeki yang datang tanpa usaha sering kali membuat seseorang rapuh dan tidak siap menghadapi hidup.
Sahabat Nabi: Orang Saleh yang Tidak Anti Keringat
Ada gambaran keliru di sebagian masyarakat bahwa orang saleh itu harus selalu bersih, rapi, dan jauh dari pekerjaan kasar. Hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha justru mematahkan anggapan ini. Para sahabat Rasulullah ﷺ bekerja untuk diri mereka sendiri sampai tubuh mereka berkeringat dan menimbulkan bau.
Artinya, kesalehan dalam Islam tidak identik dengan kemewahan atau kenyamanan. Para sahabat adalah orang-orang yang beribadah dengan khusyuk, tetapi juga bekerja keras di siang hari. Mereka tidak menjadikan agama sebagai alasan untuk bermalas-malasan.
Pesan ini penting, terutama bagi generasi muda Muslim. Islam tidak melarang bekerja di sektor apa pun selama halal. Yang dinilai bukan gengsi pekerjaannya, tetapi kejujuran dan kesungguhan pelakunya.
Abu Bakar: Pemimpin Negara yang Tidak Malu Bekerja
Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat menjadi khalifah, beliau tetap memikirkan bagaimana keluarganya makan dari hasil kerja yang halal. Hadis riwayat Bukhari menggambarkan bahwa Abu Bakar tetap bekerja meskipun ia memimpin umat Islam.
Ini adalah teladan kepemimpinan yang sangat kuat. Jabatan tidak membuat seseorang berhenti bekerja. Kekuasaan tidak menghapus kewajiban untuk hidup sederhana dan bertanggung jawab.
Di tengah realitas modern, ketika jabatan sering dijadikan alasan untuk hidup nyaman tanpa kontribusi nyata, kisah Abu Bakar menjadi kritik moral yang tajam. Islam mengajarkan bahwa semakin tinggi amanah, semakin besar tuntutan integritas dan kerja keras.
Profesionalisme (Itqan): Kualitas Adalah Ibadah
Salah satu hadis yang paling relevan dengan dunia kerja modern adalah sabda Rasulullah ﷺ bahwa Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia melakukannya secara itqan—tepat, rapi, sungguh-sungguh, dan berkualitas.
Itqan bukan sekadar soal teknis, tetapi soal sikap batin. Orang yang bekerja dengan itqan tidak asal-asalan, tidak menipu, dan tidak meremehkan amanah. Ia sadar bahwa pekerjaannya disaksikan Allah, meskipun manusia tidak melihat.
Dalam konteks hari ini, itqan bisa diterjemahkan sebagai profesionalisme: disiplin waktu, tanggung jawab, kompetensi, dan etika. Bekerja profesional bukan hanya tuntutan perusahaan, tetapi juga nilai ibadah dalam Islam.
Dengan paradigma ini, bekerja di kantor, berdagang online, atau menjadi freelancer tidak lagi netral secara spiritual. Semua bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan itqan.
Bekerja di Tengah Ketidakpastian: Tanam Bibit Meski Kiamat Datang
Islam tidak mengajarkan pesimisme. Bahkan dalam kondisi paling ekstrem, Rasulullah ﷺ tetap mendorong produktivitas. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa jika kiamat terjadi sementara di tangan seseorang ada bibit tanaman, maka tanamlah.
Pesan ini bukan soal hasil, tetapi soal sikap hidup. Seorang Muslim diajarkan untuk tetap berbuat, tetap bekerja, dan tetap memberi manfaat, meskipun hasilnya tidak ia nikmati sendiri.
Dalam kehidupan modern yang penuh ketidakpastian—krisis ekonomi, PHK, perubahan teknologi—hadis ini memberi ketenangan. Tugas manusia adalah berusaha sebaik mungkin. Soal hasil, itu wilayah Allah.
Dunia dan Akhirat: Dua Target, Satu Jalan
Islam tidak memerintahkan umatnya meninggalkan dunia demi akhirat, atau sebaliknya. Rasulullah ﷺ mengajarkan keseimbangan: bekerja untuk dunia seolah hidup selamanya, dan bekerja untuk akhirat seolah mati esok hari.
Kerja duniawi dilakukan dengan perencanaan, kesungguhan, dan profesionalisme. Sementara kerja akhirat dilakukan dengan kesadaran bahwa hidup ini terbatas. Dua-duanya tidak bertentangan, justru saling menguatkan.
Dengan cara pandang ini, pekerjaan apa pun bisa menjadi sarana mendekat kepada Allah. Yang membedakan hanyalah niat dan cara menjalankannya.
Niat: Pembeda Antara Rutinitas dan Ibadah
Dalam Islam, niat adalah pembeda utama. Bekerja bisa menjadi ibadah, bisa pula menjadi sekadar rutinitas kosong. Ketika seseorang bekerja untuk menafkahi keluarga, menjaga kehormatan diri, dan menghindari ketergantungan pada orang lain, maka pekerjaannya bernilai pahala.
Bahkan, dalam hadis disebutkan bahwa makanan yang diberikan kepada istri pun bernilai sedekah jika diniatkan karena Allah. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kerja domestik dan tanggung jawab keluarga.
Dengan niat yang benar, kantor berubah menjadi ladang amal. Dengan niat yang salah, pekerjaan sebesar apa pun kehilangan makna spiritualnya.
Penutup: Islam, Kerja, dan Jalan Menuju Keberkahan
Hadis-hadis Rasulullah ﷺ tentang bekerja membentuk satu pesan besar: Islam adalah agama yang memuliakan usaha, menolak kemalasan, dan menjaga martabat manusia. Kerja keras bukan tanda kurang iman, justru bukti iman yang hidup.
Bekerja dengan tangan sendiri, menjauhi meminta-minta, menjaga kualitas pekerjaan, dan meluruskan niat—itulah etos kerja Islam. Nilai-nilai ini tidak lekang oleh zaman. Justru di era modern yang penuh tantangan, pesan-pesan ini semakin relevan.
Pada akhirnya, bekerja dalam Islam bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi soal menjadi manusia yang bertanggung jawab, bermartabat, dan bermanfaat. Dari keringat yang jatuh, lahirlah pahala. Dari kerja yang jujur, tumbuh keberkahan.
Dan di sanalah Islam meletakkan kerja: bukan di pinggir ibadah, tetapi di jantung kehidupan.
Comments