Bekerja Itu Ibadah: Hadis-Hadis Nabi tentang Etos Kerja, Profesionalisme, dan Kemandirian dalam Islam

 

Di sebagian masyarakat, masih ada anggapan bahwa urusan agama itu soal masjid, sajadah, dan doa-doa panjang, sementara urusan kerja adalah soal dunia yang terpisah. Padahal, dalam Islam, garis pemisah itu tidak setegas yang dibayangkan. Justru sebaliknya, bekerja adalah bagian penting dari ibadah. Bahkan, dalam banyak hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bekerja bukan hanya dianjurkan, tetapi diposisikan sebagai jalan meraih kehormatan, keberkahan, dan ridha Allah.

Islam tidak pernah mengajarkan umatnya menjadi pemalas yang berlindung di balik dalih tawakal. Tawakal dalam Islam bukan berarti duduk manis menunggu rezeki jatuh dari langit. Tawakal justru hadir setelah ikhtiar maksimal. Karena itu, hadis-hadis tentang bekerja selalu menekankan satu benang merah: kerja keras, kemandirian, profesionalisme, dan niat yang lurus.

Artikel ini akan mengajak kita berjalan santai tapi serius menelusuri hadis-hadis Rasulullah saw tentang bekerja. Mulai dari keutamaan mencari nafkah dengan tangan sendiri, larangan meminta-minta, teladan para nabi dan sahabat, sampai pesan penting tentang profesionalisme (itqan) dalam setiap pekerjaan. Semuanya dirajut dalam satu pesan besar: bekerja adalah jalan ibadah, bukan sekadar urusan perut.


Islam dan Pandangan Positif terhadap Kerja

Islam datang bukan untuk mematikan etos kerja manusia, tetapi justru menghidupkannya. Dalam sejarahnya, Islam tumbuh bersama para pedagang, petani, pengrajin, dan pekerja keras. Rasulullah saw sendiri sebelum diangkat menjadi nabi adalah seorang pedagang. Para sahabatnya pun bukan orang-orang yang menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain.

Pandangan Islam tentang kerja sangat realistis. Manusia memiliki kebutuhan jasmani dan rohani. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani, bekerja adalah jalan yang sah dan terhormat. Untuk memenuhi kebutuhan rohani, niat bekerja diarahkan kepada Allah. Di sinilah letak keindahan Islam: dunia dan akhirat tidak dipertentangkan, tetapi disinergikan.

Kerja dalam Islam bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari tanggung jawab moral dan sosial. Dengan bekerja, seseorang menjaga kehormatannya, menafkahi keluarganya, dan berkontribusi bagi masyarakat. Karena itu, Islam sangat keras mencela sikap malas dan kebiasaan meminta-minta tanpa alasan yang dibenarkan.



Teladan Abu Bakar ash-Shiddiq: Pemimpin Tetap Bekerja

Salah satu hadis yang sangat kuat menggambarkan etos kerja dalam Islam adalah riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang ayahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq, ketika diangkat menjadi khalifah.

Abu Bakar berkata bahwa kaumnya telah mengetahui pekerjaannya mencari nafkah tidak akan mengganggu urusan keluarganya. Namun, karena ia kini disibukkan dengan urusan kaum muslimin, maka keluarganya akan makan dari harta yang ia usahakan, sementara ia tetap bersungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan umat.

Hadis ini (HR. Bukhari no. 2070) mengajarkan beberapa hal penting. Pertama, kepemimpinan dalam Islam tidak menghapus nilai kerja. Bahkan seorang khalifah pun tetap memiliki etos kerja yang tinggi. Kedua, bekerja bukan sesuatu yang hina, meskipun seseorang memiliki kedudukan tinggi. Ketiga, tanggung jawab publik dan tanggung jawab keluarga harus berjalan seimbang.

Abu Bakar tidak menjadikan jabatannya sebagai alasan untuk hidup bermewah-mewah. Ia tetap bekerja, tetap sederhana, dan tetap menjaga integritas. Ini adalah pelajaran besar di tengah zaman ketika jabatan sering dijadikan alasan untuk bermalas-malasan atau memperkaya diri.


Para Sahabat: Berkeringat Itu Biasa

Hadis kedua yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha menggambarkan realitas hidup para sahabat Rasulullah saw. Mereka adalah pekerja untuk diri mereka sendiri. Mereka bekerja hingga tubuh mereka berkeringat dan menimbulkan bau, sampai ada yang menyarankan agar mereka mandi terlebih dahulu (HR. Bukhari no. 2071).

Hadis ini terasa sangat manusiawi. Islam tidak mengajarkan umatnya menjadi sosok yang sok suci tapi alergi terhadap kerja fisik. Keringat bukan aib. Bau badan karena kerja keras bukan kehinaan. Justru itu tanda bahwa seseorang tidak hidup dari kemalasan.

Di zaman sekarang, ketika banyak orang ingin hasil instan tanpa proses, hadis ini terasa menampar dengan lembut. Islam tidak menjanjikan kesuksesan tanpa keringat. Kerja keras adalah bagian dari sunnatullah.


Keutamaan Hasil Kerja Tangan Sendiri

Hadis-hadis tentang Nabi Dawud ‘alaihis salam menjadi fondasi kuat dalam Islam terkait keutamaan bekerja mandiri. Rasulullah saw bersabda:

“Tidak ada seseorang memakan makanan yang lebih baik dari makanan hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072).

Dalam riwayat lain ditegaskan kembali bahwa Nabi Dawud tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri (HR. Bukhari no. 2073).

Pesan hadis ini sangat jelas. Mencari nafkah dari hasil usaha sendiri adalah bentuk rezeki terbaik. Bukan karena jumlahnya, tetapi karena kehormatan dan keberkahannya. Bahkan seorang nabi, yang jika mau bisa saja hidup dari pemberian umatnya, tetap memilih bekerja.

Nabi Dawud dikenal sebagai raja dan nabi, tetapi beliau tetap bekerja sebagai pandai besi. Ini menunjukkan bahwa bekerja tidak menurunkan derajat seseorang. Justru sebaliknya, bekerja adalah jalan menjaga harga diri.


Larangan Meminta-Minta dan Etika Kemandirian

Islam sangat menekankan kemandirian. Rasulullah saw berkali-kali mengingatkan bahwa meminta-minta tanpa kebutuhan mendesak adalah perbuatan yang merendahkan martabat.

Dalam hadis riwayat Bukhari no. 2074, Rasulullah bersabda bahwa lebih baik seseorang mengumpulkan kayu bakar di punggungnya daripada meminta-minta, baik diberi maupun tidak. Hadis lain menambahkan bahwa dengan bekerja seperti itu, Allah akan menjaga wajahnya, yakni kehormatannya (HR. Bukhari no. 1471 dan 2075).

Pesan ini sangat kuat secara moral. Islam tidak melarang meminta bantuan dalam kondisi darurat. Namun, menjadikan meminta-minta sebagai kebiasaan adalah sesuatu yang dicela. Kerja keras, meskipun berat dan sederhana, tetap lebih mulia daripada hidup bergantung pada orang lain.

Dalam konteks modern, pesan ini relevan dalam banyak bentuk. Mulai dari mental “mengandalkan bantuan terus-menerus” hingga sikap pasif yang enggan berusaha. Islam mendorong umatnya untuk berdiri di atas kaki sendiri.


Profesionalisme (Itqan): Allah Mencintai Pekerja Berkualitas

Salah satu hadis paling populer tentang etos kerja adalah sabda Rasulullah saw:

“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara itqan (profesional/sempurna).” (HR. Thabrani).

Hadis ini menegaskan bahwa dalam Islam, bekerja tidak cukup hanya asal jalan. Kualitas adalah bagian dari ibadah. Itqan berarti mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh, teliti, dan bertanggung jawab.

Dalam konteks kekinian, itqan bisa diterjemahkan sebagai profesionalisme. Datang tepat waktu, bekerja sesuai standar, jujur, tidak asal-asalan, dan terus meningkatkan kompetensi. Semua itu bukan hanya tuntutan dunia kerja modern, tetapi juga nilai spiritual dalam Islam.

Bekerja secara asal-asalan, meskipun terlihat sepele, sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Sebaliknya, bekerja dengan itqan adalah bentuk cinta kepada Allah, karena Allah mencintai kualitas dan kesungguhan.


Bekerja untuk Dunia dan Akhirat

Islam tidak mengajarkan umatnya menjadi ekstrem ke salah satu sisi. Rasulullah saw mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dalam sebuah hadis disebutkan:

“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.”

Pesan ini mengajarkan keseimbangan yang elegan. Dunia tidak diabaikan, akhirat tidak dilupakan. Kerja duniawi dilakukan dengan perencanaan matang dan keseriusan, sementara ibadah akhirat dilakukan dengan kesadaran akan keterbatasan hidup.

Dengan paradigma ini, pekerjaan tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai ladang amal. Kantor, sawah, pasar, dan bengkel bisa menjadi “tempat ibadah” jika niatnya lurus.


Niat Ikhlas: Kunci Nilai Ibadah dalam Bekerja

Dalam Islam, niat adalah ruh dari setiap amal. Mencari nafkah yang diniatkan untuk mengharap ridha Allah akan bernilai pahala. Bahkan, dalam hadis disebutkan bahwa makanan yang disuapkan kepada istri pun bernilai sedekah jika diniatkan karena Allah.

Ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang tampak duniawi pun bisa menjadi ibadah murni. Bekerja bukan hanya soal gaji dan karier, tetapi soal tanggung jawab, amanah, dan pengabdian.

Dengan niat yang benar, rutinitas yang melelahkan pun bisa menjadi jalan mendekat kepada Allah. Tanpa niat yang benar, pekerjaan sehebat apa pun bisa kehilangan makna spiritualnya.


Kesimpulan: Kerja Keras adalah Jalan Kehormatan

Hadis-hadis Rasulullah saw tentang bekerja memberikan gambaran yang sangat jelas: Islam adalah agama yang memuliakan kerja keras, kemandirian, dan profesionalisme. Bekerja bukan hanya sarana mencari nafkah, tetapi juga ibadah, jihad, dan cara menjaga kehormatan diri.

Islam mencela kemalasan, ketergantungan, dan sikap meminta-minta tanpa alasan. Sebaliknya, Islam memuji mereka yang bekerja dengan tangan sendiri, menjaga kualitas kerja, dan meniatkan semua usahanya untuk Allah.

Di tengah dunia modern yang penuh persaingan dan godaan jalan pintas, nilai-nilai ini terasa semakin relevan. Bekerja keras, jujur, profesional, dan ikhlas bukan hanya resep sukses dunia, tetapi juga bekal keselamatan akhirat.

Pada akhirnya, bekerja dalam Islam bukan sekadar soal “apa pekerjaannya”, tetapi “bagaimana caranya” dan “untuk siapa niatnya”. Dan di sanalah letak kemuliaannya.

Comments