Reforma Agraria & Konflik Agraria di Indonesia: Data Terkini dan Refleksi Sejarah - Autiya Nila Agustina - Sejak masa kolonial sampai era reformasi, konflik agraria terus mewarnai perjalanan Indonesia. Pertarungan mendapatkan kepemilikan tanah yang adil dan penggunaan lahan yang bijaksana menjadi persoalan struktural. Di satu sisi ada janji reformasi agraria; di sisi lain banyak contoh konflik yang menunjukkan ketimpangan antara kepentingan rakyat kecil, perusahaan besar, dan proyek pembangunan. Artikel ini menggabungkan sejarah agraria dengan data terkini dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan sumber lain agar kita bisa melihat seberapa jauh persoalan ini masih berlangsung.
Sekilas Sejarah Konflik Agraria
- Konflik atas tanah sudah dimulai sejak zaman Belanda, melalui sistem perkebunan, tanam paksa, dan sewa tanah.
- Setelah kemerdekaan, ada harapan reforma agraria lewat Undang-Undang Pokok Agraria dan pengambilalihan tanah asing, tetapi realisasinya terbatas.
- Dalam era Demokrasi Liberal, konflik seperti Tanjung Morawa (1953) muncul sebagai salah satu contoh di mana petani menyuarakan tuntutan keadilan tanah dan aparat negara merespons dengan kekerasan.
- Selanjutnya, masa Orde Lama dan Orde Baru memperkenalkan regulasi agraria, tetapi banyak ketentuan hukum yang tidak berjalan penuh, atau dijalankan dengan penyimpangan.
Data Terkini Konflik Agraria (2023–2024)
Berikut ringkasan data terbaru berdasarkan laporan-laporan KPA dan media peliput konflik agraria:
Aspek Data
- Jumlah Letusan Konflik Agraria 2023 Sekitar 241 kasus konflik agraria.
- Luas area terlibat konflik agraria 2023 ± 638.188 hektar.
- Jumlah kepala keluarga terdampak 2023 Sekitar 135.608 keluarga.
- Jumlah kasus 2024 Sekitar 295 letusan konflik sepanjang tahun 2024.
- Luas area 2024 ± 1,1 juta hektar terkena konflik agraria.
- Keluarga terdampak 2024 Lebih dari 67.000 keluarga di 349 desa.
Penyebab Utama Konflik Agraria Terkini
Dari analisis data dan laporan:
1. Perkebunan sawit
Perkebunan sawit menjadi sektor paling dominan penyumbang konflik agraria. Banyak kasus terkait konflik tanah rakyat vs perusahaan swasta di sektor ini.
2. Proyek Infrastruktur & Proyek Strategis Nasional (PSN)
Pembangunan jalan tol, waduk, bandara, proyek-proyek infrastruktur dianggap banyak pihak sebagai penyebab perampasan tanah rakyat. PSN menjadi salah satu aktor kunci konflik.
3. Pertambangan dan Kehutanan
Ada konflik dari sektor pertambangan (batubara, nikel) dan klaim kawasan hutan oleh pemerintah maupun swasta.
4. Proyek properti / ruang kota
Penggusuran, reklamasi, dan perluasan pemukiman komersial juga membuat masyarakat lokal kehilangan akses atas tanah dan ruang hidup.
5. Kebijakan regulasi dan lembaga
Regulasi seperti Perpres, UU Cipta Kerja, PP-turunan, Bank Tanah, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, menggunakan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pengelolaan dengan cara yang kadang tidak transparan, memicu sengketa.
Dampak & Kerugian
- Korban kekerasan dan kriminalisasi: data menunjukkan ratusan kasus kriminalisasi, penganiayaan, penembakan, bahkan kematian akibat konflik agraria.
- Rugi materiil dan non-materiil: lahan hilang, mata pencaharian petani terganggu, akses terhadap lingkungan hidup yang seimbang terganggu, termasuk akses air dan ruang hidup masyarakat adat.
- Ketidakpastian hukum: banyak masyarakat tidak punya bukti formal kepemilikan tanah, atau wilayah adat tidak diakui secara legal.
- Tegangan sosial & politik: konflik agraria memicu protes, ketidakpercayaan terhadap pemerintah, kerusakan hubungan pusat dengan masyarakat daerah, dan citra pemerintah terkena dampak negatif.
Perbandingan dengan Konflik Agraria Sejarah
Menariknya, banyak pola yang muncul di konflik agraria masa kini bisa dilihat juga di konflik-konflik agraria pada masa Demokrasi Liberal:
- Konflik antara petani dan pemilik besar/perusahaan.
- Penggunaan perangkat kekuasaan (aparat) untuk melindungi kepentingan investor/pemodal vs memihak rakyat kecil.
- Peristiwa besar yang menggugah mosi tidak percaya atau kejatuhan pemerintahan.
- Contoh masa lampau: Peristiwa Tanjung Morawa (1953), di mana petani penggarap bentrok dengan aparat karena sengketa lahan perkebunan, dan akhirnya memicu kritik politik dan kejatuhan kabinet Wilopo.
Tantangan dan Kesenjangan dalam Reforma Agraria
Dari data dan sejarahnya, berikut beberapa tantangan nyata:
1. Ketidakseragaman regulasi dan implementasi
UU Pokok Agraria 1960 belum sepenuhnya diikuti dengan pendaftaran tanah rakyat dan pengakuan wilayah adat secara formal. Regulasi baru terkadang melewati prosedur sosial atau mengabaikan partisipasi masyarakat terdampak.
2. Keterbatasan pelaksanaan & penyelesaian konflik
Banyak kasus konflik yang sudah lama tetapi belum ada penyelesaian, atau penyelesaian hanya formal di atas dokumen tanpa pemulihan yang riil.
3. Peran aparatur keamanan
Dalam banyak konflik, aparat yang seharusnya menjaga keadilan justru terlibat dalam kekerasan atau kriminalisasi.
4. Dominasi kepentingan modal dan proyek besar
Proyek investasi dan PSN sering diberikan prioritas, meskipun dampaknya terhadap masyarakat lokal besar.
5. Kurangnya transparansi dan keadilan dalam akses bantuan, kompensasi, mediasi
Di beberapa kasus kompensasi tidak adil, proses administratif panjang, masyarakat tidak dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut hak atas tanah mereka.
Rekomendasi Kebijakan & Langkah Perbaikan
Agar konflik agraria bisa diminimalkan dan reforma agraria yang lebih adil bisa berjalan, berikut rekomendasi yang bisa dipertimbangkan:
1. Penguatan regulasi & pengakuan wilayah adat
Pengakuan wilayah adat secara legal formal harus dipercepat. Pemerintah perlu memperjelas status tanah rakyat agar tidak mudah diklaim pihak lain.
2. Pendaftaran tanah rakyat dan akses bukti kepemilikan
Program sertifikasi tanah bagi rakyat kecil harus diintensifkan dan dipermudah.
3. Penyelesaian konflik agraria secara adil & humanis
Mediasi menjadi pilihan utama sebelum tindakan aparat. Penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan kekerasan.
4. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan proyek
Sebelum proyek PSN atau infrastruktur besar dijalankan, harus ada konsultasi publik, analisis dampak lingkungan & sosial, kompensasi yang layak.
5. Transparansi dan akuntabilitas dalam regulasi
Proses pengadaan tanah, HGU, HGB, praktek tukar guling harus transparan dan melibatkan lembaga pengawas independen.
6. Monitoring & pelaporan publik
Data konflik agraria harus terus dipublikasikan agar masyarakat dan lembaga pengawas dapat memantau tren dan melakukan intervensi sejak dini.
Penutup
Konflik agraria bukanlah persoalan masa lalu saja—data terkini menunjukkan bahwa letusan konflik agraria makin meningkat, dengan dampak yang besar terhadap kesejahteraan rakyat, keamanan, dan kepercayaan publik terhadap negara.
Melihat sejarah seperti Peristiwa Tanjung Morawa dan pola yang terus muncul hingga hari ini, jelas bahwa reforma agraria bukan sekadar jargon. Untuk mewujudkan keadilan sosial, perlu kebijakan yang sistemik, komitmen politik yang kuat, dan ketaatan pada prinsip bahwa tanah juga hak rakyat.
Semoga artikel ini bisa menjadi pendorong diskusi dan dorongan bagi perhatian publik agar konflik agraria bisa lebih cepat diselesaikan demi kesejahteraan bersama.
Comments