Eksistensialisme Seri Lanjutan: Memahami Sartre, Camus, dan Heidegger

 

Sumber Gambar: Dreamina AI

Eksistensialisme adalah rumah besar bagi beragam pemikiran. Masing-masing tokohnya punya fokus berbeda, tapi semuanya kembali ke inti: manusia bebas menentukan maknanya sendiri.

1. Jean-Paul Sartre: Kebebasan dan Tanggung Jawab

Sartre adalah sosok yang membuat eksistensialisme populer di abad ke-20.
Prinsip terkenalnya adalah:

Existence precedes essence – Eksistensi mendahului esensi.

Artinya, manusia tidak lahir dengan “manual” atau tujuan bawaan. Kita ada dulu, baru menentukan siapa kita melalui pilihan.
Namun, kebebasan ini bukan hadiah manis. Sartre menyebut manusia “dik utuk untuk bebas”, karena setiap pilihan membawa beban tanggung jawab yang tak bisa dihindari.

Pelajaran dari Sartre:

  • Jangan menyalahkan keadaan atau orang lain sepenuhnya atas hidup kita.

  • Setiap keputusan adalah refleksi siapa kita, jadi buatlah dengan sadar.


2. Albert Camus: Absurdisme dan Perlawanan

Camus sebenarnya tidak suka disebut “eksistensialis”, tapi pemikirannya sering dimasukkan ke dalam aliran ini. Fokusnya adalah absurditas: kesenjangan antara keinginan manusia untuk menemukan makna dan diamnya alam semesta.

Camus menyarankan kita untuk menerima absurditas, lalu memberontak melawannya dengan menjalani hidup penuh kesadaran.

Ia terkenal dengan kisah Sisyphus yang dihukum mendorong batu tanpa akhir.
Bagi Camus, kita harus tetap menjalani hidup meski sadar itu “tak punya makna universal” — di situlah kebebasan dan kebahagiaan sejati.

Pelajaran dari Camus:

  • Jangan menunggu hidup menjadi sempurna baru bahagia.

  • Temukan alasan untuk tetap berjalan meski dunia terasa kosong.


3. Martin Heidegger: Keberadaan yang Otentik

Heidegger menyoroti konsep “being” (keberadaan) dan “authenticity” (keotentikan).
Menurutnya, kebanyakan manusia terjebak dalam das Man — hidup sesuai apa kata “orang-orang” tanpa refleksi pribadi.

Hidup otentik berarti sadar bahwa waktu kita terbatas (Sein-zum-Tode atau being-toward-death), lalu menjalani hidup sesuai nilai yang kita yakini, bukan sekadar mengikuti arus sosial.

Pelajaran dari Heidegger:

  • Kesadaran akan kematian seharusnya membuat kita hidup lebih bermakna.

  • Keberanian melawan arus bisa membawa kita pada kehidupan yang lebih jujur pada diri sendiri.


Eksistensialisme di Era Digital

Di zaman media sosial, eksistensialisme terasa semakin relevan.

  • Tekanan sosial: Kita dibombardir citra kesuksesan orang lain, membuat kita lupa pada nilai dan tujuan sendiri.

  • Kebebasan informasi: Kita punya banyak pilihan hidup, tapi ini juga bisa memicu kecemasan eksistensial (existential anxiety).

  • Makna di tengah kesibukan: Mudah terjebak rutinitas tanpa sadar “untuk apa” kita menjalaninya.

Eksistensialisme mengingatkan: berhenti sejenak, refleksikan hidup, dan pilih dengan sadar — bukan sekadar ikut-ikutan.


Latihan Praktis Eksistensialis

  1. Refleksi Harian
    Tanyakan: "Apakah yang kulakukan hari ini sejalan dengan nilai yang kupercaya?"

  2. Menulis Manifesto Pribadi
    Tuliskan prinsip hidup yang kamu pegang, bukan yang diwariskan tanpa pertanyaan.

  3. Menerima Kecemasan
    Anggap rasa gelisah sebagai tanda bahwa kamu sedang menyadari kebebasanmu, bukan sebagai hal yang harus dihindari.

  4. Hidup di Sini dan Sekarang
    Fokus pada tindakan saat ini tanpa terjebak nostalgia atau terlalu cemas pada masa depan.


Penutup Seri

Eksistensialisme, baik versi Sartre, Camus, maupun Heidegger, sama-sama mengajarkan hal penting: hidup ini tidak datang dengan makna bawaan, tapi kita bebas menciptakannya sendiri.

Kebebasan itu berat, kadang membuat kita cemas. Tapi justru di situlah letak kemanusiaan kita.
Kita bukan penonton dalam hidup ini — kita adalah penulisnya.

"Hidup itu bukan untuk ditemukan maknanya, tapi untuk diciptakan maknanya." — Interpretasi Eksistensialis

Comments