Autiya Nila Agustina - Dinasti Mataram Islam: Dari Kejayaan hingga Perpecahan - Sejarah Jawa pada abad ke-16 hingga 18 menjadi periode penuh gejolak yang membentuk wajah politik Nusantara hingga kini. Setelah berdiri melalui kepemimpinan Panembahan Senapati, Dinasti Mataram Islam tumbuh menjadi salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa. Wilayah kekuasaannya meluas hampir ke seluruh Jawa, bahkan mempengaruhi wilayah-wilayah lain di Nusantara.
![]() |
Sumber Gambar: Dreamina ai |
Namun, kejayaan ini tidak berlangsung abadi. Konflik internal, pemberontakan daerah, dan intervensi kekuatan asing seperti VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menjadi faktor utama melemahnya Mataram Islam. Dari dinamika tersebut lahirlah empat institusi kerajaan yang masih ada hingga sekarang: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.
Artikel ini akan membahas bagaimana Dinasti Mataram Islam berkembang, menghadapi tantangan, hingga akhirnya terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil, tetapi tetap memiliki pengaruh budaya yang kuat di Jawa.
1. Panembahan Senapati dan Fondasi Mataram Islam
1.1 Naiknya Senapati ke Tahta
Panembahan Senapati (Danang Sutawijaya), putra Ki Ageng Pemanahan, diangkat sebagai penguasa setelah wafatnya ayahnya. Dengan kecerdikan politik dan kekuatan militer, ia memperluas wilayah Mataram.
Senapati dikenal memiliki kedekatan spiritual dengan tokoh-tokoh agama serta mitologi Jawa, seperti kisah pertemuannya dengan Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini memperkuat legitimasinya sebagai penguasa bukan hanya di ranah politik, tetapi juga spiritual.
1.2 Perluasan Wilayah
Di bawah Senapati, Mataram memperluas pengaruhnya ke Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan sebagian Jawa Barat. Strategi politik perkawinan, aliansi, dan penaklukan menjadi cara utama membangun kekuasaan.
2. Sultan Agung: Puncak Kejayaan Mataram Islam
2.1 Kebijakan Politik
Sultan Agung (1613–1645) adalah penguasa terbesar Mataram Islam. Ia berhasil menyatukan sebagian besar wilayah Jawa di bawah kendalinya. Ia juga menata sistem pemerintahan dan administrasi yang lebih modern untuk ukuran kerajaan Jawa saat itu.
2.2 Perlawanan terhadap VOC
Sultan Agung dikenal gigih melawan kekuatan Belanda (VOC). Serangan besar ke Batavia tahun 1628–1629 meski gagal, menunjukkan tekad Mataram untuk menolak dominasi asing.
2.3 Reformasi Budaya dan Agama
Selain politik, Sultan Agung juga berperan dalam pengembangan budaya Jawa-Islam. Ia memperkenalkan penanggalan Jawa-Islam, yaitu kalender yang memadukan sistem Hijriah dengan tradisi Jawa.
3. Masa Pasca Sultan Agung: Kemunduran dan Konflik
3.1 Raja-raja Lemah
Setelah Sultan Agung wafat, penerusnya tidak mampu mempertahankan kekuatan Mataram. Raja-raja setelahnya lebih lemah secara politik dan banyak bergantung pada perjanjian dengan VOC.
3.2 Pemberontakan Daerah
Banyak daerah yang memberontak karena merasa tertekan oleh kekuasaan pusat. VOC memanfaatkan situasi ini dengan politik adu domba, sehingga Mataram semakin terpecah.
4. Perpecahan Mataram Islam
4.1 Perjanjian Giyanti (1755)
Konflik internal antara keluarga kerajaan akhirnya melahirkan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Dalam perjanjian ini, Mataram dibagi menjadi dua:
- Kasunanan Surakarta di bawah Paku Buwono III
- Kasultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono I
Perpecahan ini merupakan awal melemahnya hegemoni Mataram di Jawa.
4.2 Lahirnya Kadipaten Mangkunegaran (1757)
Tidak lama kemudian, muncul tokoh Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) yang menentang Surakarta. Untuk meredam perlawanan, dibuat kesepakatan yang melahirkan Kadipaten Mangkunegaran pada tahun 1757.
4.3 Lahirnya Kadipaten Pakualaman (1813)
Pada masa kolonial Inggris (1813), lahirlah Kadipaten Pakualaman sebagai pecahan dari Yogyakarta. Kadipaten ini dipimpin oleh Paku Alam I dan sejak itu menjadi bagian dari struktur politik Jawa.
5. Hubungan Dinasti Mataram dengan VOC dan Kolonialisme
VOC memainkan peran besar dalam perpecahan Mataram. Politik devide et impera (pecah belah) membuat dinasti ini terjebak dalam perjanjian yang merugikan.
Kasunanan dan Kasultanan yang lahir kemudian sebagian besar berada di bawah pengawasan VOC, dan kemudian Belanda. Meski demikian, mereka tetap menjadi simbol penting kebudayaan Jawa dan menjaga kesinambungan tradisi keraton.
6. Warisan Dinasti Mataram Islam
- Meskipun terpecah, warisan Mataram Islam tetap bertahan hingga kini:
- Budaya Jawa-Islam: Tradisi keraton, tari-tarian, upacara adat, dan sastra masih dijaga di Yogyakarta dan Surakarta.
- Sistem Politik: Keraton masih eksis hingga era modern, bahkan Yogyakarta mendapat status istimewa di Indonesia.
- Identitas Spiritual: Perpaduan antara Islam dan budaya Jawa (sinkretisme) masih kuat dalam kehidupan masyarakat.
Penutup
Dinasti Mataram Islam adalah cerminan perjalanan sejarah Jawa yang penuh dinamika: dari kejayaan di masa Sultan Agung hingga perpecahan melalui Perjanjian Giyanti. Meski politiknya hancur oleh kolonialisme, warisan budaya, agama, dan tradisi tetap hidup hingga kini.
Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman menjadi bukti bahwa jejak Mataram tidak pernah hilang, tetapi bertransformasi menjadi institusi budaya yang bertahan di tengah modernitas.
Daftar Pustaka
- Ricklefs, M.C. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Carey, Peter. (2008). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press.
- Sunyoto, Agus. (2012). Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka Iman.
- Pigeaud, Theodore G.Th. (1967). Literature of Java. The Hague: Martinus Nijhoff.
- De Graaf, H.J. & Pigeaud, Theodore. (1985). Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti.
Comments