Hiburan dalam Islam: Antara Komunikasi, Edukasi, dan Kesehatan Jiwa

Pendahuluan

Dalam dinamika kehidupan manusia, hiburan merupakan kebutuhan yang tidak bisa diabaikan. Namun, dalam pandangan Islam, hiburan tidak hanya diposisikan sebagai bentuk pelarian dari rutinitas atau tekanan hidup, melainkan juga sebagai bagian dari komunikasi yang mendidik, menyehatkan, dan menyegarkan jiwa. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin memahami bahwa manusia tidak hanya membutuhkan ibadah dan kerja keras, tetapi juga ruang untuk menyegarkan hati dan pikiran melalui hiburan yang sehat.

Konsep hiburan dalam Islam tidak menafikan unsur kesenangan, tetapi mengarahkan hiburan agar tetap berada dalam koridor syariat dan mengandung nilai-nilai moral yang membangun. Hiburan bukan sekadar candaan kosong atau tontonan yang melelahkan batin, melainkan harus menjadi sarana penyampaian pesan kebaikan, penguat keimanan, dan pelipur lara yang membangkitkan harapan. Oleh karena itu, Islam memberikan tempat yang proporsional bagi hiburan dalam kehidupan, dengan syarat tetap terikat pada nilai edukatif dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Islam.

Di era digital saat ini, bentuk dan media hiburan berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, menjadi penting bagi umat Islam untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut, sambil tetap menjaga kesucian nilai dan akhlak dalam memilih serta menciptakan konten hiburan. Melalui pendekatan ini, hiburan Islami dapat menjadi sarana dakwah yang efektif, terapi jiwa yang menyejukkan, serta media komunikasi sosial yang harmonis. 

Sumber Gambar: Dreamina AI


1. Islam dan Konsep Hiburan yang Mendidik

Islam adalah agama yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara serius dan santai, antara dunia dan akhirat. Dalam konteks ini, hiburan (al-tarwîh) mendapat tempat dalam kehidupan seorang Muslim, asalkan tetap berada dalam batas-batas syariat dan nilai-nilai kebaikan. Komunikasi yang bersifat menghibur dalam Islam bukan sekadar untuk menyenangkan hati, tetapi juga sebagai sarana penyegaran jiwa, perekat sosial, dan penyampai pesan moral secara ringan dan menyentuh.[1]

Konsep hiburan dalam Islam bukanlah sesuatu yang diharamkan secara mutlak. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pernah membiarkan hiburan berlangsung dalam kehidupan masyarakat selama tidak bertentangan dengan akidah dan akhlak. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi membiarkan dua budak wanita menyanyi dengan rebana di rumah ‘Aisyah saat hari raya, dan beliau tidak melarang, bahkan menegur Umar bin Khattab yang memprotes peristiwa itu.[2] Ini menjadi bukti bahwa Islam memberi ruang bagi ekspresi hiburan selama tidak bermuatan maksiat.

Hiburan dalam Islam harus memiliki nilai edukatif dan membangun, bukan sekadar pelepas penat yang kosong makna atau bahkan merusak moral. Hiburan yang Islami adalah hiburan yang menyegarkan hati, menanamkan nilai-nilai positif, dan memperkuat keimanan. Misalnya, nasyid, syair, puisi keislaman, kisah hikmah, dan pertunjukan seni yang membawa pesan kebaikan dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi hiburan yang islami.[3]

Hiburan juga memiliki fungsi psikologis, yakni menjadi penyeimbang di tengah rutinitas hidup yang melelahkan. Dalam kondisi tertentu, jiwa manusia memerlukan istirahat agar tidak lelah dan jenuh, sehingga hiburan yang sehat menjadi salah satu sarana peremajaan mental. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya hati itu bisa menjadi letih sebagaimana badan menjadi letih. Maka carilah hiburan untuknya.”[4] Ini menunjukkan bahwa hiburan yang sehat adalah bagian dari kebutuhan ruhani yang sah dan diakui.

Di era modern, bentuk hiburan mengalami transformasi. Teknologi telah memungkinkan hadirnya berbagai platform hiburan seperti film, musik, game, dan media sosial. Oleh karena itu, prinsip-prinsip komunikasi Islam harus menjadi pedoman dalam memilih dan menikmati hiburan. Muslim dituntut untuk selektif terhadap hiburan yang dikonsumsi—bukan semata-mata mengikuti tren, tetapi melihat nilai dan dampaknya terhadap akhlak dan spiritualitas.[5]

Dengan demikian, Islam tidak menafikan hiburan, tetapi mengarahkannya agar menjadi bagian dari komunikasi yang menyenangkan, sehat, dan mendidik. Hiburan yang sesuai dengan prinsip Islam bukan hanya menghibur, tetapi juga memperkuat kepribadian, menanamkan akhlak mulia, dan menciptakan suasana sosial yang harmonis.

2. Hiburan Bernilai Edukatif dan Syariat

Dalam perspektif Islam, hiburan ideal adalah hiburan yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga mengandung nilai edukatif dan sesuai syariat. Hiburan semacam ini menjadi bagian dari komunikasi yang produktif, karena tidak melalaikan dan tidak merusak akhlak, melainkan justru menanamkan pesan kebaikan secara halus dan menyentuh hati. Ini sesuai dengan prinsip Islam yang selalu menyeimbangkan antara manfaat dan maslahat, antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.

Nilai edukatif dalam hiburan bisa berupa ajaran moral, motivasi spiritual, atau pelajaran hidup yang disampaikan dengan cara yang ringan. Misalnya, dalam seni peran atau film Islami, penonton tidak hanya diajak untuk terhibur, tetapi juga merenung tentang nilai-nilai kesabaran, kejujuran, perjuangan, dan keimanan.[6] Hiburan seperti ini menjadi media komunikasi dakwah yang sangat efektif, terutama bagi generasi muda yang cenderung lebih tertarik pada pendekatan visual dan emosional.

Contoh hiburan edukatif yang telah terbukti efektif di berbagai kalangan adalah nasyid, kasidah, dan puisi Islami. Lirik-lirik yang mengandung pujian kepada Allah, cinta kepada Nabi, serta ajakan kepada kebaikan terbukti dapat memperkuat spiritualitas dan memperdalam rasa cinta terhadap Islam.[7] Bahkan dalam sejarah Islam, syair telah digunakan oleh para sahabat seperti Hassan bin Tsabit untuk membela Islam dan menyebarkan pesan tauhid melalui jalur seni.[8]

Hiburan yang sesuai dengan syariat Islam harus memenuhi beberapa kriteria dasar:

  1. Tidak mengandung unsur maksiat (seperti aurat terbuka, kata-kata kotor, atau adegan yang melanggar norma Islam);
  2. Tidak mendorong kemalasan atau pelarian dari tanggung jawab;
  3. Tidak merusak akidah atau melecehkan simbol-simbol agama;
  4. Memberikan manfaat batin dan sosial bagi penikmatnya.[9]

Karena itu, umat Islam dituntut untuk selektif dan kritis dalam memilih hiburan. Kemampuan menilai mana hiburan yang bermutu dan mana yang merusak adalah bagian dari kesadaran komunikasi Islami. Hiburan yang membodohi, mendorong gaya hidup hedonistik, atau mengandung pesan-pesan liberal yang menjauhkan umat dari nilai-nilai ilahiyah, meskipun populer, tetap harus dihindari.[10]

Di era digital saat ini, kreativitas dalam menghasilkan konten hiburan Islami sangat dibutuhkan. Para dai, seniman, dan pendidik Islam memiliki peran besar dalam menciptakan hiburan yang berkualitas, mendidik, dan tetap menarik. Dengan media sosial, film pendek, podcast, animasi, hingga stand-up comedy yang Islami dan bermartabat, pesan agama dapat dikemas secara menyenangkan tanpa mengurangi substansi.

Dengan demikian, hiburan yang bernilai edukatif dan sesuai syariat adalah bentuk komunikasi yang strategis dalam membangun masyarakat Muslim yang cerdas, sehat secara rohani, dan tetap terhubung dengan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupannya.

3. Media dan Konten Islami sebagai Sarana Hiburan

Dalam era digital dan globalisasi saat ini, media massa dan teknologi informasi telah menjadi pusat distribusi hiburan terbesar dan paling berpengaruh. Televisi, internet, media sosial, podcast, YouTube, hingga layanan streaming menghadirkan beragam konten hiburan yang dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja. Dalam konteks ini, Islam tidak menolak keberadaan media modern, tetapi mengarahkan agar media dan konten yang dikonsumsi maupun diproduksi memiliki nilai-nilai Islami yang mendidik, santun, dan sesuai dengan prinsip syariat.[11]

Media dan konten Islami memiliki potensi luar biasa sebagai sarana hiburan yang juga mencerdaskan umat. Melalui film religi, kartun Islami untuk anak, serial dakwah, musik nasyid, atau video motivasi keislaman, masyarakat bisa memperoleh hiburan yang menyenangkan sekaligus menyentuh aspek spiritual.[12] Konten semacam ini dapat memperkuat identitas keislaman, membangun karakter generasi muda, serta melawan arus budaya populer yang cenderung hedonistik dan permisif.

Misalnya, berbagai film Islami seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan 99 Cahaya di Langit Eropa telah membuktikan bahwa hiburan bisa menyampaikan dakwah secara masif dengan pendekatan yang emosional dan menyenangkan.[13] Film-film ini menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif, konflik moral, dan nilai-nilai religius dalam alur cerita yang menarik, sehingga pesan Islam lebih mudah diterima oleh khalayak luas.

Selain itu, media sosial seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan podcast dapat menjadi ladang baru bagi kreator konten Islami untuk memproduksi hiburan positif. Konten seperti ceramah singkat, humor islami, storytelling sahabat Nabi, hingga lagu-lagu religi versi modern terbukti mampu menarik perhatian generasi muda Muslim.[14] Hal ini menunjukkan bahwa hiburan dan dakwah dapat bersinergi secara harmonis dalam ruang digital.

Namun, keberhasilan media dan konten Islami sebagai hiburan sangat ditentukan oleh kreativitas dan kualitas penyajiannya. Konten yang terlalu menggurui, membosankan, atau tidak relevan dengan kebutuhan zaman akan sulit diterima. Oleh karena itu, penting bagi para dai, pendidik, dan content creator Muslim untuk menguasai teknik komunikasi massa, estetika visual, dan psikologi audiens agar mampu menghadirkan hiburan Islami yang berkualitas dan kompetitif.[15]

Dari sisi konsumen, literasi media Islami juga menjadi kebutuhan. Umat Islam perlu dibekali dengan kemampuan menyeleksi dan menilai konten hiburan yang sesuai dengan nilai Islam, bukan hanya mengikuti tren. Keluarga, sekolah, dan masjid dapat menjadi benteng edukasi untuk membentuk kebiasaan konsumsi hiburan yang sehat dan Islami.

Dengan demikian, media dan konten Islami merupakan bentuk komunikasi hiburan yang strategis dan potensial. Jika dikelola dengan baik, ia mampu menjadi kekuatan budaya yang menyegarkan, mendidik, serta memperkuat identitas keislaman di tengah masyarakat modern.

4. Dampak Hiburan Islami terhadap Psikologi Umat

Hiburan dalam perspektif Islam bukan hanya berfungsi sebagai pelengkap hidup, tetapi juga sebagai alat pemelihara kesehatan jiwa (mental well-being). Hiburan yang disajikan dengan muatan nilai Islami terbukti memberi dampak positif terhadap psikologi umat, baik secara individual maupun sosial. Dalam situasi modern yang ditandai dengan stres, tekanan hidup, dan kejenuhan informasi, hiburan yang menenangkan, mendidik, dan menumbuhkan semangat spiritual menjadi kebutuhan penting.[16]

Secara individu, hiburan Islami dapat memberikan efek relaksasi yang menenangkan pikiran dan emosi. Ketika seseorang mendengarkan nasyid yang menyentuh hati, menonton film yang menggambarkan perjuangan iman, atau membaca cerita inspiratif para sahabat, secara tidak langsung ia mendapatkan ketenangan batin, semangat hidup baru, dan rasa keterhubungan dengan nilai-nilai luhur.[17] Hal ini terbukti mampu mengurangi gejala depresi ringan, mengembalikan harapan, dan memperbaiki mood.

Dari sisi sosial, hiburan Islami memperkuat identitas kolektif umat Islam. Konten hiburan yang sarat nilai keislaman, seperti humor yang sopan, pertunjukan seni dakwah, atau drama Islami, berperan menciptakan suasana sosial yang sejuk, membangun, dan harmonis.[18] Ini sangat berbeda dengan hiburan sekuler yang cenderung mempromosikan individualisme, konsumtivisme, atau gaya hidup bebas.

Penelitian dalam psikologi Islam juga menunjukkan bahwa hiburan Islami dapat menjadi sarana terapi sosial bagi kelompok rentan seperti remaja, pelajar, dan masyarakat urban. Hiburan yang menghadirkan role model positif dan pesan moral secara tidak langsung dapat menggantikan kekosongan identitas dan menumbuhkan rasa percaya diri serta arah hidup.[19] Selain itu, hiburan yang melibatkan unsur keagamaan meningkatkan kecerdasan spiritual (SQ), yang sangat penting dalam membangun karakter resilien dan religius.

Rasulullah SAW sendiri memberi teladan tentang menyeimbangkan keseriusan dan hiburan dalam hidup. Beliau kadang bercanda dengan sahabat dan keluarganya, tetapi tanpa kebohongan atau menyakiti. Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku juga bercanda, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.”[20] Ini menunjukkan bahwa hiburan, jika dibingkai dalam nilai-nilai Islam, akan memperkaya jiwa tanpa menurunkan kualitas moral.

Namun, untuk menjaga dampak positif hiburan Islami terhadap psikologi umat, penting dilakukan pengawasan konten, edukasi konsumsi media, dan penguatan budaya literasi hiburan di tengah masyarakat. Orang tua, guru, dai, dan pemerintah harus bersinergi dalam memastikan bahwa hiburan yang dikonsumsi umat benar-benar membangun dan menyehatkan.

Dengan demikian, hiburan Islami bukan hanya sebagai pelepas lelah, tetapi juga sebagai media komunikasi yang merawat jiwa, menguatkan iman, dan membentuk masyarakat Muslim yang tangguh, optimis, dan bahagia secara batin.

Penutup

Hiburan dalam Islam bukanlah sesuatu yang ditolak atau dilarang, melainkan diarahkan dan dimaknai secara positif sebagai bagian dari fitrah manusia yang membutuhkan keseimbangan antara keseriusan dan keceriaan, antara kerja keras dan istirahat batin. Hiburan yang Islami adalah hiburan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, menyehatkan, dan memperkuat keimanan. Baik dalam bentuk nasyid, film religi, puisi spiritual, atau konten digital Islami, hiburan tersebut harus mengedepankan nilai moral, etika, serta memberikan dampak psikologis yang membangun.

Media dan teknologi modern dapat menjadi wasilah (sarana) untuk menghadirkan hiburan yang sesuai dengan ajaran Islam, jika dikelola dengan kreativitas, tanggung jawab, dan pemahaman keislaman yang kuat. Konten yang bernuansa Islami tidak hanya memperkuat identitas umat, tetapi juga menjadi terapi sosial dan personal bagi jiwa-jiwa yang haus akan makna hidup.

Di tengah tantangan zaman yang penuh distraksi dan krisis moral, hiburan Islami hadir sebagai solusi alternatif yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga mencerdaskan dan menyembuhkan. Dengan demikian, membangun budaya hiburan yang sehat dan syar’i menjadi bagian penting dari upaya menciptakan masyarakat Muslim yang kuat, berkarakter, dan berbahagia secara lahir dan batin.

 



[1] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 135

[2] Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-‘Idain, Hadis No. 952

[3] Yusuf Al-Qaradawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 2001), 323

[4] Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Adab, Hadis No. 4960

[5] Syarif, B., “Hiburan Islami dan Dampaknya terhadap Psikologi Muslim,” Islamic Media and Communication 18, no. 4 (2021): 300–315

[6] Syarif, B., “Hiburan Islami dan Dampaknya terhadap Psikologi Muslim,” Islamic Media and Communication 18, no. 4 (2021): 306

[7] Yusuf Al-Qaradawi, al-Fann fi al-Islam (Kairo: Dar al-Shuruq, 1998), 71–72

[8] Mahmud Shakir, Tarikh al-Islam, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 223

[9] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 314

[10] Ahmad Zaini, “Menilai Konten Hiburan dari Perspektif Komunikasi Islam,” Jurnal Media Dakwah Digital 4, no. 2 (2023): 58–62

[11] Syarif, B., “Hiburan Islami dan Dampaknya terhadap Psikologi Muslim,” Islamic Media and Communication 18, no. 4 (2021): 310–312

[12] Ratna Noviani, “Representasi Nilai Islam dalam Film Dakwah Modern,” Jurnal Komunikasi Islam 9, no. 2 (2020): 88–95

[13] Hasanuddin, “Peran Media Sosial dalam Menyebarkan Konten Keislaman Kreatif,” Jurnal Dakwah Digital 6, no. 1 (2022): 55–60

[14] Ahmad Zaini, Komunikasi Islam di Era Digital: Tantangan dan Peluang (Kudus: Pustaka Fikrah, 2021), 67–70

[15] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), 313

[16] Syarif, B., “Hiburan Islami dan Dampaknya terhadap Psikologi Muslim,” Islamic Media and Communication 18, no. 4 (2021): 310–313

[17] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 311–312

[18] Hasan, R., “Hiburan Islami dan Kesehatan Mental Remaja Muslim,” Islamic Psychology Journal 15, no. 2 (2022): 55–60

[19] Imam Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Birr, Hadis No. 1990

[20] Ahmad Zaini, “Peran Hiburan Positif dalam Pembentukan Identitas Muslim Modern,” Jurnal Komunikasi Islam 11, no. 1 (2022): 50–54

Comments

Postingan Populer

12 Ulama Indonesia yang Pemikirannya Diakui Dunia

Era Digital dan Perubahan Paradigma Ekonomi

Hadis Dha’if: Pengertian, Pembagian, dan Penggunaannya dalam Hujjah