Era Digital dan Perubahan Paradigma Ekonomi

 

Sumber Gambar: Hasil AI

Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mendorong dunia memasuki babak baru revolusi industri yang dikenal sebagai Revolusi Industri 4.0, dan dalam beberapa konteks mutakhir berkembang pula menjadi Society 5.0.[1] Era ini ditandai oleh konektivitas masif antara manusia, data, dan mesin, serta meningkatnya pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence), internet of things (IoT), blockchain, dan sistem otomatisasi dalam berbagai lini kehidupan, termasuk dalam sektor ekonomi dan keuangan.[2] Transformasi ini membawa implikasi yang mendalam terhadap sistem ekonomi global, termasuk ekonomi syariah, yang dituntut untuk beradaptasi dengan pola-pola digitalisasi dan inovasi keuangan modern seperti financial technology (fintech).[3]

Di tengah akselerasi digital, ekonomi syariah menghadapi tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, nilai-nilai etis yang melekat dalam ekonomi Islam, seperti transparansi, keadilan, dan keberlanjutan, menjadi semakin relevan dalam merespons krisis global yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis.[4] Di sisi lain, ekonomi syariah juga ditantang untuk merumuskan ulang pendekatan, instrumen, dan tata kelola agar mampu bersaing secara adil dan inklusif di tengah arus digitalisasi.[5]

Dalam konteks ini, fintech syariah muncul sebagai entitas baru yang menjanjikan akselerasi inklusi keuangan berbasis prinsip-prinsip Islam. Namun, perkembangan tersebut tidak serta merta berjalan mulus, karena banyak aspek yang membutuhkan penyesuaian, baik dari sisi regulasi, landasan fikih muamalah, hingga kesadaran masyarakat muslim sebagai pengguna. Oleh karena itu, pemahaman komprehensif mengenai relasi antara transformasi digital dan ekonomi syariah menjadi kebutuhan akademis dan praktis yang sangat penting pada era ini.[6]

Bab ini akan menguraikan secara sistematis tentang kondisi dan tantangan di era digital, khususnya terkait dengan Revolusi Industri 4.0 dan 5.0, transformasi ekonomi digital di negara-negara muslim, serta relevansi dan kritik terhadap sistem ekonomi konvensional.[7] Dengan demikian, pembaca akan memiliki pemahaman awal mengenai konteks besar dari transformasi ekonomi syariah yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya.

1.1 Era Revolusi Industri 4.0 dan 5.0

Revolusi Industri 4.0 merupakan fase transformasi ekonomi dan sosial yang dipicu oleh integrasi teknologi canggih ke dalam sistem produksi dan kehidupan sehari-hari.[8] Ciri khas dari fase ini adalah otomatisasi yang didukung oleh cyber-physical systems, pemanfaatan big data, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of Things (IoT) yang memungkinkan mesin dan perangkat saling berkomunikasi secara real time. Konsep ini menandai lompatan besar dari Revolusi Industri 3.0 yang lebih berfokus pada komputerisasi dan otomatisasi berbasis perangkat lunak konvensional.[9]

Dalam konteks Revolusi Industri 4.0, sektor ekonomi mengalami pergeseran paradigma yang sangat mendalam. Aktivitas perdagangan, keuangan, dan jasa kini tidak lagi terbatas pada batas-batas fisik dan waktu. Teknologi seperti blockchain mengubah cara pencatatan transaksi menjadi lebih transparan dan tidak bisa dimanipulasi.[10] Sementara itu, penggunaan AI dalam analisis keuangan memungkinkan efisiensi dan akurasi tinggi dalam pengambilan keputusan bisnis. Semua ini memberi pengaruh besar pada dunia keuangan, termasuk sistem keuangan syariah yang harus mulai menyesuaikan prinsip-prinsip Islam dengan dinamika digital yang bergerak cepat.

Di sisi lain, Jepang mengenalkan konsep Society 5.0 sebagai bentuk penyempurnaan dari Revolusi Industri 4.0.[11] Konsep ini tidak hanya menitikberatkan pada kemajuan teknologi, tetapi juga mengedepankan kemanusiaan sebagai pusat inovasi. Society 5.0 menekankan pentingnya menciptakan masyarakat yang seimbang antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai sosial, spiritual, serta etika kemanusiaan.[12] Dalam kerangka ini, konsep ekonomi syariah mendapat ruang yang ideal karena menawarkan keseimbangan antara kebutuhan materi dan spiritual, serta menjunjung tinggi keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif.

Perkembangan dua fase ini—Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0—menjadi peluang besar bagi ekonomi syariah untuk melakukan lompatan inovatif, dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip ajaran Islam.[13] Namun demikian, adaptasi ini menuntut kapasitas literasi digital, kemampuan pengembangan teknologi halal, serta regulasi yang responsif terhadap perkembangan zaman.

1.2 Transformasi Digital: Peluang dan Disrupsi

Transformasi digital merupakan perubahan fundamental dalam cara organisasi, bisnis, dan masyarakat menjalankan aktivitas ekonomi melalui adopsi teknologi digital.[14] Proses ini tidak sekadar menyangkut penggunaan perangkat digital, tetapi juga mencakup restrukturisasi model bisnis, pola konsumsi, mekanisme distribusi, dan tata kelola keuangan secara menyeluruh.[15] Dalam ranah ekonomi, transformasi digital telah melahirkan berbagai inovasi disruptif seperti dompet digital, peer-to-peer (P2P) lending, crowdfunding, aset kripto, hingga sistem pembayaran tanpa bank tradisional.[16]

Bagi ekonomi syariah, transformasi digital menjadi ladang baru yang menjanjikan. Melalui teknologi, nilai-nilai universal Islam seperti inklusi, keadilan sosial, dan keberlanjutan dapat diterapkan secara lebih efisien dan luas. Contohnya, kehadiran fintech syariah dapat menjangkau masyarakat yang sebelumnya tidak terakses layanan keuangan formal, seperti pelaku UMKM di pedesaan atau komunitas pesantren. Bahkan, melalui sistem digital, pengumpulan zakat, infaq, dan wakaf (ZISWAF) dapat dilakukan secara real-time dan transparan, meningkatkan kepercayaan publik dan efektivitas distribusi dana sosial Islam.[17]

Namun demikian, transformasi digital juga membawa disrupsi yang signifikan. Perusahaan-perusahaan konvensional yang tidak beradaptasi dengan perubahan cepat ini berisiko kehilangan pasar. Model bisnis yang sebelumnya mapan bisa tergantikan oleh platform digital yang lebih efisien, murah, dan mudah diakses. Dalam konteks ekonomi syariah, tantangan ini mencakup kebutuhan akan pengembangan akad-akad syariah yang sesuai dengan konteks digital, keharusan penyusunan regulasi yang responsif, dan pentingnya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia agar melek digital sekaligus paham prinsip-prinsip syariah.[18]

Fenomena disrupsi digital juga memunculkan berbagai dilema etika, seperti eksploitasi data pribadi, penyebaran informasi hoaks, serta spekulasi dan manipulasi pasar digital yang merusak stabilitas keuangan. Hal ini menuntut ekonomi syariah untuk tidak sekadar mengadopsi teknologi, tetapi juga memberi arah etis terhadap pemanfaatannya. Pendekatan ini sejalan dengan cita-cita Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, yang tidak hanya menekankan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan, keseimbangan, dan perlindungan terhadap semua pihak, khususnya yang lemah dan rentan.[19]

Dengan demikian, transformasi digital membawa dua sisi mata uang: peluang besar untuk inovasi dan pemberdayaan, tetapi juga risiko disrupsi dan penyimpangan nilai. Tantangan terbesar bagi ekonomi syariah ke depan adalah bagaimana mengarahkan transformasi digital ini agar tetap dalam koridor maqashid syariah—melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—dalam bingkai kemajuan teknologi.[20]

1.3 Digitalisasi Ekonomi di Negara Muslim

Negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim menunjukkan dinamika yang sangat beragam dalam menghadapi era digitalisasi ekonomi. Beberapa di antaranya telah menjadi pionir dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam ke dalam sistem keuangan digital, sementara lainnya masih berada pada tahap awal transformasi akibat keterbatasan infrastruktur digital, kebijakan publik, dan kapasitas sumber daya manusia.[21] Meski demikian, terdapat tren global yang menunjukkan bahwa ekonomi digital berbasis syariah memiliki potensi besar untuk berkembang di dunia Muslim, khususnya karena kesesuaian nilai-nilai Islam dengan prinsip transparansi, keadilan, dan inklusi yang menjadi fondasi teknologi digital modern.

Malaysia, misalnya, telah menempatkan dirinya sebagai pemimpin dalam pengembangan ekosistem keuangan syariah digital. Pemerintah Malaysia melalui Bank Negara dan Suruhanjaya Sekuriti Malaysia secara aktif mendorong inovasi keuangan berbasis syariah melalui sandbox regulasi dan insentif bagi startup fintech syariah. Inisiatif seperti Islamic Digital Economy Framework (IDEF) telah menjadi model referensi bagi negara-negara lain dalam mengembangkan ekosistem digital Islami yang inklusif dan berkelanjutan.[22] Selain Malaysia, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain juga berinvestasi besar dalam digitalisasi sektor keuangan berbasis Islam, menjadikan wilayah Teluk sebagai pusat pertumbuhan Islamic fintech global.[23]

Sementara itu, di Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, digitalisasi ekonomi syariah menghadapi tantangan struktural dan kultural. Meskipun memiliki ekosistem startup yang tumbuh pesat dan penetrasi internet yang meningkat signifikan, namun tingkat literasi keuangan syariah masih tergolong rendah, bahkan di kalangan umat Islam sendiri.[24] Hal ini menjadi kendala serius dalam pengembangan platform fintech syariah yang membutuhkan pemahaman terhadap akad-akad syariah seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, hingga wakalah dan kafalah.

Di sisi lain, peluang Indonesia sangat besar. Dengan dukungan pemerintah melalui Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), serta inisiatif dari OJK dan MUI, berbagai upaya terus dilakukan untuk mendorong integrasi teknologi ke dalam sistem ekonomi syariah nasional. Salah satunya adalah peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang dan digitalisasi pembayaran zakat serta infaq melalui platform digital resmi. Upaya ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya pemanfaatan teknologi untuk mendekatkan sistem keuangan Islam kepada masyarakat luas.[25]

Negara-negara Muslim lainnya, seperti Pakistan, Turki, dan Arab Saudi, juga mulai merancang strategi digitalisasi ekonomi dengan memperhatikan aspek syariah. Namun keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada sinergi antara regulator, ulama, akademisi, dan pelaku industri. Tanpa pemahaman bersama, digitalisasi dapat menjadi ancaman terhadap prinsip-prinsip Islam, seperti potensi riba dalam transaksi digital, gharar dalam smart contracts, dan eksploitasi data pengguna.[26]

Kesimpulannya, digitalisasi ekonomi di dunia Muslim adalah keniscayaan. Namun implementasinya membutuhkan pendekatan multidimensi yang tidak hanya berbasis teknologi, tetapi juga integrasi nilai-nilai Islam yang otentik. Negara-negara yang mampu membangun ekosistem ekonomi digital syariah yang adaptif dan inklusif akan berpotensi menjadi pusat peradaban ekonomi Islam di masa depan.

1.4 Tantangan Sistem Ekonomi Konvensional

Sistem ekonomi konvensional, yang mayoritas berpijak pada prinsip kapitalisme dan liberalisme pasar, selama beberapa dekade terakhir telah menunjukkan kelemahan struktural yang semakin jelas. Ketimpangan distribusi kekayaan, krisis finansial global yang berulang, kerusakan lingkungan, dan komersialisasi aspek-aspek kemanusiaan menjadi gejala utama yang tak terelakkan dari sistem ini.[27] Kendati teknologi digital memberikan efisiensi, sistem ekonomi konvensional kerap kali menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan, tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan kesejahteraan spiritual manusia.[28]

Krisis keuangan global 2008 menjadi bukti paling nyata dari kegagalan sistem ini dalam menciptakan stabilitas. Penyebab utama krisis tersebut adalah praktik spekulatif pasar derivatif, riba dalam sistem kredit, serta lemahnya pengawasan terhadap institusi keuangan raksasa. Di sinilah ekonomi syariah menampilkan keunggulannya melalui larangan riba, gharar (ketidakjelasan), dan spekulasi yang berlebihan (maysir), serta menekankan transaksi yang berbasis aset riil dan kerja sama produktif.[29] Namun, sistem ekonomi konvensional tetap dominan karena didukung oleh infrastruktur global yang sudah mapan dan kuat, meskipun penuh anomali moral dan krisis nilai.

Salah satu tantangan mendasar dalam sistem konvensional adalah absennya orientasi spiritual dan etika dalam arsitektur ekonomi. Manusia diposisikan semata sebagai subjek ekonomi, bukan sebagai makhluk sosial dan spiritual yang memiliki tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya. Akibatnya, muncul konsumerisme ekstrem, eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali, dan ketimpangan struktural antara negara maju dan negara berkembang. Dalam konteks ini, transformasi ekonomi syariah menawarkan alternatif yang menjembatani antara kemajuan teknologi dan prinsip moral, serta menjaga keharmonisan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan.[30]

Di era digital, sistem ekonomi konvensional juga menghadapi tantangan baru: monopoli data dan kekuasaan algoritma oleh korporasi global. Perusahaan teknologi besar seperti Google, Amazon, dan Meta tidak hanya menguasai pasar, tetapi juga mendikte perilaku ekonomi masyarakat dunia melalui manipulasi data dan algoritma tersembunyi. Kapitalisme digital ini menciptakan bentuk baru dari kolonialisme ekonomi, di mana negara-negara berkembang hanya menjadi pasar konsumtif tanpa kendali atas kedaulatan datanya sendiri.[31]

Ekonomi syariah, apabila mampu dikembangkan secara integratif dengan teknologi digital, memiliki peluang besar untuk mengisi kekosongan etika dalam sistem ekonomi global. Dengan prinsip keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial, ekonomi syariah dapat tampil sebagai model ekonomi alternatif yang lebih humanistik dan berkelanjutan. Namun, ini hanya bisa tercapai jika seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, lembaga keuangan, ulama, dan pelaku industri—bekerja sama dalam membangun sistem yang tidak hanya sharia-compliant, tetapi juga sharia-based dalam substansi dan praktik[32]

Oleh karena itu, penting untuk melihat transformasi ekonomi syariah di era digital bukan sekadar sebagai adaptasi teknologi, melainkan sebagai upaya merombak paradigma lama yang telah terbukti gagal dalam menciptakan kesejahteraan universal. Inilah tantangan sekaligus peluang besar bagi dunia Islam untuk menampilkan peradaban ekonomi baru yang adil, etis, dan progresif.

Penutup

Bab ini telah menguraikan konteks besar yang melatarbelakangi transformasi ekonomi syariah di era digital. Dimulai dari pembahasan mengenai revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 yang menandai perubahan paradigma global dalam struktur ekonomi dan sosial, kemudian dilanjutkan dengan gambaran peluang dan disrupsi dari transformasi digital, hingga bagaimana negara-negara Muslim menghadapi digitalisasi ekonomi dalam kerangka nilai-nilai Islam. Terakhir, ditampilkan kritik terhadap sistem ekonomi konvensional yang semakin kehilangan arah etika dan keadilan dalam mengejar pertumbuhan.

Dalam semua uraian tersebut, satu benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa era digital bukan hanya sebuah perubahan teknologi, tetapi sebuah tantangan paradigma. Ekonomi syariah tidak bisa lagi hanya menjadi sistem alternatif yang berjalan lambat di pinggiran sistem global. Ia harus mampu mengambil posisi strategis dengan menawarkan nilai-nilai luhur Islam yang relevan dengan zaman: inklusi, keadilan, dan keberlanjutan.

Namun untuk itu, dibutuhkan kesiapan dari seluruh elemen umat Islam: mulai dari penguatan literasi digital dan keuangan syariah, pengembangan produk berbasis teknologi halal, hingga formulasi regulasi yang mendorong inovasi tanpa melanggar prinsip syariah. Transformasi ini bukan hanya mungkin, tetapi niscaya—jika semua pihak bersinergi membangun ekosistem ekonomi syariah yang berdaulat secara teknologi dan bermartabat secara spiritual.

Bab selanjutnya akan membahas dasar-dasar filosofis, teologis, dan prinsip ekonomi syariah sebagai fondasi utama untuk memahami bagaimana sistem ini bisa berkembang dalam konteks digital modern.

Daftar Referensi 

  • Billah, Mohd Ma’sum. Digitalization and the Future of Islamic Finance. Singapore: Palgrave Macmillan, 2021.
  • Chapra, M. Umer. Islam and the Economic Challenge. Leicester: Islamic Foundation, 1992.
  • Dinar Standard. State of the Global Islamic Economy Report 2022. Dubai: Dubai Islamic Economy Development Centre (DIEDC), 2022.
  • Huda, Nurul, dan Mohammad Adiwarman Azwar Karim. Ekonomi dan Keuangan Syariah dalam Era Digital. Jakarta: Kencana, 2021.
  • Ismal, Rifki. “Challenges and Opportunities of Islamic Fintech in Indonesia.” Islamic Finance Review Journal 4, no. 1 (2020): 77–80.
  • Ismal, Rifki. Islamic Banking in Indonesia: New Perspectives on Monetary and Financial Issues. Singapore: John Wiley & Sons, 2013.
  • Karim, Adiwarman A. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
  • Keidanren. Society 5.0: Co-creating the Future. Tokyo: Japan Business Federation, 2018.
  • Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia 2023. Jakarta: KNEKS, 2023.
  • Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC). Islamic Digital Economy Framework. Kuala Lumpur: MDEC, 2020.
  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Laporan Perkembangan Fintech Syariah di Indonesia. Jakarta: OJK, 2022.
  • OJK. Peta Jalan Pengembangan Fintech Syariah 2023–2027. Jakarta: OJK Institute, 2023.
  • Schwab, Klaus. The Fourth Industrial Revolution. Geneva: World Economic Forum, 2016.
  • Sholeh, Asrorun Ni’am. “Fintech Syariah dan Dinamika Hukum Islam.” Dalam Prosiding Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI, 2019.
  • Sholeh, Asrorun Ni’am. “Maqashid Syariah dan Etika Digital dalam Fintech Islam.” Dalam Hukum Islam dan Teknologi, diedit oleh Nurrohman et al. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Press, 2020.
  • Stiglitz, Joseph E. The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future. New York: W.W. Norton & Company, 2012.
  • Tapscott, Don. The Digital Economy: Rethinking Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence. 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2015.
  • Usmani, Muhammad Taqi. An Introduction to Islamic Finance. Karachi: Idaratul Ma’arif, 2000.
  • Yunus, Muhammad. A World of Three Zeros: The New Economics of Zero Poverty, Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions. New York: PublicAffairs, 2017.
  • Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs, 2019.


[1] Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 12–15

[2] Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 16–22

[3] Keidanren, Society 5.0: Co-creating the Future (Tokyo: Japan Business Federation, 2018), 3

[4] Rifki Ismal, Islamic Banking in Indonesia: New Perspectives on Monetary and Financial Issues (Singapore: John Wiley & Sons, 2013), 101–105

[5] Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice, 2nd ed. (Singapore: Wiley Finance, 2011), 33–34

[6] M. Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 225–228

[7] Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Laporan Perkembangan Fintech Syariah di Indonesia (Jakarta: OJK, 2022), 6–8.

[8] Muhammad Yunus, A World of Three Zeros: The New Economics of Zero Poverty, Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions (New York: PublicAffairs, 2017), 57–60

[9] Keidanren, Society 5.0: Co-creating the Future (Tokyo: Japan Business Federation, 2018), 4–6.

[10] Asrorun Niam Sholeh, "Fintech Syariah dan Dinamika Hukum Islam," dalam Prosiding Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI, 2019, 89

[11] Dinar Standard, State of the Global Islamic Economy Report 2022 (Dubai: DIEDC, 2022), 44–46

[12] Imran Hosein, The Future of Money in an Islamic Worldview (Kuala Lumpur: Masjid Dar al-Qur’an, 2018), 12–14

[13] Rifki Ismal, “Challenges and Opportunities of Islamic Fintech in Indonesia,” Islamic Finance Review Journal, Vol. 4, No. 1 (2020): 77–80

[14] Don Tapscott, The Digital Economy: Rethinking Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence, 2nd ed. (New York: McGraw-Hill, 2015), 18–22

[15] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 296–298

[16] Rifki Ismal, “Digital Transformation in Islamic Finance: Progress and Policy Challenges,” Journal of Islamic Monetary Economics and Finance 6, no. 1 (2020): 1–15

[17] Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Peta Jalan Pengembangan Fintech Syariah 2023–2027 (Jakarta: OJK Institute, 2023), 11–13

[18] Dinar Standard, Global Islamic Fintech Report 2021 (London: Elipses Group, 2021), 27–29

[19] Mohd Ma’sum Billah, Fintech in Islamic Finance: Theory and Practice (Singapore: Springer, 2019), 41–43

[20] Asrorun Ni’am Sholeh, "Maqashid Syariah dan Etika Digital dalam Fintech Islam," dalam Hukum Islam dan Teknologi, ed. Nurrohman et al. (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Press, 2020), 85–88

[21] Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC), Islamic Digital Economy Framework (Kuala Lumpur: MDEC, 2020), 7–9

[22] Dubai Islamic Economy Development Centre (DIEDC), State of the Global Islamic Economy Report 2022 (Dubai: DinarStandard, 2022), 33–36

[23] Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 (Jakarta: OJK, 2022), 18

[24] Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia 2023 (Jakarta: KNEKS, 2023), 21–23

[25] Nurul Huda dan Mohammad Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi dan Keuangan Syariah dalam Era Digital (Jakarta: Kencana, 2021), 79–82

[26] Mohd Ma’sum Billah, Digitalization and the Future of Islamic Finance (Singapore: Palgrave Macmillan, 2021), 52–56

[27] Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future (New York: W.W. Norton & Company, 2012), 23–25

[28] Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Karachi: Idaratul Ma’arif, 2000), 48–50

[29] Chapra, M. Umer, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 66–70

[30] Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 51–55

[31] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 108–110

[32] Ha-Joon Chang, 23 Things They Don’t Tell You About Capitalism (London: Penguin Books, 2010), 92–94

Comments

Postingan Populer

12 Ulama Indonesia yang Pemikirannya Diakui Dunia

Hadis Dha’if: Pengertian, Pembagian, dan Penggunaannya dalam Hujjah