Regulasi dan Legalitas Fintech Syariah

Pendahuluan

Fintech syariah sebagai bagian dari sistem keuangan nasional tidak dapat berkembang secara berkelanjutan tanpa landasan hukum dan regulasi yang kuat. Dalam ekosistem ekonomi Islam, aspek legalitas tidak hanya mencakup kepatuhan terhadap hukum positif negara, tetapi juga kesesuaian terhadap prinsip-prinsip syariah yang telah disepakati secara kolektif.[1]

Suber Gambar: Dreamina AI


Oleh karena itu, regulasi fintech syariah memerlukan pendekatan dual compliance: yaitu kepatuhan terhadap regulasi negara seperti yang diatur oleh OJK dan Bank Indonesia, serta kepatuhan terhadap fatwa dan kaidah fikih muamalah sebagaimana ditetapkan oleh DSN-MUI. Bab ini mengkaji secara sistematis aktor utama, regulasi spesifik, serta aspek perlindungan hukum yang melingkupi fintech syariah.

7.1 Peran OJK, BI, dan DSN-MUI

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Sebagai pengawas utama sektor jasa keuangan, OJK bertanggung jawab dalam memberikan izin operasional, mengawasi tata kelola, dan menerbitkan regulasi teknis terkait fintech. Sejak 2018, OJK telah mengeluarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), yang menjadi acuan utama fintech lending, termasuk fintech syariah.[2]

OJK juga menerapkan sistem sandbox regulatori, di mana perusahaan fintech syariah diuji coba dalam ruang terbatas sebelum memperoleh izin penuh. Sistem ini penting dalam menjembatani inovasi dengan stabilitas sektor keuangan.

Bank Indonesia (BI)

Bank Indonesia berperan mengatur aspek sistem pembayaran digital, termasuk QRIS Syariah, dompet digital, e-money halal, serta infrastruktur pembayaran yang mendukung transaksi berbasis akad syariah. BI turut memfasilitasi pengembangan standar halal pada sistem pembayaran melalui kerja sama dengan pelaku industri.[3]

Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

DSN-MUI memiliki mandat dalam mengeluarkan fatwa-fatwa muamalah kontemporer, termasuk untuk akad-akad fintech seperti wakalah, murabahah, musyarakah, hingga qardhul hasan. Tanpa fatwa yang jelas, inovasi teknologi dapat kehilangan arah syariah-nya. DSN juga bekerja sama dengan OJK dan lembaga keuangan syariah dalam menyusun pedoman operasional dan audit syariah digital.

7.2 Ketentuan Hukum dan Regulasi Khusus Fintech

Dalam konteks Indonesia, tidak ada UU khusus yang mengatur fintech syariah secara rinci, namun sejumlah regulasi berikut menjadi dasar operasional:

  • POJK No. 77/POJK.01/2016: dasar hukum fintech lending (termasuk syariah),
  • POJK No. 12/POJK.01/2021: pengawasan dan pengembangan inovasi teknologi sektor keuangan (Inovasi Keuangan Digital/IKD),
  • Fatwa DSN-MUI No. 117/DSN-MUI/II/2018: tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah,
  • UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, dan perubahannya pada UU No. 19 Tahun 2016: sebagai dasar transaksi elektronik dalam akad digital.[4]

Namun, masih ada kekosongan regulasi dalam hal:

  • Sertifikasi halal platform digital keuangan,
  • Penerapan akad hybrid (multi akad) dalam aplikasi,
  • Perlindungan pengguna dari non-sharia compliant risk.

7.3 Aspek Perlindungan Konsumen dan Data Pribadi

1. Pentingnya Perlindungan Konsumen dalam Fintech Syariah

Perlindungan konsumen merupakan aspek sentral dalam sistem keuangan syariah, yang tidak hanya berbasis pada hukum positif, tetapi juga pada prinsip ‘adalah (keadilan) dan maslahah (kemanfaatan).[5] Dalam konteks digital, konsumen fintech syariah rentan terhadap:

  • Penyalahgunaan data pribadi,
  • Ketidaktahuan terhadap akad digital yang dijalankan,
  • Praktik yang menyimpang dari prinsip syariah,
  • Risiko kerugian tanpa edukasi finansial yang memadai.

Prinsip arara wa lā irār (tidak merugikan dan tidak dirugikan) menjadi dasar moral untuk melindungi pengguna dalam seluruh transaksi berbasis aplikasi.

2. Regulasi Perlindungan Konsumen

Secara normatif, perlindungan konsumen fintech (termasuk syariah) dijamin melalui:

  • UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
  • UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE,
  • POJK No. 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan,
  • PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik,
  • UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).[6]

Bagi fintech syariah, perlindungan konsumen juga menyangkut perlindungan dari praktik akad yang tidak syar‘i, seperti akad bayangan (hidden contracts), penetapan margin secara tidak transparan, atau penggunaan data pribadi untuk tujuan non-halal.

3. Tantangan dalam Perlindungan Konsumen Fintech Syariah

Beberapa tantangan aktual di lapangan antara lain:

  • Minimnya literasi syariah pengguna, sehingga konsumen menyetujui akad tanpa memahami isinya,
  • Keterbatasan penegakan hukum terhadap pelanggaran digital, terutama bila pelaku berada di luar negeri,
  • Lemahnya integrasi antara prinsip fikih muamalah dengan mekanisme hukum perlindungan konsumen,
  • Ketimpangan informasi antara penyedia platform dan pengguna (information asymmetry).[7]

Kondisi ini diperparah oleh desain platform digital yang kompleks dan tidak menyajikan akad dalam bahasa sederhana yang bisa dipahami oleh semua kalangan.

4. Etika Syariah dan Perlindungan Data Pribadi

Perlindungan data dalam fintech syariah tidak hanya dilihat sebagai hak hukum, tetapi juga sebagai kewajiban moral dan spiritual. Islam sangat menekankan larangan menyebarluaskan informasi pribadi tanpa izin, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 12 dan hadis larangan tajassus (memata-matai).

Startup fintech syariah harus:

  • Mengembangkan kode etik pengelolaan data yang selaras dengan maqāid al-syarī‘ah,
  • Menerapkan prinsip amanah dalam menjaga data nasabah,
  • Menyediakan fitur consent dan withdrawal of consent yang transparan,
  • Tidak menggunakan data untuk kepentingan pihak ketiga tanpa izin eksplisit.

Dengan demikian, aspek perlindungan konsumen dan data pribadi merupakan dimensi integral dari halalness digital, bukan hanya formalitas regulasi.[8]

7.4 Legal Tech dan Hukum Ekonomi Syariah Digital

1. Pengertian Legal Tech dalam Konteks Syariah

Legal Technology (Legal Tech) merujuk pada penggunaan teknologi untuk mempermudah, mengotomatisasi, dan meningkatkan efisiensi dalam praktik hukum. Dalam konteks ekonomi syariah digital, legal tech digunakan untuk:

  • Membuat sistem akad digital berbasis smart contract,
  • Menyediakan template akad halal secara otomatis,
  • Mengelola audit kepatuhan syariah,
  • Menyediakan layanan konsultasi hukum syariah berbasis AI.

Penerapan legal tech memungkinkan pelaku fintech syariah untuk menjalankan transaksi secara cepat dan efisien, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip fikih muamalah.[9]

2. Penggunaan Smart Contract dan Blockchain

Salah satu implementasi legal tech yang paling berkembang adalah smart contract—yaitu kontrak digital yang secara otomatis mengeksekusi isi perjanjian berdasarkan kode. Dalam ekonomi syariah, smart contract dapat digunakan untuk:

  • Menjalankan akad murabahah secara otomatis saat seluruh syarat terpenuhi,
  • Mengelola wakaf uang atau zakat digital dengan transparansi berbasis blockchain,
  • Menghindari manipulasi atau ketidakjelasan akad (gharar),
  • Memberikan jejak hukum digital (digital trail) yang bisa diaudit oleh DPS.[10]

Namun, penerapan smart contract dalam ekonomi syariah masih perlu penyesuaian. Misalnya, smart contract harus dapat menampung unsur ijab-qabul, niat, dan syarat-syarat yang tidak sekadar algoritmis, tetapi juga normatif religius.

3. Penguatan Infrastruktur Hukum Digital Syariah

Legal tech dalam hukum ekonomi Islam menuntut infrastruktur hukum yang adaptif. Beberapa prasyarat yang perlu diperkuat di Indonesia antara lain:

  • Harmonisasi hukum nasional dengan fikih muamalah digital,
  • Lembaga sertifikasi akad digital berbasis syariah,
  • Penyusunan UU Khusus Ekonomi Digital Syariah,
  • Pelatihan DPS dalam teknologi hukum (sharia legal tech).

Penguatan ini dapat menjawab gap antara kecepatan inovasi teknologi dan lambannya respons hukum positif serta fatwa syariah.

4. Tantangan dan Etika Legal Tech Syariah

Meskipun menjanjikan efisiensi, penggunaan legal tech menghadapi tantangan etis dan filosofis dalam konteks syariah, antara lain:

  • Apakah sistem berbasis algoritma dapat memahami niat (niyyah) dan rukhah dalam hukum Islam?
  • Bagaimana menghadapi dispute resolution jika kontrak dijalankan otomatis tanpa mediator?
  • Bagaimana mengintegrasikan maqāid al-syarī‘ah ke dalam kode perangkat lunak?

Karena itu, penting bagi para pengembang aplikasi, ulama, dan regulator untuk duduk bersama merumuskan kerangka hukum digital Islami yang tidak hanya legal secara formal, tetapi juga bernilai ibadah dan keadilan substansial.[11]

Penutup Bab 7

Perkembangan fintech syariah tidak dapat dilepaskan dari kekuatan regulasi dan kepastian hukum. Dalam era digital yang penuh disrupsi, kehadiran OJK, BI, dan DSN-MUI sebagai pilar regulatif sangat menentukan arah pertumbuhan fintech syariah yang sehat, aman, dan sesuai prinsip Islam.

Namun demikian, tantangan besar masih menghantui, mulai dari inkonsistensi regulasi antara teknologi dan fikih, belum tersedianya kerangka hukum khusus digital syariah, hingga lemahnya perlindungan terhadap hak konsumen dan data pribadi. Selain itu, adopsi legal tech sebagai alat bantu hukum syariah masih memerlukan landasan normatif yang lebih mendalam dan inklusif terhadap nilai-nilai Islam.

Dalam menghadapi kompleksitas ini, diperlukan langkah progresif dan kolaboratif antara regulator, pelaku usaha, ulama, dan akademisi. Regulasi tidak cukup hanya berbentuk aturan administratif, tetapi juga harus mampu menjadi pijakan etis dan maqāsid-sentris yang menjaga ruh keadilan, transparansi, dan keberkahan dalam setiap inovasi digital yang dijalankan.

Daftar Pustaka Bab 7

  • Bank Indonesia. Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Jakarta: Bank Indonesia, 2020.
  • DSN-MUI. Kumpulan Fatwa Muamalah Kontemporer. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2022.
  • ISRA. Digital Ethics in Islamic Finance. Kuala Lumpur: ISRA, 2023.
  • ISRA. Islamic LegalTech and Shariah Compliance in the Digital Era. Kuala Lumpur: ISRA Research Series, 2023.
  • Kementerian Komunikasi dan Informatika. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi No. 27 Tahun 2022. Jakarta: Kominfo, 2022.
  • Nurhayati, Sri. Etika Digital dalam Muamalah Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat, 2023.
  • OJK. Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI. Jakarta: OJK, 2016.
  • OJK. Pedoman Perlindungan Konsumen Fintech Lending Syariah. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2023.
  • Salman Syed Ali. Fintech in Islamic Finance: Theory and Practice. Jeddah: IRTI, 2021.
  • Usmani, Muhammad Taqi. An Introduction to Islamic Finance. Karachi: Idaratul Ma’arif, 2002.


[1] Usmani, Muhammad Taqi. An Introduction to Islamic Finance. Karachi: Idaratul Ma’arif, 2002, 110

[2] OJK. Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI. Jakarta: OJK, 2016

[3] Bank Indonesia. Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Jakarta: BI, 2020

[4] DSN-MUI. Kumpulan Fatwa Muamalah Kontemporer. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2022

[5] Nurhayati, Sri. Etika Digital dalam Muamalah Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat, 2023, 61

[6] Kementerian Komunikasi dan Informatika. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi No. 27 Tahun 2022. Jakarta: Kominfo, 2022

[7] OJK. Pedoman Perlindungan Konsumen Fintech Lending Syariah. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2023

[8] ISRA. Digital Ethics in Islamic Finance. Kuala Lumpur: ISRA, 2023

[9] ISRA. Islamic LegalTech and Shariah Compliance in the Digital Era. Kuala Lumpur: ISRA Research Series, 2023

[10] Salman Syed Ali. Fintech in Islamic Finance: Theory and Practice. Jeddah: IRTI, 2021, 123–125

[11] Nurhayati, Sri. Etika Digital dalam Muamalah Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat, 2023, 92–95 

Comments