Komunikasi Islami: Menyentuh Hati, Membimbing Jiwa

 

Sumber Gambar: AI

Pendahuluan

Dalam ajaran Islam, komunikasi tidak hanya dipandang sebagai alat pertukaran informasi, melainkan sebagai sarana transformatif yang memiliki nilai spiritual dan moral. Salah satu fungsi utama komunikasi dalam Islam adalah sebagai media bimbingan dan dakwah, yakni mengajak umat manusia menuju kebenaran, menumbuhkan kesadaran keagamaan, serta membentuk akhlak yang mulia. Dakwah sebagai misi besar dalam Islam tidak dapat berjalan tanpa komunikasi yang efektif, bijaksana, dan menyentuh hati. Oleh karena itu, setiap bentuk komunikasi dalam Islam harus dilandasi dengan prinsip hikmah (kebijaksanaan), mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik), dan keteladanan akhlak. Baik dalam lingkup keluarga, pendidikan, masyarakat, maupun media digital, komunikasi yang membimbing menjadi bagian integral dari proses pembinaan umat. Dengan pendekatan yang humanistik dan edukatif, komunikasi Islam berfungsi bukan hanya untuk menyampaikan ajaran, tetapi juga untuk membina jiwa, memperbaiki akhlak, serta mempererat solidaritas sosial.

3.1 Komunikasi sebagai Sarana Bimbingan dan Dakwah

Dalam Islam, komunikasi memiliki fungsi penting sebagai sarana bimbingan dan dakwah. Fungsi ini tidak hanya berkaitan dengan penyampaian ajaran agama, tetapi juga mencakup pembinaan akhlak, penyuluhan moral, serta penguatan iman dan spiritualitas umat. Komunikasi yang bersifat membimbing sangat penting dalam menciptakan masyarakat yang sadar nilai, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab secara sosial maupun spiritual.[1]

Dakwah sendiri dalam pengertian bahasa berasal dari kata da‘ā–yad‘ū, yang berarti memanggil, menyeru, atau mengajak. Dalam konteks Islam, dakwah adalah proses mengajak manusia kepada jalan Allah melalui metode yang bijak, lembut, dan menyentuh hati.[2] Oleh karena itu, komunikasi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari misi dakwah. Komunikasi bukan sekadar alat, tetapi menjadi inti dari proses dakwah itu sendiri.

Al-Qur’an menegaskan pentingnya pendekatan komunikatif yang penuh hikmah dalam menyeru manusia kepada kebenaran. Firman Allah SWT: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (Q.S. An-Nahl: 125).[3] Ayat ini menggarisbawahi bahwa bimbingan melalui komunikasi harus dilakukan secara persuasif, bukan memaksa; membangun, bukan menjatuhkan.

Rasulullah SAW dalam aktivitas dakwahnya selalu mengedepankan pendekatan humanistik dan dialogis. Beliau tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan dan memahami kondisi umat. Dalam berbagai kesempatan, Nabi lebih memilih pendekatan mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik), serta menanamkan pemahaman melalui kisah-kisah, perumpamaan, dan keteladanan.[4] Ini menjadi contoh bahwa komunikasi Islami bukan monolog yang dogmatis, melainkan dialog yang edukatif.

Fungsi bimbingan dalam komunikasi Islam juga mencakup pendekatan spiritual dan moral. Komunikasi yang baik dapat membangkitkan kesadaran ruhani, menenangkan jiwa, serta menumbuhkan semangat untuk memperbaiki diri. Ucapan yang menyejukkan, ajakan kepada sabar, syukur, dan tobat merupakan bentuk bimbingan yang menghidupkan nurani.[5] Di sinilah peran komunikator Muslim untuk tidak hanya menyampaikan pesan agama secara informatif, tetapi juga menyentuh hati secara emosional dan spiritual.

Selain itu, komunikasi bimbingan dalam Islam dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik, memberikan nasihat pernikahan, membimbing anak muda, dan membangun solidaritas sosial. Semua itu harus dilakukan dengan niat ikhlas, bahasa yang baik, serta sikap terbuka dan empatik terhadap kondisi mad‘u (objek dakwah).[6]

Dengan demikian, fungsi bimbingan dalam komunikasi Islam menuntut bukan hanya pengetahuan, tetapi juga akhlak mulia, empati sosial, dan kepekaan spiritual. Komunikasi Islami adalah seni menyampaikan kebenaran dengan cara yang paling indah, sehingga tidak hanya dipahami, tetapi juga diterima dan diamalkan.

3.2 Prinsip Hikmah dan Mau‘izhah Hasanah dalam Penyampaian

Dalam komunikasi Islam, terdapat dua prinsip utama yang sangat dianjurkan dalam proses bimbingan, yaitu hikmah (kebijaksanaan) dan mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik). Kedua prinsip ini merupakan landasan etik sekaligus metodologi yang membedakan komunikasi Islami dari komunikasi biasa. Prinsip ini tercermin dalam ayat yang sering dijadikan rujukan dalam dunia dakwah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (Q.S. An-Nahl: 125).[7]

Hikmah dalam komunikasi berarti kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan mempertimbangkan waktu, tempat, konteks sosial, dan kondisi psikologis audiens. Komunikator Muslim tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga memastikan bahwa kebenaran itu disampaikan secara bijaksana, tidak menyakiti, dan mudah diterima.[8] Seorang komunikator yang memiliki hikmah tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam, serta mampu membedakan antara konteks yang memerlukan ketegasan dan situasi yang membutuhkan kelembutan.

Contoh penerapan hikmah dalam kehidupan Rasulullah SAW terlihat saat beliau berhadapan dengan para pemuka Quraisy. Meskipun menghadapi perlakuan kasar, penghinaan, bahkan ancaman, Nabi tetap mengedepankan sikap bijak dan tidak membalas dengan kebencian. Ketika seseorang berkata buruk, beliau menjawab dengan senyum atau diam.[9] Sikap seperti ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral yang menunjukkan kontrol diri dan kematangan spiritual.

Mau‘izhah hasanah, di sisi lain, bermakna nasihat yang baik, menyentuh hati, dan menggugah kesadaran. Ini tidak sama dengan nasihat yang kasar atau menggurui. Nasihat yang baik dalam Islam disampaikan dengan bahasa yang lembut, penuh kasih sayang, dan berorientasi pada perubahan yang positif, bukan menyudutkan atau mempermalukan.[10] Rasulullah SAW sering menggunakan kisah, tamsil (perumpamaan), dan pertanyaan reflektif untuk menyampaikan pelajaran moral, yang membuat audiens merasa terlibat dan tidak tertekan.

Sebagai contoh, dalam suatu kesempatan, Rasulullah memberikan bimbingan kepada seorang pemuda yang ingin meminta izin berzina. Alih-alih langsung memarahinya, Nabi mengajak pemuda tersebut berpikir: “Apakah engkau rela ibumu, saudara perempuanmu, atau anak perempuanmu diperlakukan demikian?” Setelah itu, Nabi meletakkan tangannya di dada pemuda itu dan mendoakannya. Pemuda itu pun mengurungkan niatnya.[11] Inilah bentuk mau‘izhah hasanah yang membekas dalam hati dan mendorong perubahan perilaku.

Dengan memegang teguh prinsip hikmah dan mau‘izhah hasanah, komunikasi Islam dalam fungsi bimbingan akan jauh lebih efektif. Ia tidak hanya menyentuh akal, tetapi juga hati; tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga transformatif. Prinsip ini sangat relevan dalam konteks masyarakat modern yang plural dan kritis, di mana pendekatan yang manusiawi dan empatik menjadi kebutuhan utama dalam menyampaikan nilai-nilai kebenaran.[12]

3.3 Komunikasi yang Membangun Akhlak dan Moral

Salah satu tujuan utama komunikasi dalam Islam adalah membentuk manusia yang berakhlak mulia. Ajaran Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (habl min Allah), tetapi juga hubungan sosial antarindividu (habl min al-nas). Komunikasi menjadi sarana untuk menginternalisasi dan menyebarkan nilai-nilai akhlak dan moral tersebut secara sistematis, baik melalui dakwah, pendidikan, maupun interaksi sehari-hari.

Akhlak yang baik bukan hanya hasil dari pembelajaran teoritis, tetapi juga buah dari pembiasaan melalui komunikasi yang menanamkan nilai kejujuran, kesabaran, kasih sayang, rendah hati, dan tanggung jawab.[13] Dalam Islam, kata-kata dianggap sebagai cermin hati dan indikator akhlak seseorang. Rasulullah SAW bersabda: *“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”[14] Hadis ini menunjukkan bahwa komunikasi bukan sekadar kemampuan bicara, tetapi juga penunjuk kualitas iman dan moralitas.

Komunikasi membangun akhlak berarti menggunakan kata-kata yang positif, membangun, dan tidak menyakiti. Hindari ucapan yang mengandung celaan (ghibah), fitnah, kebohongan, dan ujaran kebencian. Islam sangat menekankan qaulan ma’rufan (perkataan yang baik) dan qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut) dalam setiap bentuk komunikasi, baik secara personal maupun sosial.[15]

Dalam proses pendidikan, komunikasi yang membangun moral tercermin dalam metode pengajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai akhlak dengan materi pelajaran. Seorang guru atau pendakwah tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menjadi teladan dalam tutur kata, sikap, dan etika interaksi. Hal ini sejalan dengan konsep ta’dib dalam pendidikan Islam, yaitu pendidikan yang bertujuan menciptakan manusia berilmu dan beradab.[16]

Dalam konteks keluarga dan masyarakat, komunikasi yang etis akan menciptakan hubungan sosial yang harmonis dan saling menghargai. Ucapan salam, nasihat yang lembut, dan peringatan yang bijaksana merupakan bentuk komunikasi kecil yang memiliki dampak besar dalam membentuk budaya masyarakat yang penuh kasih dan tanggung jawab.[17]

Komunikasi yang membangun akhlak juga harus dilandasi oleh niat yang ikhlas, bukan untuk mencari pujian atau menggurui. Komunikasi semacam ini akan lebih mudah diterima, karena berasal dari ketulusan hati dan keinginan untuk menebar kebaikan. Sebaliknya, komunikasi yang dibalut kesombongan atau kepentingan duniawi justru berpotensi merusak niat baik yang ada di balik pesan.[18]

Dalam Islam, keberhasilan komunikasi tidak hanya diukur dari banyaknya orang yang mendengar atau merespons pesan, tetapi dari seberapa dalam pesan itu mampu menyentuh hati dan mengubah perilaku menjadi lebih baik. Dengan demikian, komunikasi yang membangun akhlak adalah wujud dari dakwah yang hidup, pendidikan yang menyentuh, dan interaksi sosial yang bermakna.

3.4 Praktik Bimbingan Islami dalam Kehidupan Sehari-hari

Bimbingan dalam komunikasi Islam bukan hanya konsep ideal yang bersifat teoretis, tetapi merupakan praktik nyata yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap dimensi kehidupan sosial, pendidikan, keagamaan, dan bahkan dalam dunia kerja, komunikasi Islami yang bersifat membimbing dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan persoalan moral, spiritual, dan sosial yang dihadapi umat.

Dalam keluarga, praktik bimbingan Islami tercermin melalui nasihat orang tua kepada anak-anak, baik dalam bentuk komunikasi langsung maupun teladan perilaku. Misalnya, membimbing anak untuk melaksanakan salat, membaca Al-Qur’an, berkata sopan, dan bersikap jujur. Rasulullah SAW bersabda: *“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan salat ketika mereka berumur tujuh tahun…”[19] Ini merupakan bentuk bimbingan berjenjang yang dimulai dari usia dini, menggunakan pendekatan kasih sayang dan komunikasi persuasif.

Di lingkungan pendidikan, praktik bimbingan Islami dilakukan oleh guru, ustaz, atau pendidik lainnya yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menyisipkan nilai-nilai adab, akhlak, dan keteladanan dalam setiap interaksi. Guru tidak hanya menjadi penyampai pengetahuan, tetapi juga pembimbing spiritual dan moral.[20] Komunikasi antara guru dan siswa yang dilandasi oleh penghormatan, empati, dan keterbukaan akan membentuk lingkungan belajar yang bermartabat dan mendidik.

Dalam masyarakat, praktik bimbingan Islami dilakukan melalui kegiatan dakwah, ceramah, diskusi keagamaan, bahkan dalam percakapan sehari-hari antarwarga. Umat Islam dianjurkan untuk saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran, sebagaimana yang termaktub dalam Surah Al-‘Ashr.[21] Menyampaikan kebenaran dengan cara yang santun, tanpa merendahkan atau menyalahkan orang lain, merupakan ciri khas komunikasi bimbingan yang efektif dan mendidik.

Dalam dunia kerja dan organisasi, bimbingan Islami dapat diterapkan dalam bentuk kepemimpinan yang adil, komunikasi yang transparan, serta etika profesional yang sesuai syariat. Seorang pemimpin Muslim dituntut untuk mampu membimbing bawahannya, memberi arahan yang jelas, dan menegur dengan cara yang tidak menjatuhkan. Rasulullah SAW sebagai pemimpin memberi contoh bagaimana beliau membina para sahabatnya dengan dialog, musyawarah, dan penghargaan terhadap pendapat.[22]

Media sosial dan teknologi digital juga menjadi ruang penting untuk menerapkan komunikasi bimbingan. Di era digital ini, pesan-pesan Islami dapat disampaikan melalui konten edukatif, motivasi, kajian daring, atau diskusi keagamaan yang sehat. Namun, penting untuk tetap menjaga etika, tidak menyebarkan kebencian, dan menggunakan platform tersebut sebagai sarana pembinaan umat secara konstruktif.[23]

Secara keseluruhan, bimbingan Islami dalam kehidupan sehari-hari menuntut kesadaran akan peran setiap Muslim sebagai komunikator nilai. Tidak semua orang menjadi ustaz, tetapi setiap Muslim adalah da’i bagi sekitarnya. Dengan kata lain, komunikasi Islami yang membimbing adalah bagian dari ibadah yang terus-menerus dilakukan dalam berbagai peran dan ruang kehidupan.

Kesimpulan 

Komunikasi dalam Islam memiliki peran sentral sebagai sarana bimbingan dan dakwah yang membentuk pribadi beriman, berakhlak, dan bertanggung jawab. Melalui komunikasi yang dilakukan dengan hikmah dan mau‘izhah hasanah, nilai-nilai Islam dapat ditanamkan secara efektif dan menyentuh aspek spiritual maupun moral umat. Fungsi bimbingan dalam komunikasi Islami mencakup berbagai aspek kehidupan—keluarga, pendidikan, masyarakat, dan media—dengan tujuan membangun kesadaran ruhani, menyelesaikan konflik, dan menanamkan nilai adab secara berkelanjutan. Keteladanan Rasulullah SAW menjadi acuan utama dalam menerapkan komunikasi yang membina dan menyentuh hati. Komunikasi yang membangun tidak hanya berfokus pada isi pesan, tetapi juga cara penyampaiannya yang penuh kasih, empatik, dan bermartabat. Oleh karena itu, setiap Muslim dituntut untuk menjadi komunikator yang tidak hanya menyampaikan kebaikan, tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan komunikasi sebagai bagian dari ibadah dan jalan dakwah yang berkelanjutan.

Referensi


[1] Ali Audah, Muhammad: Manusia Seutuhnya (Jakarta: Gema Insani, 2002), 175

[2] Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah (Jakarta: Gema Insani, 2000), 23

[3] Al-Qur’an, Surah An-Nahl, ayat 125

[4] Ahmad Zaini, “Pendekatan Humanistik dalam Komunikasi Dakwah Nabi Muhammad SAW,” Jurnal Komunikasi Islam 10, no. 2 (2022): 30–35

[5] Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah: Ar-Raheeq al-Makhtum (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 197–201

[6] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2000), 145

[7] Al-Qur’an, Surah An-Nahl, ayat 125

[8] Yusuf Al-Qaradawi, Adab al-Hiwar fi al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), 29–30

[9] Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum: Sirah Nabawiyah (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyah, 2005), 215

[10] Ahmad Zaini, “Pendekatan Edukatif dalam Komunikasi Islam,” Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam 12, no. 1 (2022): 45–48

[11] Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis No. 22211

[12] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 289

[13] M. Amin Abdullah, Etika Tauhidik: Pandangan Islam tentang Akhlak Sosial dan Pendidikan (Yogyakarta: LKiS, 2004), 72–73

[14] Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, Hadis No. 6018

[15] Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah, ayat 263 dan Surah Taha, ayat 44

[16] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 147.

[17] Ahmad Zaini, “Komunikasi Islami sebagai Instrumen Pembentukan Akhlak Sosial,” Jurnal Pendidikan Islam 9, no. 1 (2021): 58–61

[18] Jalaluddin, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 121

[19] Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Salat, Hadis No. 495

[20] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 133–135

[21] Al-Qur’an, Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum: Sirah Nabawiyah (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyah, 2005), 285Surah Al-‘Ashr, ayat 1–3

[22] Hasanuddin, “Komunikasi Dakwah di Era Digital: Antara Tantangan dan Peluang,” Jurnal Media Islam 6, no. 1 (2021): 70–75

[23] Ahmad Zaini, “Komunikasi Islam dalam Pembinaan Sosial Masyarakat,” Jurnal Komunikasi Islam 11, no. 2 (2022): 89–93


Comments

Postingan Populer

Bahagia dalam Pernikahan? Mulai Dulu dari Diri Sendiri

Mengapa Sound Horeg Dalam Islam Dinilai Haram? 3 Pertimbangan Syariat yang Harus Kamu Tahu

Hiburan dalam Islam: Antara Komunikasi, Edukasi, dan Kesehatan Jiwa