![]() |
| Sumber Gambar: Website Istimewa |
Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah
mendorong dunia memasuki babak baru revolusi industri yang dikenal sebagai Revolusi
Industri 4.0, dan dalam beberapa konteks mutakhir berkembang pula menjadi Society
5.0.[1]
Era ini ditandai oleh konektivitas masif antara manusia, data, dan mesin, serta
meningkatnya pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence),
internet of things (IoT), blockchain, dan sistem otomatisasi dalam berbagai
lini kehidupan, termasuk dalam sektor ekonomi dan keuangan.[2]
Transformasi ini membawa implikasi yang mendalam terhadap sistem ekonomi
global, termasuk ekonomi syariah, yang dituntut untuk beradaptasi dengan
pola-pola digitalisasi dan inovasi keuangan modern seperti financial
technology (fintech).[3]
Di tengah akselerasi digital, ekonomi syariah menghadapi
tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, nilai-nilai etis yang melekat dalam
ekonomi Islam, seperti transparansi, keadilan, dan keberlanjutan, menjadi
semakin relevan dalam merespons krisis global yang ditimbulkan oleh sistem
kapitalis.[4]
Di sisi lain, ekonomi syariah juga ditantang untuk merumuskan ulang pendekatan,
instrumen, dan tata kelola agar mampu bersaing secara adil dan inklusif di
tengah arus digitalisasi.[5]
Dalam konteks ini, fintech syariah muncul sebagai
entitas baru yang menjanjikan akselerasi inklusi keuangan berbasis
prinsip-prinsip Islam. Namun, perkembangan tersebut tidak serta merta berjalan
mulus, karena banyak aspek yang membutuhkan penyesuaian, baik dari sisi
regulasi, landasan fikih muamalah, hingga kesadaran masyarakat muslim sebagai
pengguna. Oleh karena itu, pemahaman komprehensif mengenai relasi antara
transformasi digital dan ekonomi syariah menjadi kebutuhan akademis dan praktis
yang sangat penting pada era ini.[6]
Bab ini akan menguraikan secara sistematis tentang kondisi
dan tantangan di era digital, khususnya terkait dengan Revolusi Industri 4.0
dan 5.0, transformasi ekonomi digital di negara-negara muslim, serta relevansi
dan kritik terhadap sistem ekonomi konvensional.[7]
Dengan demikian, pembaca akan memiliki pemahaman awal mengenai konteks besar
dari transformasi ekonomi syariah yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya.
1.1 Era Revolusi Industri 4.0 dan 5.0
Revolusi Industri 4.0 merupakan fase transformasi ekonomi
dan sosial yang dipicu oleh integrasi teknologi canggih ke dalam sistem
produksi dan kehidupan sehari-hari.[8]
Ciri khas dari fase ini adalah otomatisasi yang didukung oleh cyber-physical
systems, pemanfaatan big data, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of
Things (IoT) yang memungkinkan mesin dan perangkat saling berkomunikasi secara
real time. Konsep ini menandai lompatan besar dari Revolusi Industri 3.0 yang
lebih berfokus pada komputerisasi dan otomatisasi berbasis perangkat lunak
konvensional.[9]
Dalam konteks Revolusi Industri 4.0, sektor ekonomi
mengalami pergeseran paradigma yang sangat mendalam. Aktivitas perdagangan,
keuangan, dan jasa kini tidak lagi terbatas pada batas-batas fisik dan waktu.
Teknologi seperti blockchain mengubah cara pencatatan transaksi menjadi
lebih transparan dan tidak bisa dimanipulasi.[10]
Sementara itu, penggunaan AI dalam analisis keuangan memungkinkan efisiensi dan
akurasi tinggi dalam pengambilan keputusan bisnis. Semua ini memberi pengaruh
besar pada dunia keuangan, termasuk sistem keuangan syariah yang harus mulai
menyesuaikan prinsip-prinsip Islam dengan dinamika digital yang bergerak cepat.
Di sisi lain, Jepang mengenalkan konsep Society 5.0
sebagai bentuk penyempurnaan dari Revolusi Industri 4.0.[11]
Konsep ini tidak hanya menitikberatkan pada kemajuan teknologi, tetapi juga
mengedepankan kemanusiaan sebagai pusat inovasi. Society 5.0 menekankan
pentingnya menciptakan masyarakat yang seimbang antara kemajuan teknologi dan
nilai-nilai sosial, spiritual, serta etika kemanusiaan.[12]
Dalam kerangka ini, konsep ekonomi syariah mendapat ruang yang ideal karena
menawarkan keseimbangan antara kebutuhan materi dan spiritual, serta menjunjung
tinggi keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif.
Perkembangan dua fase ini—Revolusi Industri 4.0 dan Society
5.0—menjadi peluang besar bagi ekonomi syariah untuk melakukan lompatan
inovatif, dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip ajaran Islam.[13]
Namun demikian, adaptasi ini menuntut kapasitas literasi digital, kemampuan
pengembangan teknologi halal, serta regulasi yang responsif terhadap
perkembangan zaman.
1.2 Transformasi Digital: Peluang dan Disrupsi
Transformasi
digital merupakan perubahan fundamental dalam cara organisasi, bisnis, dan
masyarakat menjalankan aktivitas ekonomi melalui adopsi teknologi digital.[14] Proses ini tidak sekadar menyangkut
penggunaan perangkat digital, tetapi juga mencakup restrukturisasi model
bisnis, pola konsumsi, mekanisme distribusi, dan tata kelola keuangan secara
menyeluruh.[15]
Dalam ranah ekonomi, transformasi digital telah melahirkan berbagai inovasi
disruptif seperti dompet digital, peer-to-peer (P2P) lending, crowdfunding,
aset kripto, hingga sistem pembayaran tanpa bank tradisional.[16]
Bagi ekonomi syariah, transformasi digital menjadi ladang
baru yang menjanjikan. Melalui teknologi, nilai-nilai universal Islam seperti
inklusi, keadilan sosial, dan keberlanjutan dapat diterapkan secara lebih
efisien dan luas. Contohnya, kehadiran fintech syariah dapat menjangkau
masyarakat yang sebelumnya tidak terakses layanan keuangan formal, seperti
pelaku UMKM di pedesaan atau komunitas pesantren. Bahkan, melalui sistem
digital, pengumpulan zakat, infaq, dan wakaf (ZISWAF) dapat dilakukan secara real-time
dan transparan, meningkatkan kepercayaan publik dan efektivitas distribusi dana
sosial Islam.[17]
Namun demikian, transformasi digital juga membawa disrupsi
yang signifikan. Perusahaan-perusahaan konvensional yang tidak beradaptasi
dengan perubahan cepat ini berisiko kehilangan pasar. Model bisnis yang
sebelumnya mapan bisa tergantikan oleh platform digital yang lebih efisien,
murah, dan mudah diakses. Dalam konteks ekonomi syariah, tantangan ini mencakup
kebutuhan akan pengembangan akad-akad syariah yang sesuai dengan konteks
digital, keharusan penyusunan regulasi yang responsif, dan pentingnya meningkatkan
kapasitas sumber daya manusia agar melek digital sekaligus paham
prinsip-prinsip syariah.[18]
Fenomena disrupsi digital juga memunculkan berbagai dilema
etika, seperti eksploitasi data pribadi, penyebaran informasi hoaks, serta
spekulasi dan manipulasi pasar digital yang merusak stabilitas keuangan. Hal
ini menuntut ekonomi syariah untuk tidak sekadar mengadopsi teknologi, tetapi
juga memberi arah etis terhadap pemanfaatannya. Pendekatan ini sejalan dengan
cita-cita Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, yang tidak hanya menekankan
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan, keseimbangan, dan perlindungan
terhadap semua pihak, khususnya yang lemah dan rentan.[19]
Dengan demikian, transformasi digital membawa dua sisi mata
uang: peluang besar untuk inovasi dan pemberdayaan, tetapi juga risiko disrupsi
dan penyimpangan nilai. Tantangan terbesar bagi ekonomi syariah ke depan adalah
bagaimana mengarahkan transformasi digital ini agar tetap dalam koridor
maqashid syariah—melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—dalam
bingkai kemajuan teknologi.[20]
1.3 Digitalisasi Ekonomi di Negara Muslim
Negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim menunjukkan
dinamika yang sangat beragam dalam menghadapi era digitalisasi ekonomi.
Beberapa di antaranya telah menjadi pionir dalam mengintegrasikan
prinsip-prinsip Islam ke dalam sistem keuangan digital, sementara lainnya masih
berada pada tahap awal transformasi akibat keterbatasan infrastruktur digital,
kebijakan publik, dan kapasitas sumber daya manusia.[21]
Meski demikian, terdapat tren global yang menunjukkan bahwa ekonomi digital
berbasis syariah memiliki potensi besar untuk berkembang di dunia Muslim,
khususnya karena kesesuaian nilai-nilai Islam dengan prinsip transparansi,
keadilan, dan inklusi yang menjadi fondasi teknologi digital modern.
Malaysia, misalnya, telah menempatkan dirinya sebagai
pemimpin dalam pengembangan ekosistem keuangan syariah digital. Pemerintah
Malaysia melalui Bank Negara dan Suruhanjaya Sekuriti Malaysia secara aktif
mendorong inovasi keuangan berbasis syariah melalui sandbox regulasi dan
insentif bagi startup fintech syariah. Inisiatif seperti Islamic Digital
Economy Framework (IDEF) telah menjadi model referensi bagi negara-negara
lain dalam mengembangkan ekosistem digital Islami yang inklusif dan
berkelanjutan.[22]
Selain Malaysia, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain juga berinvestasi besar
dalam digitalisasi sektor keuangan berbasis Islam, menjadikan wilayah Teluk
sebagai pusat pertumbuhan Islamic fintech global.[23]
Sementara itu, di Indonesia, sebagai negara dengan populasi
Muslim terbesar di dunia, digitalisasi ekonomi syariah menghadapi tantangan
struktural dan kultural. Meskipun memiliki ekosistem startup yang tumbuh pesat
dan penetrasi internet yang meningkat signifikan, namun tingkat literasi
keuangan syariah masih tergolong rendah, bahkan di kalangan umat Islam sendiri.[24]
Hal ini menjadi kendala serius dalam pengembangan platform fintech syariah yang
membutuhkan pemahaman terhadap akad-akad syariah seperti mudharabah,
musyarakah, murabahah, hingga wakalah dan kafalah.
Di sisi lain, peluang Indonesia sangat besar. Dengan
dukungan pemerintah melalui Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah
(KNEKS), serta inisiatif dari OJK dan MUI, berbagai upaya terus dilakukan untuk
mendorong integrasi teknologi ke dalam sistem ekonomi syariah nasional. Salah
satunya adalah peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang dan digitalisasi
pembayaran zakat serta infaq melalui platform digital resmi. Upaya ini
mencerminkan kesadaran akan pentingnya pemanfaatan teknologi untuk mendekatkan
sistem keuangan Islam kepada masyarakat luas.[25]
Negara-negara Muslim lainnya, seperti Pakistan, Turki, dan
Arab Saudi, juga mulai merancang strategi digitalisasi ekonomi dengan
memperhatikan aspek syariah. Namun keberhasilan transformasi ini sangat
bergantung pada sinergi antara regulator, ulama, akademisi, dan pelaku
industri. Tanpa pemahaman bersama, digitalisasi dapat menjadi ancaman terhadap
prinsip-prinsip Islam, seperti potensi riba dalam transaksi digital, gharar
dalam smart contracts, dan eksploitasi data pengguna.[26]
Kesimpulannya,
digitalisasi ekonomi di dunia Muslim adalah keniscayaan. Namun
implementasinya membutuhkan pendekatan multidimensi yang tidak hanya berbasis
teknologi, tetapi juga integrasi nilai-nilai Islam yang otentik. Negara-negara
yang mampu membangun ekosistem ekonomi digital syariah yang adaptif dan
inklusif akan berpotensi menjadi pusat peradaban ekonomi Islam di masa depan.
1.4 Tantangan Sistem Ekonomi Konvensional
Sistem ekonomi konvensional, yang mayoritas berpijak pada
prinsip kapitalisme dan liberalisme pasar, selama beberapa dekade terakhir
telah menunjukkan kelemahan struktural yang semakin jelas. Ketimpangan
distribusi kekayaan, krisis finansial global yang berulang, kerusakan
lingkungan, dan komersialisasi aspek-aspek kemanusiaan menjadi gejala utama
yang tak terelakkan dari sistem ini.[27]
Kendati teknologi digital memberikan efisiensi, sistem ekonomi konvensional
kerap kali menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya ukuran
keberhasilan, tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan kesejahteraan
spiritual manusia.[28]
Krisis keuangan global 2008 menjadi bukti paling nyata dari
kegagalan sistem ini dalam menciptakan stabilitas. Penyebab utama krisis
tersebut adalah praktik spekulatif pasar derivatif, riba dalam sistem kredit,
serta lemahnya pengawasan terhadap institusi keuangan raksasa. Di sinilah
ekonomi syariah menampilkan keunggulannya melalui larangan riba, gharar
(ketidakjelasan), dan spekulasi yang berlebihan (maysir), serta
menekankan transaksi yang berbasis aset riil dan kerja sama produktif.[29]
Namun, sistem ekonomi konvensional tetap dominan karena didukung oleh
infrastruktur global yang sudah mapan dan kuat, meskipun penuh anomali moral
dan krisis nilai.
Salah satu tantangan mendasar dalam sistem konvensional
adalah absennya orientasi spiritual dan etika dalam arsitektur ekonomi. Manusia
diposisikan semata sebagai subjek ekonomi, bukan sebagai makhluk sosial dan
spiritual yang memiliki tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya.
Akibatnya, muncul konsumerisme ekstrem, eksploitasi sumber daya alam tanpa
kendali, dan ketimpangan struktural antara negara maju dan negara berkembang.
Dalam konteks ini, transformasi ekonomi syariah menawarkan alternatif yang
menjembatani antara kemajuan teknologi dan prinsip moral, serta menjaga
keharmonisan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan.[30]
Di era digital, sistem ekonomi konvensional juga menghadapi
tantangan baru: monopoli data dan kekuasaan algoritma oleh korporasi global.
Perusahaan teknologi besar seperti Google, Amazon, dan Meta tidak hanya
menguasai pasar, tetapi juga mendikte perilaku ekonomi masyarakat dunia melalui
manipulasi data dan algoritma tersembunyi. Kapitalisme digital ini menciptakan
bentuk baru dari kolonialisme ekonomi, di mana negara-negara berkembang hanya
menjadi pasar konsumtif tanpa kendali atas kedaulatan datanya sendiri.[31]
Ekonomi syariah, apabila mampu dikembangkan secara
integratif dengan teknologi digital, memiliki peluang besar untuk mengisi
kekosongan etika dalam sistem ekonomi global. Dengan prinsip keadilan,
keseimbangan, dan tanggung jawab sosial, ekonomi syariah dapat tampil sebagai
model ekonomi alternatif yang lebih humanistik dan berkelanjutan. Namun, ini
hanya bisa tercapai jika seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, lembaga
keuangan, ulama, dan pelaku industri—bekerja sama dalam membangun sistem yang
tidak hanya sharia-compliant, tetapi juga sharia-based dalam
substansi dan praktik [32]
Oleh karena itu, penting untuk melihat transformasi ekonomi
syariah di era digital bukan sekadar sebagai adaptasi teknologi, melainkan
sebagai upaya merombak paradigma lama yang telah terbukti gagal dalam
menciptakan kesejahteraan universal. Inilah tantangan sekaligus peluang besar
bagi dunia Islam untuk menampilkan peradaban ekonomi baru yang adil, etis, dan
progresif.
Penutup Bab 1
Bab ini telah menguraikan konteks besar yang
melatarbelakangi transformasi ekonomi syariah di era digital. Dimulai dari
pembahasan mengenai revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 yang menandai
perubahan paradigma global dalam struktur ekonomi dan sosial, kemudian
dilanjutkan dengan gambaran peluang dan disrupsi dari transformasi digital,
hingga bagaimana negara-negara Muslim menghadapi digitalisasi ekonomi dalam
kerangka nilai-nilai Islam. Terakhir, ditampilkan kritik terhadap sistem
ekonomi konvensional yang semakin kehilangan arah etika dan keadilan dalam
mengejar pertumbuhan.
Dalam semua uraian tersebut, satu benang merah yang dapat
ditarik adalah bahwa era digital bukan hanya sebuah perubahan teknologi, tetapi
sebuah tantangan paradigma. Ekonomi syariah tidak bisa lagi hanya menjadi
sistem alternatif yang berjalan lambat di pinggiran sistem global. Ia harus
mampu mengambil posisi strategis dengan menawarkan nilai-nilai luhur Islam yang
relevan dengan zaman: inklusi, keadilan, dan keberlanjutan.
Namun untuk itu, dibutuhkan kesiapan dari seluruh elemen
umat Islam: mulai dari penguatan literasi digital dan keuangan syariah,
pengembangan produk berbasis teknologi halal, hingga formulasi regulasi yang
mendorong inovasi tanpa melanggar prinsip syariah. Transformasi ini bukan hanya
mungkin, tetapi niscaya—jika semua pihak bersinergi membangun ekosistem ekonomi
syariah yang berdaulat secara teknologi dan bermartabat secara spiritual.
Bab selanjutnya akan membahas dasar-dasar filosofis,
teologis, dan prinsip ekonomi syariah sebagai fondasi utama untuk memahami
bagaimana sistem ini bisa berkembang dalam konteks digital modern.
Daftar Referensi
- Billah,
Mohd Ma’sum. Digitalization and the Future of Islamic Finance.
Singapore: Palgrave Macmillan, 2021.
- Chapra,
M. Umer. Islam and the Economic Challenge. Leicester: Islamic
Foundation, 1992.
- Dinar
Standard. State of the Global Islamic Economy Report 2022. Dubai:
Dubai Islamic Economy Development Centre (DIEDC), 2022.
- Huda,
Nurul, dan Mohammad Adiwarman Azwar Karim. Ekonomi dan Keuangan Syariah
dalam Era Digital. Jakarta: Kencana, 2021.
- Ismal,
Rifki. “Challenges and Opportunities of Islamic Fintech in Indonesia.” Islamic
Finance Review Journal 4, no. 1 (2020): 77–80.
- Ismal,
Rifki. Islamic Banking in Indonesia: New Perspectives on Monetary and
Financial Issues. Singapore: John Wiley & Sons, 2013.
- Karim,
Adiwarman A. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013.
- Keidanren.
Society 5.0: Co-creating the Future. Tokyo: Japan Business
Federation, 2018.
- Komite
Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Laporan Ekonomi dan
Keuangan Syariah Indonesia 2023. Jakarta: KNEKS, 2023.
- Malaysia
Digital Economy Corporation (MDEC). Islamic Digital Economy Framework.
Kuala Lumpur: MDEC, 2020.
- Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Laporan Perkembangan Fintech Syariah di Indonesia.
Jakarta: OJK, 2022.
- OJK.
Peta Jalan Pengembangan Fintech Syariah 2023–2027. Jakarta: OJK
Institute, 2023.
- Schwab,
Klaus. The Fourth Industrial Revolution. Geneva: World Economic
Forum, 2016.
- Sholeh,
Asrorun Ni’am. “Fintech Syariah dan Dinamika Hukum Islam.” Dalam Prosiding
Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI, 2019.
- Sholeh,
Asrorun Ni’am. “Maqashid Syariah dan Etika Digital dalam Fintech Islam.”
Dalam Hukum Islam dan Teknologi, diedit oleh Nurrohman et al.
Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Press, 2020.
- Stiglitz,
Joseph E. The Price of Inequality: How Today’s Divided Society
Endangers Our Future. New York: W.W. Norton & Company, 2012.
- Tapscott,
Don. The Digital Economy: Rethinking Promise and Peril in the Age of
Networked Intelligence. 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2015.
- Usmani,
Muhammad Taqi. An Introduction to Islamic Finance. Karachi:
Idaratul Ma’arif, 2000.
- Yunus,
Muhammad. A World of Three Zeros: The New Economics of Zero Poverty,
Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions. New York:
PublicAffairs, 2017.
- Zuboff,
Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human
Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs, 2019.
[1] Klaus
Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum,
2016), 12–15
[2] Klaus
Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum,
2016), 16–22
[3] Keidanren,
Society 5.0: Co-creating the Future (Tokyo: Japan Business Federation,
2018), 3
[4] Rifki
Ismal, Islamic Banking in Indonesia: New Perspectives on Monetary and
Financial Issues (Singapore: John Wiley & Sons, 2013), 101–105
[5] Zamir
Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction to Islamic Finance: Theory and
Practice, 2nd ed. (Singapore: Wiley Finance, 2011), 33–34
[6] M. Syafii Antonio, Bank Syariah:
Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 225–228
[7] Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Laporan
Perkembangan Fintech Syariah di Indonesia (Jakarta: OJK, 2022), 6–8.
[8] Muhammad
Yunus, A World of Three Zeros: The New Economics of Zero Poverty, Zero
Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions (New York: PublicAffairs,
2017), 57–60
[9] Keidanren,
Society 5.0: Co-creating the Future (Tokyo: Japan Business Federation,
2018), 4–6.
[10] Asrorun
Niam Sholeh, "Fintech Syariah dan Dinamika Hukum Islam," dalam Prosiding
Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI, 2019, 89
[11] Dinar
Standard, State of the Global Islamic Economy Report 2022 (Dubai: DIEDC,
2022), 44–46
[12] Imran
Hosein, The Future of Money in an Islamic Worldview (Kuala Lumpur:
Masjid Dar al-Qur’an, 2018), 12–14
[13] Rifki
Ismal, “Challenges and Opportunities of Islamic Fintech in Indonesia,” Islamic
Finance Review Journal, Vol. 4, No. 1 (2020): 77–80
[14] Don
Tapscott, The Digital Economy: Rethinking Promise and Peril in the Age of
Networked Intelligence, 2nd ed. (New York: McGraw-Hill, 2015), 18–22
[15] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema
Insani, 2001), 296–298
[16] Rifki
Ismal, “Digital Transformation in Islamic Finance: Progress and Policy
Challenges,” Journal of Islamic Monetary Economics and Finance 6, no. 1
(2020): 1–15
[17] Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Peta
Jalan Pengembangan Fintech Syariah 2023–2027 (Jakarta: OJK Institute,
2023), 11–13
[18] Dinar
Standard, Global Islamic Fintech Report 2021 (London: Elipses Group,
2021), 27–29
[19] Mohd
Ma’sum Billah, Fintech in Islamic Finance: Theory and Practice
(Singapore: Springer, 2019), 41–43
[20] Asrorun
Ni’am Sholeh, "Maqashid Syariah dan Etika Digital dalam Fintech
Islam," dalam Hukum Islam dan Teknologi, ed. Nurrohman et al.
(Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Press, 2020), 85–88
[21] Malaysia
Digital Economy Corporation (MDEC), Islamic Digital Economy Framework
(Kuala Lumpur: MDEC, 2020), 7–9
[22] Dubai
Islamic Economy Development Centre (DIEDC), State of the Global Islamic
Economy Report 2022 (Dubai: DinarStandard, 2022), 33–36
[23] Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022
(Jakarta: OJK, 2022), 18
[24] Komite
Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Laporan Ekonomi dan Keuangan
Syariah Indonesia 2023 (Jakarta: KNEKS, 2023), 21–23
[25] Nurul
Huda dan Mohammad Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi dan Keuangan Syariah dalam
Era Digital (Jakarta: Kencana, 2021), 79–82
[26] Mohd
Ma’sum Billah, Digitalization and the Future of Islamic Finance
(Singapore: Palgrave Macmillan, 2021), 52–56
[27] Joseph
E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers
Our Future (New York: W.W. Norton & Company, 2012), 23–25
[28] Muhammad
Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Karachi: Idaratul
Ma’arif, 2000), 48–50
[29] Chapra,
M. Umer, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic
Foundation, 1992), 66–70
[30] Shoshana
Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at
the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 51–55
[31] Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), 108–110
[32] Ha-Joon
Chang, 23 Things They Don’t Tell You About Capitalism (London: Penguin
Books, 2010), 92–94

Comments