Ekonomi Syariah – Landasan Filosofis dan Teologis
![]() |
Sumber Gambar: Editan AI |
Pendahuluan
Ekonomi syariah bukan
sekadar sistem keuangan yang menghindari riba atau transaksi nonhalal,
melainkan suatu paradigma ekonomi yang bersumber dari ajaran Islam yang
bersifat holistik. Ia tidak hanya mencakup aktivitas jual beli atau sistem
perbankan, melainkan juga mencerminkan suatu worldview (pandangan hidup) yang
berpijak pada tauhid sebagai asas utama. Dengan demikian, ekonomi syariah
memosisikan manusia bukan hanya sebagai makhluk ekonomi (homo economicus),
tetapi juga sebagai khalifah di bumi yang memiliki tanggung jawab moral dan
spiritual dalam menjalankan aktivitas ekonomi.[1]
Dalam menghadapi era
digital dan perkembangan teknologi finansial (fintech), ekonomi syariah tidak
cukup dipahami secara teknis, melainkan harus dibangun atas dasar pemahaman
filosofis dan teologis yang kuat. Hal ini penting agar prinsip-prinsip Islam tetap
menjadi rujukan utama dalam setiap inovasi, bukan sekadar adaptasi bentuk tanpa
substansi. Oleh sebab itu, memahami landasan dasar dari ekonomi syariah menjadi
penting sebagai fondasi dalam melakukan transformasi digital yang tidak
melenceng dari ruh syariah.[2]
Bab ini akan menguraikan empat aspek
fundamental. Pertama, pengertian dan ciri khas ekonomi syariah yang
membedakannya dari sistem ekonomi konvensional. Kedua, tujuan ekonomi syariah
yang berpijak pada maqashid al-syariah—yakni perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Ketiga, nilai-nilai utama seperti tauhid, keadilan,
dan keseimbangan yang menjadi spirit dasar dalam setiap aktivitas ekonomi
Islam. Keempat, prinsip larangan terhadap riba, gharar, dan maisir sebagai
pilar etis yang menjaga keadilan dan transparansi dalam interaksi ekonomi.[3]
Melalui pemahaman atas landasan filosofis dan
teologis ini, pembaca diharapkan mampu melihat bahwa ekonomi syariah bukan
hanya sistem yang “bebas bunga” semata, tetapi sebuah sistem alternatif yang
menawarkan keseimbangan antara aspek material dan spiritual, serta antara
kepentingan individu dan masyarakat. Dengan kerangka ini, inovasi teknologi
dalam ekonomi Islam akan lebih terarah, bermakna, dan tetap sesuai dengan
cita-cita syariah sebagai jalan menuju keberkahan dan keadilan sosial.[4]
2.1 Pengertian dan Ciri Khas Ekonomi Syariah
Secara etimologis, istilah syariah
berasal dari kata Arab syara’a yang berarti "jalan menuju sumber
air"—sebuah metafora tentang jalan lurus yang membawa kehidupan dan
kesejahteraan. Dalam konteks ekonomi, ekonomi syariah merujuk pada sistem
ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan aturan Islam sebagaimana
tertuang dalam Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ ulama, dan qiyas. Tujuan utamanya bukan
semata-mata mengejar profit, melainkan menciptakan keadilan, keseimbangan, dan
kesejahteraan umum yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.[5]
Secara terminologis, ekonomi syariah adalah
suatu sistem ekonomi yang menjadikan hukum-hukum syariah sebagai fondasi dalam
mengatur kegiatan produksi, distribusi, konsumsi, dan investasi. Sistem ini
menolak segala bentuk transaksi yang mengandung riba (bunga), gharar
(ketidakjelasan atau spekulasi berlebihan), dan maisir (judi). Di sisi lain,
ekonomi syariah mendorong transaksi yang jujur, berbasis aset riil, serta
menjunjung tinggi etika bisnis dan tanggung jawab sosial.[6]
Salah satu ciri khas
utama dari ekonomi syariah adalah integrasi antara aspek spiritual dan ekonomi.
Dalam pandangan Islam, harta bukanlah tujuan akhir, tetapi amanah dari Allah
yang harus dimanfaatkan secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, segala bentuk
transaksi ekonomi harus memperhatikan dimensi halal dan haram, serta berdampak
positif terhadap kehidupan masyarakat. Inilah yang membedakan ekonomi syariah
dari sistem ekonomi konvensional yang cenderung sekuler dan berorientasi pada
keuntungan maksimal tanpa batas.[7]
Ciri khas lainnya adalah
sistem distribusi kekayaan yang adil dan merata. Melalui instrumen seperti
zakat, infaq, sedekah, dan wakaf, Islam mengarahkan distribusi kekayaan dari
yang kaya kepada yang membutuhkan. Hal ini menciptakan harmoni sosial dan mencegah
terjadinya penumpukan kekayaan yang hanya berputar di segelintir elit.[8] Dalam konteks ini,
ekonomi syariah tidak hanya menjadi sistem ekonomi, tetapi juga menjadi sistem
sosial yang mendukung stabilitas dan solidaritas.
Selain itu, ekonomi
syariah mengedepankan konsep profit and loss sharing melalui akad
musyarakah dan mudharabah sebagai alternatif sistem bunga. Konsep ini
menciptakan ikatan kemitraan antara pemilik modal dan pengelola usaha, serta
membagi risiko secara adil. Hal ini mendorong kolaborasi, kepercayaan, dan
keadilan dalam aktivitas bisnis dan investasi.[9]
Dengan karakteristik
seperti itu, ekonomi syariah sesungguhnya memberikan kerangka yang sangat
relevan dalam merespons berbagai persoalan ekonomi kontemporer, termasuk
ketimpangan, eksploitasi, dan degradasi moral akibat sistem kapitalis. Melalui
ekonomi syariah, umat Islam dituntut untuk membangun tatanan ekonomi yang tidak
hanya efisien dan modern, tetapi juga berlandaskan nilai-nilai ilahiyah dan
kemanusiaan.
2.2 Tujuan Ekonomi Syariah (Maqashid
al-Syariah)
Tujuan utama ekonomi
syariah tidak sekadar mengatur urusan duniawi, tetapi juga membimbing umat
manusia dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat secara seimbang. Untuk
memahami orientasi sistem ini, para ulama mengembangkan teori maqashid
al-syariah—yakni tujuan-tujuan dasar dari hukum Islam yang menjadi landasan
moral dan filosofis dalam setiap aktivitas manusia, termasuk dalam bidang
ekonomi.[10]
Secara umum, maqashid
al-syariah terdiri dari lima aspek utama:
- Hifz
al-Din (menjaga agama)
- Hifz
al-Nafs (menjaga jiwa)
- Hifz
al-Aql (menjaga akal)
- Hifz
al-Nasl (menjaga keturunan)
- Hifz
al-Mal (menjaga harta)[11]
Dalam konteks ekonomi, maqashid al-syariah
memberikan arah bahwa setiap kebijakan dan aktivitas ekonomi harus menjamin
perlindungan terhadap hak milik, keadilan dalam transaksi, keseimbangan dalam
distribusi, dan tidak menciptakan ketimpangan atau eksploitasi. Dengan kata lain,
ekonomi syariah bertujuan mewujudkan kesejahteraan (maslahah) masyarakat
secara kolektif, bukan hanya keuntungan pribadi atau korporasi semata.[12]
Aspek hifz al-mal (perlindungan
terhadap harta) menjadi dasar penting dalam praktik ekonomi Islam. Prinsip ini mendorong
mekanisme transaksi yang adil, menjamin keamanan aset, serta mencegah
manipulasi pasar dan penindasan terhadap pihak yang lemah. Oleh karena itu,
segala bentuk riba, maisir, dan gharar dilarang, karena merusak nilai keadilan
dan menimbulkan ketidakpastian serta ketimpangan ekonomi.[13]
Sementara itu, hifz
al-nafs dan hifz al-aql relevan dalam mengatur etika produksi dan
konsumsi. Ekonomi syariah melarang produksi barang atau jasa yang merusak
moral, seperti narkotika, minuman keras, dan perjudian. Di sisi konsumsi, umat
Islam diajarkan untuk bersikap sederhana (wasathiyah) dan tidak
berlebihan (israf), agar tercipta keberkahan dan keberlanjutan dalam
hidup.[14]
Hifz al-nasl mengarahkan sistem
ekonomi agar berpihak pada ketahanan keluarga dan generasi. Oleh karena itu,
ekonomi syariah mendukung model pembiayaan rumah tangga, pendidikan anak, serta
perlindungan sosial berbasis keadilan dan tanggung jawab antar anggota masyarakat.
Dengan demikian,
maqashid al-syariah menjadi dasar filosofis yang mengarahkan setiap inovasi dan
kebijakan ekonomi dalam Islam.[15] Dalam konteks
digitalisasi dan fintech syariah, maqashid menjadi filter utama untuk menilai
apakah suatu inovasi benar-benar membawa maslahah atau justru menyimpang
dari prinsip-prinsip syariah. Maka, setiap perkembangan teknologi harus diuji
dengan prinsip maqashid agar transformasi ekonomi tidak kehilangan arah
spiritual dan moralnya.
2.3 Nilai-Nilai Tauhid, Keadilan,
dan Keseimbangan
Ekonomi syariah dibangun di atas pondasi
nilai-nilai dasar Islam yang bersifat transenden dan universal. Tiga di antara
nilai inti tersebut adalah tauhid, keadilan, dan keseimbangan
(tawazun). Ketiganya bukan hanya menjadi kerangka normatif, tetapi juga
menjadi fondasi epistemologis dalam membentuk paradigma dan praktik ekonomi
yang Islami. Nilai-nilai ini menjaga agar aktivitas ekonomi tetap bermakna
ibadah dan tidak terjebak dalam materialisme yang membutakan.
1. Tauhid: Prinsip Ketundukan Total
kepada Allah
Tauhid adalah inti dari
seluruh ajaran Islam. Dalam konteks ekonomi, tauhid berarti bahwa setiap
aktivitas ekonomi harus tunduk kepada kehendak dan hukum Allah. Segala bentuk
kepemilikan harta, produksi, distribusi, dan konsumsi dilihat sebagai amanah dari
Allah SWT, bukan hak mutlak individu. Konsep ini menumbuhkan kesadaran
spiritual bahwa manusia bukanlah pemilik sejati, tetapi hanya pengelola (khalifah)
yang bertanggung jawab terhadap penggunaan harta demi kemaslahatan bersama.[16]
Prinsip tauhid juga
menolak sistem ekonomi yang memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam sistem kapitalis-sekuler, ekonomi
dilihat sebagai ruang netral tanpa campur tangan nilai agama. Sebaliknya,
ekonomi syariah mengintegrasikan nilai-nilai ketuhanan dalam seluruh prosesnya,
sehingga setiap aktivitas ekonomi diposisikan sebagai bagian dari ibadah.[17]
2. Keadilan (‘Adl): Pilar Etika
Sosial Ekonomi
Keadilan adalah nilai
universal dalam Islam dan menjadi prinsip utama dalam hubungan ekonomi. Dalam
ekonomi syariah, keadilan tidak hanya bermakna formal (kesetaraan hak), tetapi
juga substansial—yakni memberikan kepada setiap orang sesuai hak dan kebutuhannya.
Hal ini melahirkan prinsip-prinsip seperti harga wajar (fair value),
pembagian keuntungan yang adil, dan larangan penindasan serta eksploitasi dalam
kontrak bisnis.[18]
Keadilan juga diwujudkan
dalam instrumen ekonomi syariah seperti zakat, wakaf, dan distribusi dana
sosial lainnya yang berfungsi mengurangi kesenjangan dan ketimpangan. Selain
itu, akad-akad dalam keuangan syariah disusun sedemikian rupa agar tidak merugikan
salah satu pihak, dan menuntut transparansi serta kejujuran dalam transaksi.[19]
3. Keseimbangan (Tawazun): Harmoni
antara Dunia dan Akhirat
Nilai keseimbangan
mengajarkan bahwa ekonomi tidak boleh berjalan ekstrem ke arah kapitalisme
individualistik atau sosialisme yang menafikan hak milik. Islam menegaskan
pentingnya menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan sosial,
antara konsumsi dan investasi, antara dunia dan akhirat.[20]
Konsep tawazun
ini melahirkan prinsip wasathiyah (moderat), yang mendorong pola hidup
hemat, produktif, dan peduli terhadap sesama. Dalam konteks digitalisasi
ekonomi, nilai ini menjadi penting untuk menghindari ekses negatif seperti
konsumtivisme digital, eksploitasi data pribadi, atau pencarian keuntungan
tanpa batas.[21]
Dengan mengintegrasikan
nilai tauhid, keadilan, dan keseimbangan ke dalam kerangka ekonomi, ekonomi
syariah tampil bukan hanya sebagai sistem finansial, tetapi sebagai jalan hidup
(way of life) yang mendorong pertumbuhan berkeadilan dan berkelanjutan.
Inilah nilai-nilai filosofis yang membedakan ekonomi syariah dari sistem lain,
serta menjadi fondasi etis dalam menghadapi tantangan dunia digital saat ini.
2.4 Prinsip Dasar: Larangan Riba, Gharar, dan Maisir
Salah satu fondasi utama dalam sistem ekonomi
syariah adalah larangan terhadap unsur-unsur yang dianggap merusak keadilan dan
transparansi dalam transaksi. Tiga prinsip utama yang menjadi batasan tegas
dalam ekonomi Islam adalah larangan riba (bunga/kelebihan yang tidak
sah), gharar (ketidakpastian/ketidaktahuan dalam akad), dan maisir
(judi atau spekulasi berlebihan). Larangan ini tidak hanya bersifat hukum
formal, tetapi juga merefleksikan nilai moral dan sosial yang ingin ditegakkan
Islam dalam aktivitas ekonomi.
1. Riba (Bunga yang Diharamkan)
Riba secara etimologis berarti “tambahan”
atau “kelebihan”, dan dalam konteks transaksi keuangan, ia merujuk pada
tambahan atas pokok utang tanpa adanya aktivitas ekonomi produktif. Riba
dianggap sebagai bentuk kezaliman karena menimbulkan ketimpangan antara
kreditur dan debitur, serta menciptakan sistem ekonomi yang menindas pihak yang
lemah.[22]
Al-Qur’an secara tegas melarang riba, bahkan menyamakannya dengan perbuatan
memerangi Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Baqarah: 279).[23]
Dalam sistem ekonomi konvensional, praktik
riba dilembagakan melalui sistem bunga. Bank memberikan pinjaman dengan bunga
tetap, tanpa mempertimbangkan apakah usaha debitur untung atau rugi. Ekonomi
syariah menggantikannya dengan sistem profit and loss sharing (bagi
hasil), seperti dalam akad mudharabah (kerja sama antara pemilik modal
dan pengelola) dan musyarakah (kerja sama modal antara dua pihak atau
lebih).[24]
2. Gharar (Ketidakjelasan/Uncertainty dalam Akad)
Gharar adalah segala bentuk ketidakjelasan
dalam objek transaksi, syarat akad, atau hasil akhir yang dapat merugikan salah
satu pihak. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah melarang jual beli yang
mengandung gharar. Contoh dari gharar adalah menjual barang yang tidak
diketahui kualitas atau kuantitasnya, menjual barang yang belum dimiliki, atau
menjual hasil panen sebelum waktunya.[25]
Dalam ekonomi modern, praktik gharar sering
muncul dalam instrumen derivatif, seperti options atau futures, yang penuh
dengan ketidakpastian dan spekulasi tinggi. Dalam dunia digital, gharar juga
dapat muncul dalam kontrak digital yang tidak transparan atau sistem keuangan
berbasis algoritma yang tidak dimengerti oleh penggunanya. Oleh karena itu,
sistem keuangan syariah mengedepankan akad yang jelas, transparan, dan
disepakati bersama agar tercipta keadilan.[26]
3. Maisir (Perjudian/Spekulasi Berlebihan)
Maisir atau maysir merujuk pada segala bentuk
transaksi yang mengandung unsur judi, yakni peluang mendapatkan keuntungan
dengan mengorbankan pihak lain secara tidak adil. Maisir merusak tatanan
ekonomi karena menciptakan ketidakpastian yang disengaja dan mendorong sifat
serakah serta tidak produktif.[27]
Dalam ekonomi digital, praktik maisir dapat
muncul dalam bentuk investasi bodong, spekulasi di pasar kripto tanpa
underlying asset yang jelas, hingga game berbasis reward uang sungguhan.
Ekonomi syariah melarang segala bentuk aktivitas yang mirip dengan perjudian
karena bertentangan dengan prinsip maslahah (kebaikan umum) dan keadilan
sosial.
Penutup Bab 2: Kesimpulan
Bab ini telah menjelaskan bahwa ekonomi
syariah merupakan sistem yang bukan hanya bertujuan ekonomi, tetapi juga sarat
nilai-nilai filosofis dan teologis yang khas. Dimulai dari pemahaman mendasar
mengenai pengertian dan karakteristiknya, ekonomi syariah berbeda secara
fundamental dengan sistem ekonomi konvensional karena menempatkan tauhid
sebagai asas sentral, keadilan sebagai tujuan, dan keseimbangan sebagai prinsip
kerja.
Melalui maqashid al-syariah, ekonomi syariah
diarahkan tidak sekadar untuk mencapai kesejahteraan material, tetapi juga
untuk menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan: agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak bisa dijalankan hanya dengan
pendekatan teknis semata, tetapi harus dilandasi oleh kesadaran spiritual dan
tujuan syariah yang lebih luas.
Prinsip-prinsip utama seperti larangan riba,
gharar, dan maisir merupakan bentuk konkret dari komitmen Islam terhadap etika
transaksi dan perlindungan sosial. Dalam konteks digital saat ini,
prinsip-prinsip tersebut menjadi sangat relevan sebagai rambu-rambu agar
inovasi teknologi, khususnya di bidang keuangan, tidak terlepas dari etika dan
keadilan.
Dengan demikian, memahami fondasi filosofis
dan teologis ekonomi syariah menjadi langkah awal yang penting sebelum membahas
inovasi fintech dan digitalisasi ekonomi. Ekonomi syariah bukan sekadar sistem
keuangan bebas bunga, melainkan sebuah paradigma hidup yang mengintegrasikan
nilai spiritual, moral, dan sosial dalam kerangka ekonomi yang modern dan
berkelanjutan.
Daftar Pustaka Bab 2
(Chicago Full Note Style)
- Ayub,
Muhammad. Understanding Islamic Finance. Chichester: John Wiley
& Sons, 2007.
- Chapra,
M. Umer. Islam and the Economic Challenge. Leicester: Islamic
Foundation, 1992.
- Chapra,
M. Umer. The Future of Economics: An Islamic Perspective.
Leicester: Islamic Foundation, 2000.
- Karim, Adiwarman A. Ekonomi Islam: Suatu Kajian
Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2013.
- al-Qaradawi,
Yusuf. The Lawful and the Prohibited in Islam. Indianapolis:
American Trust Publications, 1994.
- al-Qaradawi,
Yusuf. Fiqh al-Zakah, translated by Monzer Kahf. Jeddah: Scientific
Publishing Centre, King Abdulaziz University, 2000.
- Saeed,
Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of
Riba and Its Contemporary Interpretation. Leiden: Brill, 1996.
- Sholeh,
Asrorun Ni’am. “Etika Ekonomi Islam dalam Arus Disrupsi.” Jurnal Hukum
Islam 13, no. 2 (2017): 221–224.
- Sholeh,
Asrorun Ni’am. “Etika Syariah dalam Inovasi Produk Keuangan Digital.” Jurnal
Hukum Islam 14, no. 1 (2016): 155–158.
- Siddiqi,
Muhammad Nejatullah. Partnership and Profit Sharing in Islamic Law.
Leicester: The Islamic Foundation, 1985.
- Usmani,
Muhammad Taqi. An Introduction to Islamic Finance. Karachi:
Idaratul Ma’arif, 2000.
- al-Zuhaili,
Wahbah. Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol. 1.
Damascus: Dar al-Fikr, 2003.
- Auda,
Jasser. Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems
Approach. London: International Institute of Islamic Thought, 2008.
[1] M.
Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective (Leicester:
The Islamic Foundation, 2000), 12–15
[2] Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013),
25–27
[3] Muhammad
Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective
(Leicester: The Islamic Foundation, 1996), 8–10
[4] Asrorun
Ni’am Sholeh, “Ekonomi Syariah dalam Perspektif Teologi dan Etika Islam,” dalam
Jurnal Hukum Islam 14, no. 1 (2016): 115–118
[5] M.
Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic
Foundation, 1992), 34–36
[6] Muhammad
Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Karachi: Idaratul
Ma’arif, 2000), 18–21
[7] M. Syafii Antonio, Bank Syariah:
Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 55–58
[8] Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013),
92–94
[9] Muhammad
Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law
(Leicester: The Islamic Foundation, 1985), 10–12
[10] Jasser
Auda, Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach
(London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 19–21
[11] M.
Umer Chapra, The Objectives of Islamic Economic Order (Leicester: The
Islamic Foundation, 1992), 13–15
[12] Wahbah
al-Zuhaili, Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, vol. 1
(Damascus: Dar al-Fikr, 2003), 44–47
[13] Yusuf
al-Qaradawi, The Lawful and the Prohibited in Islam (Indianapolis:
American Trust Publications, 1994), 83–85
[14] Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013),
101–103
[15] Asrorun
Ni’am Sholeh, “Etika Ekonomi Islam dan Perlindungan Maqashid Syariah,” Jurnal
Hukum Islam 12, no. 2 (2014): 145–147
[16] Yusuf
al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah, trans. Monzer Kahf (Jeddah: Scientific
Publishing Centre, King Abdulaziz University, 2000), 18–20
[17] M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 37–39
[18] Muhammad
Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Karachi: Idaratul
Ma’arif, 2000), 33–35
[19] Asrorun
Ni’am Sholeh, “Etika Ekonomi Islam dalam Arus Disrupsi,” Jurnal Hukum Islam
13, no. 2 (2017): 221–224
[20] M.
Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective (Leicester:
Islamic Foundation, 2000), 22–24
[21] Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013),
119–122
[22] Muhammad
Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Karachi: Idaratul
Ma’arif, 2000), 35–38
[23] Abdullah
Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and
Its Contemporary Interpretation (Leiden: Brill, 1996), 43–46
[24] Adiwarman A. Karim, Ekonomi
Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013),
110–114
[25] Wahbah
al-Zuhaili, Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, vol. 1
(Damascus: Dar al-Fikr, 2003), 65–69
[26] Muhammad
Ayub, Understanding Islamic Finance (Chichester: John Wiley & Sons,
2007), 97–100
[27] Asrorun
Ni’am Sholeh, “Etika Syariah dalam Inovasi Produk Keuangan Digital,” Jurnal
Hukum Islam 14, no. 1 (2016): 155–158
Comments