Ekonomi Syariah – Landasan Filosofis dan Teologis

 

Sumber Gambar: Editan AI

Pendahuluan

Ekonomi syariah bukan sekadar sistem keuangan yang menghindari riba atau transaksi nonhalal, melainkan suatu paradigma ekonomi yang bersumber dari ajaran Islam yang bersifat holistik. Ia tidak hanya mencakup aktivitas jual beli atau sistem perbankan, melainkan juga mencerminkan suatu worldview (pandangan hidup) yang berpijak pada tauhid sebagai asas utama. Dengan demikian, ekonomi syariah memosisikan manusia bukan hanya sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), tetapi juga sebagai khalifah di bumi yang memiliki tanggung jawab moral dan spiritual dalam menjalankan aktivitas ekonomi.[1]

Dalam menghadapi era digital dan perkembangan teknologi finansial (fintech), ekonomi syariah tidak cukup dipahami secara teknis, melainkan harus dibangun atas dasar pemahaman filosofis dan teologis yang kuat. Hal ini penting agar prinsip-prinsip Islam tetap menjadi rujukan utama dalam setiap inovasi, bukan sekadar adaptasi bentuk tanpa substansi. Oleh sebab itu, memahami landasan dasar dari ekonomi syariah menjadi penting sebagai fondasi dalam melakukan transformasi digital yang tidak melenceng dari ruh syariah.[2]

Bab ini akan menguraikan empat aspek fundamental. Pertama, pengertian dan ciri khas ekonomi syariah yang membedakannya dari sistem ekonomi konvensional. Kedua, tujuan ekonomi syariah yang berpijak pada maqashid al-syariah—yakni perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ketiga, nilai-nilai utama seperti tauhid, keadilan, dan keseimbangan yang menjadi spirit dasar dalam setiap aktivitas ekonomi Islam. Keempat, prinsip larangan terhadap riba, gharar, dan maisir sebagai pilar etis yang menjaga keadilan dan transparansi dalam interaksi ekonomi.[3]

Melalui pemahaman atas landasan filosofis dan teologis ini, pembaca diharapkan mampu melihat bahwa ekonomi syariah bukan hanya sistem yang “bebas bunga” semata, tetapi sebuah sistem alternatif yang menawarkan keseimbangan antara aspek material dan spiritual, serta antara kepentingan individu dan masyarakat. Dengan kerangka ini, inovasi teknologi dalam ekonomi Islam akan lebih terarah, bermakna, dan tetap sesuai dengan cita-cita syariah sebagai jalan menuju keberkahan dan keadilan sosial.[4]

2.1 Pengertian dan Ciri Khas Ekonomi Syariah

Secara etimologis, istilah syariah berasal dari kata Arab syara’a yang berarti "jalan menuju sumber air"—sebuah metafora tentang jalan lurus yang membawa kehidupan dan kesejahteraan. Dalam konteks ekonomi, ekonomi syariah merujuk pada sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan aturan Islam sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ ulama, dan qiyas. Tujuan utamanya bukan semata-mata mengejar profit, melainkan menciptakan keadilan, keseimbangan, dan kesejahteraan umum yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.[5]

Secara terminologis, ekonomi syariah adalah suatu sistem ekonomi yang menjadikan hukum-hukum syariah sebagai fondasi dalam mengatur kegiatan produksi, distribusi, konsumsi, dan investasi. Sistem ini menolak segala bentuk transaksi yang mengandung riba (bunga), gharar (ketidakjelasan atau spekulasi berlebihan), dan maisir (judi). Di sisi lain, ekonomi syariah mendorong transaksi yang jujur, berbasis aset riil, serta menjunjung tinggi etika bisnis dan tanggung jawab sosial.[6]

Salah satu ciri khas utama dari ekonomi syariah adalah integrasi antara aspek spiritual dan ekonomi. Dalam pandangan Islam, harta bukanlah tujuan akhir, tetapi amanah dari Allah yang harus dimanfaatkan secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, segala bentuk transaksi ekonomi harus memperhatikan dimensi halal dan haram, serta berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat. Inilah yang membedakan ekonomi syariah dari sistem ekonomi konvensional yang cenderung sekuler dan berorientasi pada keuntungan maksimal tanpa batas.[7]

Ciri khas lainnya adalah sistem distribusi kekayaan yang adil dan merata. Melalui instrumen seperti zakat, infaq, sedekah, dan wakaf, Islam mengarahkan distribusi kekayaan dari yang kaya kepada yang membutuhkan. Hal ini menciptakan harmoni sosial dan mencegah terjadinya penumpukan kekayaan yang hanya berputar di segelintir elit.[8] Dalam konteks ini, ekonomi syariah tidak hanya menjadi sistem ekonomi, tetapi juga menjadi sistem sosial yang mendukung stabilitas dan solidaritas.

Selain itu, ekonomi syariah mengedepankan konsep profit and loss sharing melalui akad musyarakah dan mudharabah sebagai alternatif sistem bunga. Konsep ini menciptakan ikatan kemitraan antara pemilik modal dan pengelola usaha, serta membagi risiko secara adil. Hal ini mendorong kolaborasi, kepercayaan, dan keadilan dalam aktivitas bisnis dan investasi.[9]

Dengan karakteristik seperti itu, ekonomi syariah sesungguhnya memberikan kerangka yang sangat relevan dalam merespons berbagai persoalan ekonomi kontemporer, termasuk ketimpangan, eksploitasi, dan degradasi moral akibat sistem kapitalis. Melalui ekonomi syariah, umat Islam dituntut untuk membangun tatanan ekonomi yang tidak hanya efisien dan modern, tetapi juga berlandaskan nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaan.

2.2 Tujuan Ekonomi Syariah (Maqashid al-Syariah)

Tujuan utama ekonomi syariah tidak sekadar mengatur urusan duniawi, tetapi juga membimbing umat manusia dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat secara seimbang. Untuk memahami orientasi sistem ini, para ulama mengembangkan teori maqashid al-syariah—yakni tujuan-tujuan dasar dari hukum Islam yang menjadi landasan moral dan filosofis dalam setiap aktivitas manusia, termasuk dalam bidang ekonomi.[10]

Secara umum, maqashid al-syariah terdiri dari lima aspek utama:

  1. Hifz al-Din (menjaga agama)
  2. Hifz al-Nafs (menjaga jiwa)
  3. Hifz al-Aql (menjaga akal)
  4. Hifz al-Nasl (menjaga keturunan)
  5. Hifz al-Mal (menjaga harta)[11]

Dalam konteks ekonomi, maqashid al-syariah memberikan arah bahwa setiap kebijakan dan aktivitas ekonomi harus menjamin perlindungan terhadap hak milik, keadilan dalam transaksi, keseimbangan dalam distribusi, dan tidak menciptakan ketimpangan atau eksploitasi. Dengan kata lain, ekonomi syariah bertujuan mewujudkan kesejahteraan (maslahah) masyarakat secara kolektif, bukan hanya keuntungan pribadi atau korporasi semata.[12]

Aspek hifz al-mal (perlindungan terhadap harta) menjadi dasar penting dalam praktik ekonomi Islam. Prinsip ini mendorong mekanisme transaksi yang adil, menjamin keamanan aset, serta mencegah manipulasi pasar dan penindasan terhadap pihak yang lemah. Oleh karena itu, segala bentuk riba, maisir, dan gharar dilarang, karena merusak nilai keadilan dan menimbulkan ketidakpastian serta ketimpangan ekonomi.[13]

Sementara itu, hifz al-nafs dan hifz al-aql relevan dalam mengatur etika produksi dan konsumsi. Ekonomi syariah melarang produksi barang atau jasa yang merusak moral, seperti narkotika, minuman keras, dan perjudian. Di sisi konsumsi, umat Islam diajarkan untuk bersikap sederhana (wasathiyah) dan tidak berlebihan (israf), agar tercipta keberkahan dan keberlanjutan dalam hidup.[14]

Hifz al-nasl mengarahkan sistem ekonomi agar berpihak pada ketahanan keluarga dan generasi. Oleh karena itu, ekonomi syariah mendukung model pembiayaan rumah tangga, pendidikan anak, serta perlindungan sosial berbasis keadilan dan tanggung jawab antar anggota masyarakat.

Dengan demikian, maqashid al-syariah menjadi dasar filosofis yang mengarahkan setiap inovasi dan kebijakan ekonomi dalam Islam.[15] Dalam konteks digitalisasi dan fintech syariah, maqashid menjadi filter utama untuk menilai apakah suatu inovasi benar-benar membawa maslahah atau justru menyimpang dari prinsip-prinsip syariah. Maka, setiap perkembangan teknologi harus diuji dengan prinsip maqashid agar transformasi ekonomi tidak kehilangan arah spiritual dan moralnya.

2.3 Nilai-Nilai Tauhid, Keadilan, dan Keseimbangan

Ekonomi syariah dibangun di atas pondasi nilai-nilai dasar Islam yang bersifat transenden dan universal. Tiga di antara nilai inti tersebut adalah tauhid, keadilan, dan keseimbangan (tawazun). Ketiganya bukan hanya menjadi kerangka normatif, tetapi juga menjadi fondasi epistemologis dalam membentuk paradigma dan praktik ekonomi yang Islami. Nilai-nilai ini menjaga agar aktivitas ekonomi tetap bermakna ibadah dan tidak terjebak dalam materialisme yang membutakan.

1. Tauhid: Prinsip Ketundukan Total kepada Allah

Tauhid adalah inti dari seluruh ajaran Islam. Dalam konteks ekonomi, tauhid berarti bahwa setiap aktivitas ekonomi harus tunduk kepada kehendak dan hukum Allah. Segala bentuk kepemilikan harta, produksi, distribusi, dan konsumsi dilihat sebagai amanah dari Allah SWT, bukan hak mutlak individu. Konsep ini menumbuhkan kesadaran spiritual bahwa manusia bukanlah pemilik sejati, tetapi hanya pengelola (khalifah) yang bertanggung jawab terhadap penggunaan harta demi kemaslahatan bersama.[16]

Prinsip tauhid juga menolak sistem ekonomi yang memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam sistem kapitalis-sekuler, ekonomi dilihat sebagai ruang netral tanpa campur tangan nilai agama. Sebaliknya, ekonomi syariah mengintegrasikan nilai-nilai ketuhanan dalam seluruh prosesnya, sehingga setiap aktivitas ekonomi diposisikan sebagai bagian dari ibadah.[17]

2. Keadilan (‘Adl): Pilar Etika Sosial Ekonomi

Keadilan adalah nilai universal dalam Islam dan menjadi prinsip utama dalam hubungan ekonomi. Dalam ekonomi syariah, keadilan tidak hanya bermakna formal (kesetaraan hak), tetapi juga substansial—yakni memberikan kepada setiap orang sesuai hak dan kebutuhannya. Hal ini melahirkan prinsip-prinsip seperti harga wajar (fair value), pembagian keuntungan yang adil, dan larangan penindasan serta eksploitasi dalam kontrak bisnis.[18]

Keadilan juga diwujudkan dalam instrumen ekonomi syariah seperti zakat, wakaf, dan distribusi dana sosial lainnya yang berfungsi mengurangi kesenjangan dan ketimpangan. Selain itu, akad-akad dalam keuangan syariah disusun sedemikian rupa agar tidak merugikan salah satu pihak, dan menuntut transparansi serta kejujuran dalam transaksi.[19]

3. Keseimbangan (Tawazun): Harmoni antara Dunia dan Akhirat

Nilai keseimbangan mengajarkan bahwa ekonomi tidak boleh berjalan ekstrem ke arah kapitalisme individualistik atau sosialisme yang menafikan hak milik. Islam menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan sosial, antara konsumsi dan investasi, antara dunia dan akhirat.[20]

Konsep tawazun ini melahirkan prinsip wasathiyah (moderat), yang mendorong pola hidup hemat, produktif, dan peduli terhadap sesama. Dalam konteks digitalisasi ekonomi, nilai ini menjadi penting untuk menghindari ekses negatif seperti konsumtivisme digital, eksploitasi data pribadi, atau pencarian keuntungan tanpa batas.[21]

Dengan mengintegrasikan nilai tauhid, keadilan, dan keseimbangan ke dalam kerangka ekonomi, ekonomi syariah tampil bukan hanya sebagai sistem finansial, tetapi sebagai jalan hidup (way of life) yang mendorong pertumbuhan berkeadilan dan berkelanjutan. Inilah nilai-nilai filosofis yang membedakan ekonomi syariah dari sistem lain, serta menjadi fondasi etis dalam menghadapi tantangan dunia digital saat ini.

2.4 Prinsip Dasar: Larangan Riba, Gharar, dan Maisir

Salah satu fondasi utama dalam sistem ekonomi syariah adalah larangan terhadap unsur-unsur yang dianggap merusak keadilan dan transparansi dalam transaksi. Tiga prinsip utama yang menjadi batasan tegas dalam ekonomi Islam adalah larangan riba (bunga/kelebihan yang tidak sah), gharar (ketidakpastian/ketidaktahuan dalam akad), dan maisir (judi atau spekulasi berlebihan). Larangan ini tidak hanya bersifat hukum formal, tetapi juga merefleksikan nilai moral dan sosial yang ingin ditegakkan Islam dalam aktivitas ekonomi.

1. Riba (Bunga yang Diharamkan)

Riba secara etimologis berarti “tambahan” atau “kelebihan”, dan dalam konteks transaksi keuangan, ia merujuk pada tambahan atas pokok utang tanpa adanya aktivitas ekonomi produktif. Riba dianggap sebagai bentuk kezaliman karena menimbulkan ketimpangan antara kreditur dan debitur, serta menciptakan sistem ekonomi yang menindas pihak yang lemah.[22] Al-Qur’an secara tegas melarang riba, bahkan menyamakannya dengan perbuatan memerangi Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Baqarah: 279).[23]

Dalam sistem ekonomi konvensional, praktik riba dilembagakan melalui sistem bunga. Bank memberikan pinjaman dengan bunga tetap, tanpa mempertimbangkan apakah usaha debitur untung atau rugi. Ekonomi syariah menggantikannya dengan sistem profit and loss sharing (bagi hasil), seperti dalam akad mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dan pengelola) dan musyarakah (kerja sama modal antara dua pihak atau lebih).[24]

2. Gharar (Ketidakjelasan/Uncertainty dalam Akad)

Gharar adalah segala bentuk ketidakjelasan dalam objek transaksi, syarat akad, atau hasil akhir yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah melarang jual beli yang mengandung gharar. Contoh dari gharar adalah menjual barang yang tidak diketahui kualitas atau kuantitasnya, menjual barang yang belum dimiliki, atau menjual hasil panen sebelum waktunya.[25]

Dalam ekonomi modern, praktik gharar sering muncul dalam instrumen derivatif, seperti options atau futures, yang penuh dengan ketidakpastian dan spekulasi tinggi. Dalam dunia digital, gharar juga dapat muncul dalam kontrak digital yang tidak transparan atau sistem keuangan berbasis algoritma yang tidak dimengerti oleh penggunanya. Oleh karena itu, sistem keuangan syariah mengedepankan akad yang jelas, transparan, dan disepakati bersama agar tercipta keadilan.[26]

3. Maisir (Perjudian/Spekulasi Berlebihan)

Maisir atau maysir merujuk pada segala bentuk transaksi yang mengandung unsur judi, yakni peluang mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan pihak lain secara tidak adil. Maisir merusak tatanan ekonomi karena menciptakan ketidakpastian yang disengaja dan mendorong sifat serakah serta tidak produktif.[27]

Dalam ekonomi digital, praktik maisir dapat muncul dalam bentuk investasi bodong, spekulasi di pasar kripto tanpa underlying asset yang jelas, hingga game berbasis reward uang sungguhan. Ekonomi syariah melarang segala bentuk aktivitas yang mirip dengan perjudian karena bertentangan dengan prinsip maslahah (kebaikan umum) dan keadilan sosial.

Penutup Bab 2: Kesimpulan

Bab ini telah menjelaskan bahwa ekonomi syariah merupakan sistem yang bukan hanya bertujuan ekonomi, tetapi juga sarat nilai-nilai filosofis dan teologis yang khas. Dimulai dari pemahaman mendasar mengenai pengertian dan karakteristiknya, ekonomi syariah berbeda secara fundamental dengan sistem ekonomi konvensional karena menempatkan tauhid sebagai asas sentral, keadilan sebagai tujuan, dan keseimbangan sebagai prinsip kerja.

Melalui maqashid al-syariah, ekonomi syariah diarahkan tidak sekadar untuk mencapai kesejahteraan material, tetapi juga untuk menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak bisa dijalankan hanya dengan pendekatan teknis semata, tetapi harus dilandasi oleh kesadaran spiritual dan tujuan syariah yang lebih luas.

Prinsip-prinsip utama seperti larangan riba, gharar, dan maisir merupakan bentuk konkret dari komitmen Islam terhadap etika transaksi dan perlindungan sosial. Dalam konteks digital saat ini, prinsip-prinsip tersebut menjadi sangat relevan sebagai rambu-rambu agar inovasi teknologi, khususnya di bidang keuangan, tidak terlepas dari etika dan keadilan.

Dengan demikian, memahami fondasi filosofis dan teologis ekonomi syariah menjadi langkah awal yang penting sebelum membahas inovasi fintech dan digitalisasi ekonomi. Ekonomi syariah bukan sekadar sistem keuangan bebas bunga, melainkan sebuah paradigma hidup yang mengintegrasikan nilai spiritual, moral, dan sosial dalam kerangka ekonomi yang modern dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka Bab 2

(Chicago Full Note Style)

  • Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance. Chichester: John Wiley & Sons, 2007.
  • Chapra, M. Umer. Islam and the Economic Challenge. Leicester: Islamic Foundation, 1992.
  • Chapra, M. Umer. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester: Islamic Foundation, 2000.
  • Karim, Adiwarman A. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.
  • al-Qaradawi, Yusuf. The Lawful and the Prohibited in Islam. Indianapolis: American Trust Publications, 1994.
  • al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Zakah, translated by Monzer Kahf. Jeddah: Scientific Publishing Centre, King Abdulaziz University, 2000.
  • Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation. Leiden: Brill, 1996.
  • Sholeh, Asrorun Ni’am. “Etika Ekonomi Islam dalam Arus Disrupsi.” Jurnal Hukum Islam 13, no. 2 (2017): 221–224.
  • Sholeh, Asrorun Ni’am. “Etika Syariah dalam Inovasi Produk Keuangan Digital.” Jurnal Hukum Islam 14, no. 1 (2016): 155–158.
  • Siddiqi, Muhammad Nejatullah. Partnership and Profit Sharing in Islamic Law. Leicester: The Islamic Foundation, 1985.
  • Usmani, Muhammad Taqi. An Introduction to Islamic Finance. Karachi: Idaratul Ma’arif, 2000.
  • al-Zuhaili, Wahbah. Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol. 1. Damascus: Dar al-Fikr, 2003.
  • Auda, Jasser. Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought, 2008.


[1] M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective (Leicester: The Islamic Foundation, 2000), 12–15

[2] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 25–27

[3] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective (Leicester: The Islamic Foundation, 1996), 8–10

[4] Asrorun Ni’am Sholeh, “Ekonomi Syariah dalam Perspektif Teologi dan Etika Islam,” dalam Jurnal Hukum Islam 14, no. 1 (2016): 115–118

[5] M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 34–36

[6] Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Karachi: Idaratul Ma’arif, 2000), 18–21

[7] M. Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 55–58

[8] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 92–94

[9] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law (Leicester: The Islamic Foundation, 1985), 10–12

[10] Jasser Auda, Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 19–21

[11] M. Umer Chapra, The Objectives of Islamic Economic Order (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 13–15

[12] Wahbah al-Zuhaili, Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, vol. 1 (Damascus: Dar al-Fikr, 2003), 44–47

[13] Yusuf al-Qaradawi, The Lawful and the Prohibited in Islam (Indianapolis: American Trust Publications, 1994), 83–85

[14] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 101–103

[15] Asrorun Ni’am Sholeh, “Etika Ekonomi Islam dan Perlindungan Maqashid Syariah,” Jurnal Hukum Islam 12, no. 2 (2014): 145–147

[16] Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah, trans. Monzer Kahf (Jeddah: Scientific Publishing Centre, King Abdulaziz University, 2000), 18–20

[17] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 37–39

[18] Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Karachi: Idaratul Ma’arif, 2000), 33–35

[19] Asrorun Ni’am Sholeh, “Etika Ekonomi Islam dalam Arus Disrupsi,” Jurnal Hukum Islam 13, no. 2 (2017): 221–224

[20] M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective (Leicester: Islamic Foundation, 2000), 22–24

[21] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 119–122

[22] Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance (Karachi: Idaratul Ma’arif, 2000), 35–38

[23] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation (Leiden: Brill, 1996), 43–46

[24] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 110–114

[25] Wahbah al-Zuhaili, Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, vol. 1 (Damascus: Dar al-Fikr, 2003), 65–69

[26] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Chichester: John Wiley & Sons, 2007), 97–100

[27] Asrorun Ni’am Sholeh, “Etika Syariah dalam Inovasi Produk Keuangan Digital,” Jurnal Hukum Islam 14, no. 1 (2016): 155–158

Comments

Postingan Populer

Hiburan dalam Islam: Antara Komunikasi, Edukasi, dan Kesehatan Jiwa

Komunikasi Religius sebagai Terapi Jiwa dan Penguat Spiritualitas dalam Islam

12 Ulama Indonesia yang Pemikirannya Diakui Dunia