Candi Cetho, Jejak Majapahit di Puncak Karanganyar yang Menyentuh Langit

Pati, Jawa Tengah - A Rima Mustajab - Candi Cetho, Jejak Majapahit di Puncak Karanganyar yang Menyentuh Langit -  Di atas hamparan pegunungan yang sejuk dan sunyi di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, berdiri megah sebuah peninggalan sejarah bercorak Hindu yang tak hanya menyimpan nilai spiritual mendalam, tetapi juga memancarkan daya tarik arsitektural yang eksotis dan penuh simbolisme. Candi ini bukan hanya sebuah struktur batu yang diam membisu, melainkan sebuah warisan budaya yang hidup, menggambarkan perpaduan antara kekuatan religi, keindahan alam, serta kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Namanya adalah Candi Cetho, sebuah situs sakral yang menjadi saksi bisu dari masa akhir kejayaan Kerajaan Majapahit, yang tetap bertahan dan menembus arus zaman hingga kini.

Sumber Gambar: CNN Indonesia


Candi Cetho, sebagaimana dicatat dalam dokumen resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), diyakini dibangun pada kisaran tahun 1452 hingga 1470 Masehi, tepatnya di masa pemerintahan Prabu Brawijaya V—raja terakhir Majapahit. Letaknya yang tersembunyi di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, menjadikannya tempat yang tenang dan cocok untuk meditasi atau kontemplasi spiritual. Berdiri kokoh di ketinggian sekitar 1.496 meter di atas permukaan laut, Candi Cetho menawarkan suasana yang mistis sekaligus menenangkan, dengan latar belakang pemandangan alam yang menakjubkan dan udara pegunungan yang bersih serta menyegarkan.

Nama "Cetho", yang dalam bahasa Jawa berarti "jelas" atau "terang", memiliki makna yang mendalam. Selain mengacu pada kejelasan pandangan yang dapat dinikmati dari tempat ini—di mana pengunjung bisa menyaksikan panorama alam yang terbentang luas dan jernih dari berbagai penjuru—kata tersebut juga dapat dimaknai sebagai simbol dari pencarian pencerahan spiritual. Tak heran jika hingga kini, tempat ini tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan biasa, tetapi juga oleh para peziarah dan praktisi spiritual yang mencari ketenangan batin atau ingin menyatu dengan alam dan Sang Pencipta melalui laku-laku tapa dan ritual tradisional.

Keunikan Candi Cetho tidak hanya terletak pada lokasinya yang menantang dan eksotis, tetapi juga pada struktur bangunannya yang khas dan berbeda dari kebanyakan candi Hindu di Jawa. Candi ini lebih menyerupai terasering, dengan susunan pelataran yang menaik secara bertingkat hingga ke bangunan utama di puncaknya. Setiap pelataran memuat simbol dan ornamen yang mencerminkan ajaran-ajaran Hindu, serta filosofi tentang perjalanan hidup manusia menuju kesucian. Kombinasi antara aspek spiritual, arsitektur, dan panorama menjadikan Candi Cetho sebagai salah satu destinasi budaya dan wisata sejarah yang penting, tidak hanya bagi masyarakat Jawa Tengah, tetapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan.


Jejak Sejarah yang Terpahat Abadi

Pertama kali ditemukan oleh peneliti Belanda bernama Van der Vlis pada tahun 1842, Candi Cetho diyakini bukan hanya sebagai tempat ibadah biasa, melainkan juga sebagai pusat spiritual dan tempat penyucian diri bagi para penganut ajaran Hindu pada masa akhir Majapahit. Penemuan ini menjadi titik awal perhatian akademik terhadap keberadaan situs-situs budaya di lereng Gunung Lawu, yang sebelumnya tersembunyi oleh lebatnya hutan dan kabut tebal pegunungan.

Dalam prasasti dan relief yang menghiasi bangunan candi, kita dapat menjumpai berbagai simbol spiritual yang sarat makna, seperti arca Ganesha sebagai lambang ilmu pengetahuan dan penghalau rintangan, Kalacakra sebagai simbol kosmologi dan waktu, serta narasi yang terinspirasi dari kisah-kisah klasik Hindu, salah satunya Kidung Sudamala yang menceritakan proses penyucian dan pembebasan dari kutukan. Kehadiran relief-relief ini bukan hanya menunjukkan keberadaan unsur keagamaan yang kuat, tetapi juga mencerminkan sinkretisme budaya Jawa yang menggabungkan ajaran Hindu dengan kepercayaan lokal dan filosofi kehidupan masyarakat.

Arsitektur Candi Cetho sendiri mengadopsi bentuk punden berundak, struktur khas megalitik Nusantara yang telah ada jauh sebelum Hindu-Buddha masuk ke Jawa. Dengan susunan teras-teras bertingkat dari bawah ke atas, candi ini mengisyaratkan perjalanan spiritual manusia dari alam profan menuju alam sakral—sebuah simbolisasi kenaikan jiwa menuju pencerahan. Bentuk arsitektur seperti ini juga dapat kita lihat pada Candi Sukuh yang tidak jauh letaknya dari Candi Cetho, dan keduanya sama-sama menunjukkan adanya pergeseran gaya arsitektur keagamaan pada masa-masa akhir kejayaan Hindu di Jawa, menuju bentuk yang lebih sederhana namun sarat makna filosofis.

Pemugaran besar-besaran terhadap Candi Cetho dilakukan pada tahun 1970 oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan para arkeolog dan budayawan. Upaya pelestarian ini penting untuk menjaga keaslian bentuk dan fungsi candi, sekaligus membuka akses bagi publik yang ingin mengenal lebih dekat warisan sejarah bangsa. Kini, Candi Cetho telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dan menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Tengah.

Namun demikian, fungsi Candi Cetho tidak semata-mata sebagai objek wisata sejarah. Sampai hari ini, candi ini masih digunakan oleh sebagian masyarakat, khususnya penganut Hindu dan Kejawen, untuk melaksanakan ritual-ritual spiritual seperti ruwatan, bersih desa, dan berbagai upacara adat lainnya. Pada hari-hari tertentu, terutama menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan, kompleks candi akan dipenuhi oleh umat yang datang membawa sesaji, dupa, dan doa-doa pengharapan, menghidupkan kembali denyut spiritualitas yang sejak dahulu menjadi ruh dari tempat ini. Dalam keheningan kabut yang menyelimuti lereng Lawu, Candi Cetho terus berdiri sebagai pengingat bahwa sejarah, budaya, dan keyakinan adalah tiga pilar yang tak terpisahkan dari identitas bangsa.


11 Teras yang Sarat Makna

Salah satu aspek paling memukau dari Candi Cetho adalah keberadaan sebelas teras yang membentang secara berundak dari barat ke timur, mengikuti kontur alami lereng Gunung Lawu. Susunan ini tidak hanya berfungsi sebagai penataan ruang semata, tetapi juga sarat simbolisme perjalanan spiritual manusia menuju kesempurnaan jiwa. Dalam tradisi kepercayaan Hindu dan Kejawen, perjalanan dari teras bawah menuju teras puncak mencerminkan tahapan-tahapan penyucian batin, mulai dari melepas keduniawian hingga mencapai pencerahan atau moksha.

Teras pertama yang menyambut pengunjung biasanya dipenuhi oleh sesajen atau persembahan yang diletakkan dalam wadah-wadah sederhana. Di sini, pengunjung diajak untuk mengosongkan diri dari segala hal yang bersifat duniawi sebagai langkah awal memasuki ruang sakral. Teras kedua menampilkan batu-batu yang disusun menyerupai bentuk simbolik: Garuda sebagai lambang kebebasan dan wahana Dewa Wisnu, kura-kura sebagai simbol penyangga dunia (kurma) dalam mitologi Hindu, serta matahari yang menjadi sumber cahaya dan pengetahuan spiritual. Ketiganya merepresentasikan fondasi kosmologi Hindu yang berpadu dengan tradisi lokal.

Memasuki teras ketiga dan keempat, pengunjung disuguhi relief manusia dan binatang yang terpahat dalam batu. Masing-masing menggambarkan interaksi antara dunia manusia dengan alam sekitarnya, sekaligus menyampaikan pesan moral dan etika hidup. Di salah satu sudut, terdapat arca Bima, tokoh Pandawa dari epos Mahabharata, yang digambarkan sebagai sosok penjaga gerbang spiritual. Kehadirannya bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga sebagai pelindung nilai-nilai kebenaran dalam perjalanan manusia.

Teras kelima hingga kedelapan memasuki wilayah yang lebih sakral, di mana aktivitas sembahyang dan meditasi dilakukan. Di sini terdapat struktur seperti Pendapa Luar dan Pendapa Dalam yang kerap digunakan untuk upacara spiritual dan ruwatan. Dua arca penting, Kalacakra dan Ganesha, hadir sebagai simbol waktu yang kekal dan kecerdasan ilahiah. Kalacakra, atau roda waktu, menegaskan bahwa setiap manusia hidup dalam siklus kelahiran dan kematian, sementara Ganesha menjadi pelindung perjalanan spiritual dari segala bentuk rintangan.

Teras kesembilan hingga kesebelas adalah puncak dari perjalanan spiritual tersebut. Pada area ini, pengunjung akan menemukan arca legendaris Prabu Brawijaya, tokoh penting dalam sejarah akhir Majapahit, serta dua tokoh penasihat spiritualnya, Sabdapalon dan Nayagenggong, yang diyakini sebagai pengemban kearifan Jawa. Di sudut tertentu, terdapat ruang penyimpanan pusaka yang konon merupakan tempat persembunyian Empu Supa, empu pembuat keris yang kesohor karena keahliannya dalam menempa logam dengan energi spiritual tinggi.

Semua ini berpuncak pada teras tertinggi yang menjadi ruang utama pesanggrahan Prabu Brawijaya. Area ini dikelilingi dinding batu setinggi 1,6 meter, memberikan kesan tertutup dan sakral. Tempat ini dipercaya sebagai lokasi Prabu Brawijaya mengasingkan diri dan menyatu dengan alam dalam semadi terakhirnya. Secara simbolik, ruang ini melambangkan pencapaian spiritual tertinggi, di mana seseorang telah mencapai titik penyatuan antara jasmani dan rohani, antara manusia dan Tuhan.


Lokasi, Akses, dan Fasilitas

Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Untuk mencapainya, terdapat dua rute utama yang bisa dipilih: melalui jalur Tawangmangu yang dikenal dengan keindahan alam pegunungannya, atau jalur Matesih yang lebih menantang dengan tikungan tajam namun menyuguhkan panorama kebun teh yang luas membentang. Perjalanan menuju Candi Cetho memang bukan perjalanan biasa—ia adalah bagian dari pengalaman itu sendiri.

  • Alamat: Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kec. Jenawi, Kab. Karanganyar, Jawa Tengah
  • Jam operasional: Setiap hari pukul 08.00 – 17.00 WIB
  • Harga tiket: Rp10.000 per orang
  • Biaya parkir: Rp3.000 untuk motor, Rp5.000 untuk mobil
  • Fasilitas umum: Toilet, musala, toko oleh-oleh, area parkir, serta warung-warung lokal yang menyediakan makanan ringan dan minuman tradisional


Refleksi: Warisan Leluhur yang Membumi dan Melangit

Di tengah derasnya arus modernisasi dan perkembangan teknologi yang terus melaju tanpa henti, Candi Cetho hadir sebagai pengingat akan pentingnya akar budaya dan spiritualitas. Ia bukan sekadar situs arkeologi yang memajang batu-batu kuno, melainkan ruang hidup yang menyimpan napas peradaban. Warisan ini bukan hanya untuk dikagumi secara visual, tetapi juga direnungi secara batiniah—bagaimana leluhur kita membangun tempat suci dengan filosofi mendalam yang masih relevan hingga hari ini.

Bagi para peziarah spiritual, Candi Cetho adalah altar semesta yang menghubungkan bumi dan langit. Bagi para pecinta sejarah, ia adalah naskah terbuka yang terus menulis dirinya melalui prasasti dan bentuk-bentuk yang penuh simbol. Dan bagi pelancong urban yang mencari ketenangan, candi ini adalah tempat jeda, ruang kontemplasi, dan pelajaran tentang keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Candi Cetho adalah wajah lain dari Indonesia—sebuah negeri yang tidak hanya kaya akan keindahan alam, tetapi juga mendalam dalam jejak sejarah dan kearifan spiritualnya. Ia membumi karena berasal dari tanah dan masyarakatnya, dan sekaligus melangit karena mengarahkan jiwa untuk menyatu dengan semesta.


Penutup

Candi Cetho bukan hanya merupakan situs sejarah yang mencerminkan kejayaan budaya Hindu-Jawa pada masa akhir Majapahit, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan spiritual dan kearifan lokal yang masih hidup hingga kini. Setiap teras, relief, dan arca yang menghiasi kawasan candi menyimpan makna simbolis yang mendalam, mengajak siapa pun yang datang untuk merenung tentang hakikat hidup, hubungan manusia dengan alam, serta pencarian spiritual menuju kesempurnaan diri.

Sebagai bagian dari warisan budaya bangsa, pelestarian Candi Cetho bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Melalui apresiasi yang tulus dan pemahaman yang mendalam, Candi Cetho akan terus hidup sebagai sumber pengetahuan, ruang spiritual, dan cermin identitas budaya Indonesia di tengah arus globalisasi yang terus bergulir. Dengan menjaga dan merawatnya, kita bukan hanya melestarikan bangunan fisik, tetapi juga merawat ruh peradaban yang diwariskan oleh para leluhur.


Daftar Pustaka

  • Darmoko, M. (2012). Relief dan Simbol dalam Seni Arsitektur Candi Hindu Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

  • Soekmono, R. (1995). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.

  • Damarjati, D. (2007). Arsitektur dan Kosmologi Hindu-Jawa: Studi Kasus Candi Cetho dan Candi Sukuh. Jakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya.

  • Wahyudi, S. (2018). Kosmologi dan Spiritualitas dalam Situs Peninggalan Majapahit. Surakarta: UNS Press.

  • Tim BPCB Jawa Tengah. (2020). Laporan Pemugaran dan Inventarisasi Cagar Budaya: Candi Cetho. Semarang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Comments