Guru Ideal dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Jawa Kuno dan Jawa Baru
Guru Ideal dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Jawa Kuno dan Jawa Baru- Dalam dunia pendidikan, guru memiliki peran sentral dalam membimbing, mengarahkan, dan memberikan ilmu kepada para siswa. Dalam teori pendidikan secara umum, guru yang ideal adalah individu yang telah mencapai kedewasaan baik secara intelektual maupun emosional. Hal ini sejalan dengan filsafat pendidikan Jawa Kuno yang menekankan bahwa seorang guru tidak hanya harus memiliki pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga kualitas batin yang stabil dan tenang, yang disebut sebagai karakter Sattwa.
![]() |
Foto: Wisuda ilmu hadist dalam Wisuda 9 Maret 2024 |
Karakter Guru dalam Filsafat Pendidikan Jawa Kuno
Dalam filsafat pendidikan Jawa Kuno, guru yang ideal adalah mereka yang memiliki keseimbangan antara soft skills dan hard skills. Guru tidak cukup hanya menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga harus memiliki kestabilan emosi dan ketenangan batin yang tinggi. Karakter guru yang baik harus mencerminkan 27 elemen karakter Sattwa, seperti:
- Memiliki hati yang lurus dan jujur
- Berbicara dengan lembut dan penuh kebijaksanaan
- Menghormati orang lain
- Tidak mudah terpengaruh oleh godaan duniawi
- Senantiasa berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan
Dengan memiliki karakter Sattwa, seorang guru dapat menjadi teladan bagi siswanya dan menciptakan lingkungan belajar yang harmonis dan kondusif.
Konsep Guru dalam Filsafat Jawa Baru (Islam)
Dalam filsafat Jawa Baru yang dipengaruhi oleh ajaran Islam, konsep guru yang baik juga dijelaskan dalam berbagai literatur klasik, salah satunya adalah Serat Wulang Reh karya Pakubuwono IV. Dalam kitab ini, guru yang baik harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1. Benar perbuatannya – Bertindak sesuai dengan norma dan nilai moral yang berlaku.
2. Bermartabat – Memiliki kehormatan dan menjaga nama baiknya sebagai pendidik.
3. Mengerti hukum – Memahami hukum baik dalam konteks agama maupun sosial.
4. Rajin beribadah dan saleh – Memiliki kedekatan dengan Tuhan melalui ibadah.
5. Suka bertapa (puasa) – Melatih diri dalam pengendalian nafsu dan hawa nafsu.
6. Tidak memikirkan pemberian orang lain – Memiliki sifat qana'ah (merasa cukup) dan tidak bergantung pada materi.
Selain Serat Wulang Reh, dalam Serat Hidayat Jati, dijelaskan bahwa seorang guru harus memiliki delapan kompetensi utama, yaitu:
1. Paramasastra – Mahir dalam ilmu pengetahuan.
2. Paramakawi – Mahir dalam ilmu bahasa.
3. Mardibasa – Mampu mengolah ucapan dengan baik.
4. Mardawalagu – Mahir dalam seni suara.
5. Hawicarita – Memiliki banyak pengetahuan sejarah.
6. Mandraguna – Memiliki banyak keterampilan dan kemampuan.
7. Nawungkridha – Mahir dalam aspek spiritualitas.
8. Sambegana – Memiliki ingatan yang kuat.
Dengan memenuhi kriteria ini, seorang guru tidak hanya menjadi sumber ilmu bagi murid-muridnya tetapi juga menjadi sosok panutan yang mampu membimbing mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Evaluasi Pendidikan dalam Filsafat Jawa Kuno
Evaluasi pendidikan dalam filsafat Jawa Kuno tidak hanya menilai aspek kognitif siswa, tetapi juga mencakup lima dimensi penting, yaitu:
1. Kesadaran – Kemampuan siswa dalam memahami makna pembelajaran dan implikasinya dalam kehidupan.
2. Persepsi – Cara siswa dalam menginterpretasikan dan menginternalisasi ilmu yang diperoleh.
3. Kognitif – Tingkat pemahaman dan daya ingat siswa terhadap materi yang diajarkan.
4. Afektif – Sikap, nilai, dan emosi yang berkembang dalam diri siswa akibat pembelajaran.
5. Psikomotor – Kemampuan fisik dan keterampilan motorik siswa dalam menerapkan ilmu yang telah dipelajari.
Pendekatan ini menekankan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari nilai akademik, tetapi juga dari perkembangan karakter dan keterampilan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Filsafat pendidikan Jawa Kuno dan Jawa Baru memberikan pandangan yang holistik mengenai sosok guru yang ideal. Seorang guru tidak hanya harus cerdas dan berilmu, tetapi juga memiliki karakter yang stabil, spiritualitas yang tinggi, serta moralitas yang baik. Evaluasi pendidikan juga harus mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, sehingga tujuan pendidikan tidak hanya mencetak individu yang pintar, tetapi juga berkarakter dan berbudi luhur.
Dengan memahami filosofi ini, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, di mana guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pembimbing dan teladan bagi para siswa.
Comments