Sejarah Desa Raci: Antara Dongeng, Jejak Raja Cilik, dan Toponimi Pedukuhan

Sejarah Desa Raci: Antara Dongeng, Jejak Raja Cilik, dan Toponimi Pedukuhan

Pendahuluan

Sejarah desa-desa di Jawa pada umumnya tidak selalu dapat dilacak melalui prasasti atau naskah kuno. Banyak di antaranya hanya bertahan melalui cerita tutur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Demikian pula dengan Desa Raci, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Hingga kini, asal-usul Desa Raci belum dapat dipastikan dengan akurat. Tidak ada catatan resmi atau arsip kolonial yang secara langsung menyebutkan bagaimana desa ini terbentuk. Yang ada hanyalah fragmen kisah yang diceritakan para sesepuh, kemudian disusun kembali agar menjadi sebuah narasi sejarah.¹

Uniknya, kisah sejarah Desa Raci terbagi dalam beberapa versi: versi pertama bersumber dari dongeng tentang Ki Marto Kusumo, murid Sunan Bonang; versi kedua terkait dengan perbandingan nama Raci di daerah lain yang berarti "Raja Cilik"; dan versi ketiga berupa asal-usul pedukuhan di Desa Raci yang masih bisa ditelusuri melalui toponimi lokal.

Artikel ini akan menguraikan secara rinci ketiga versi tersebut, sekaligus menganalisis nilai budaya, filosofi, dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.


---

Versi Pertama: Dongeng Ki Marto Kusumo dan Keturunannya

Ki Marto Kusumo, Murid Sunan Bonang

Dalam cerita tutur, Ki Marto Kusumo disebut sebagai salah seorang murid Sunan Bonang. Setelah selesai menimba ilmu, ia diperintahkan gurunya untuk menyebarkan pengetahuan di sebuah wilayah yang masih berupa hutan belantara. Untuk menentukan lokasi, Sunan Bonang melemparkan sebuah tongkat (teken), dan tempat jatuhnya tongkat itu ditetapkan sebagai Pakuwon, cikal bakal pemukiman baru.²

Ki Marto Kusumo memiliki dua anak: Dipoyono (laki-laki) dan Madiyah (perempuan). Mereka inilah yang kemudian membuka wilayah baru dengan cara mbabat alas.³

Dipoyono dan Madiyah Membuka Lahan

Dipoyono bekerja keras menebang hutan. Daerah yang dibuka olehnya dinamakan Bentakan, sesuai terangnya lahan yang mulai terbuka. Sedangkan Madiyah, karena perempuan, tidak kuat menebang pohon, maka ia membakar hutan. Dari cara ini lahirlah wilayah Karang Turi, di sekitar punden SD Raci.⁴

Madiyah kemudian menikah dengan Joko Taruna. Dari perkawinannya, mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Suyono.

Legenda Sumber Brumbung

Saat musim kemarau panjang, masyarakat kekurangan air. Ki Joko Taruna lalu melakukan semedi dan mendapat wangsit bahwa ada sumber air besar di selatan. Setelah digali, keluarlah air deras hingga meluber ke mana-mana. Karena banjir, sumber itu ditutup dengan duk sehingga tinggal aliran kecil. Tempat itu kemudian dikenal sebagai Sumur Brumbung.⁵

Kisah Tragis Suyono

Suyono, putra Joko Taruna dan Madiyah, jatuh cinta pada Sulastri, gadis dari Pakuwon. Namun pernikahan mereka ditentang orang tua. Suyono bersumpah lebih baik mati daripada gagal menikah. Benar saja, ketika rombongan lamaran berangkat, petir menyambar hingga lamaran batal. Suyono kemudian meninggal, jasadnya dimakamkan di sebuah tanah yang terpisah seperti pulau, sehingga dikenal dengan nama Makam Pulau.⁶

Raci Sidomulyo dan Petilasan Nyi Madiyah

Karena Madiyah dikenal sebagai peracik jamu, banyak tempat yang dinamai sesuai aktivitasnya. Desa yang ditempati keturunannya dinamai Raci Sidomulyo, berasal dari kata raci (meracik jamu). Madiyah dimakamkan di sisi timur Jomblang Raci, sedangkan suaminya di Mambung. Hingga kini, beberapa pohon kemuning dan doro masih dianggap sebagai punden peninggalannya.⁷


---

Versi Kedua: Raci sebagai Raja Cilik

Selain versi dongeng, ada juga tafsir etimologi nama Raci. Menurut beberapa sumber, kata Raci berasal dari Raja Cilik, yaitu pemimpin lokal di bawah kekuasaan kawedanan atau bupati.⁸

Hal ini sejalan dengan penuturan sejarah Raci Wetan, Gresik, yang dulu dikenal sebagai Desa Ngablak. Setelah dipimpin oleh Demang Danipa, desa tersebut berubah nama menjadi Raci Wetan.⁹

Berdasarkan logika historis, nama-nama desa dengan unsur "Raci" kemungkinan besar memang memiliki pola yang sama: berasal dari wilayah perdikan kecil yang dipimpin seorang demang atau pejabat setingkat lurah dengan otoritas terbatas.

Maka, Desa Raci di Batangan, Pati, sangat mungkin dulunya adalah wilayah perdikan di bawah pengaruh Kawedanan Juwana. Banyak keluarga bangsawan kecil dari Juwana yang disebut tinggal di wilayah ini.¹⁰


---

Versi Ketiga: Asal-usul Pedukuhan di Desa Raci

Selain kisah besar tentang Ki Marto Kusumo dan tafsir "Raja Cilik", sejarah Desa Raci juga bisa ditelusuri dari asal-usul nama dukuh atau dusun yang ada di dalamnya.

1. Dukuh Sawahan – awalnya berupa hamparan sawah yang kemudian berkembang menjadi pemukiman. Kini terbagi menjadi Sawahan Lor, Tengah, dan Kidul.¹¹


2. Dukuh Nyamplung – berasal dari kata nyemplung, tempat kerbau mandi lumpur di rawa. Ada juga teori bahwa dulu banyak pohon nyamplung.¹²


3. Dukuh Demping – dari kata pinggir, karena letaknya di pinggiran desa.¹³


4. Dukuh Mambung – berasal dari kondisi tanah lempung berlumpur (mambeng).¹⁴


5. Dukuh Karang Turi – dinamakan karena banyak ditumbuhi pohon turi.¹⁵


6. Dukuh Ketitang – kemungkinan terkait pemakaman kuno atau makna jarang-jarang (rumah yang berjauhan).¹⁶


7. Kali Klatak – jembatan papan kayu di atas sungai berbunyi klatak-klatak.¹⁷


8. Kali Seganten – dari kisah pengantin yang hilang di sungai.¹⁸


9. Kali Jabang Bayi/Bang Bayi – dari kisah bayi hanyut, lalu dibungkus di tepi kali (gedong).¹⁹


10. Sumur Brumbung – dari mata air yang disumbat (disrumbung) agar tidak banjir.²⁰


11. Pulo (Sawahan Kidul) – makam kuno yang terpencil, sehingga disebut pulau.²¹




---

Analisis Nilai Budaya

Sejarah Desa Raci, baik dalam versi dongeng maupun toponimi, memuat sejumlah nilai budaya penting:

1. Spiritualitas Jawa – semedi, wangsit, dan petilasan menunjukkan cara pandang kosmologis masyarakat.


2. Etika Sosial – kisah Suyono menjadi pelajaran tentang restu orang tua dan dampak sumpah emosional.


3. Kearifan Lokal – sumur brumbung dan sistem sawah mencerminkan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam.


4. Identitas Kolektif – penamaan dukuh memperlihatkan bagaimana masyarakat mengikat memori mereka dengan lingkungan.


5. Legitimasi Kekuasaan – tafsir “Raja Cilik” menegaskan posisi Raci dalam struktur pemerintahan tradisional.




---

Penutup

Sejarah Desa Raci adalah mosaik yang tersusun dari dongeng, tafsir etimologis, dan toponimi lokal. Tidak ada satu versi yang bisa dianggap paling benar, sebab semua adalah bagian dari ingatan kolektif.

Bagi masyarakat, kisah-kisah ini bukan sekadar legenda, melainkan penanda identitas yang meneguhkan ikatan mereka dengan tanah leluhur. Dari Sumur Brumbung, Makam Pulau, hingga dukuh-dukuh kecil, semua adalah bagian dari narasi yang membentuk Desa Raci hari ini.

Dengan demikian, sejarah Desa Raci perlu terus didokumentasikan, baik melalui blog desa, penelitian akademik, maupun penuturan lisan, agar generasi mendatang tetap dapat memahami akar budaya mereka.


---

Catatan Kaki

1. Supriyanto Siwar, Sejarah Desa Raci, naskah tutur desa, diakses melalui blog desa Raci (2023).


2. Ibid.


3. Ibid.


4. Ibid.


5. Ibid.


6. Ibid.


7. Ibid.


8. Ahmad Asrorifa’, Sejarah Singkat Raci Wetan, dalam Blogspot Racibaru, 2014.


9. Ibid.


10. Penuturan sesepuh Desa Raci, dalam wawancara lisan, 2023.


11. Blog Desa Raci, Asal-usul Dukuh Sawahan, 2023.


12. Ibid.


13. Ibid.


14. Ibid.


15. Ibid.


16. Ibid.


17. Ibid.


18. Ibid.


19. Ibid.


20. Ibid.


21. Ibid.

Comments