Respons Akademisi Muslim terhadap Pemikiran Mernissi
Grobogan: Autiya Nila Agustina - Respons Akademisi Muslim terhadap Pemikiran Mernissi - Pemikiran Fatimah Mernissi tentang gender dalam Islam telah memicu berbagai respons dari kalangan akademisi Muslim, baik yang mendukung maupun yang mengkritik pandangannya. Sebagai seorang intelektual yang berani menantang interpretasi Islam yang dianggap patriarkal, Mernissi mendapat apresiasi dari banyak akademisi progresif, tetapi juga menuai kritik dari para pemikir konservatif yang menganggap gagasannya sebagai bentuk dekonstruksi terhadap tradisi Islam yang mapan.
1. Dukungan dari Akademisi Muslim Progresif
Banyak akademisi Muslim yang mendukung gagasan Mernissi, terutama yang berfokus pada reformasi pemikiran Islam dan feminisme Islam. Para pendukungnya menilai bahwa pendekatan kritis Mernissi terhadap hadis-hadis yang misoginis sangat relevan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Muslim.
Beberapa akademisi seperti Amina Wadud dan Asma Barlas sejalan dengan pemikiran Mernissi dalam hal perlunya reinterpretasi terhadap teks-teks Islam yang selama ini ditafsirkan secara patriarkal. Mereka berpendapat bahwa Islam pada dasarnya menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, tetapi sejarah dan politik telah mengkonstruksi peran perempuan secara tidak adil. Oleh karena itu, karya-karya Mernissi sering menjadi rujukan dalam studi gender di dunia Islam, khususnya dalam kajian feminisme Islam dan studi tafsir berbasis gender.
Di beberapa negara Muslim, terutama di kawasan Maghreb dan Timur Tengah, pemikiran Mernissi menjadi dasar bagi gerakan reformasi hukum keluarga dan hak-hak perempuan. Misalnya, di Maroko, ide-ide Mernissi tentang perempuan dalam Islam turut berkontribusi dalam reformasi Moudawana (hukum keluarga) yang lebih berorientasi pada kesetaraan gender.
2. Kritik dari Kalangan Konservatif
Di sisi lain, pemikiran Mernissi mendapatkan banyak kritik dari kalangan akademisi Muslim konservatif. Kritik utama mereka adalah bahwa metode yang digunakan Mernissi dalam menafsirkan teks Islam dianggap terlalu dipengaruhi oleh pemikiran Barat dan feminisme sekuler.
Beberapa ulama dan akademisi Islam tradisional, seperti Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dan Yusuf al-Qaradawi, menolak pendekatan Mernissi dalam membaca hadis. Mereka berpendapat bahwa hadis harus dipahami dalam konteks disiplin ilmu hadis yang ketat, bukan melalui pendekatan historis dan sosiologis seperti yang dilakukan Mernissi. Menurut mereka, mengkritisi hadis dengan metode yang tidak sesuai dengan standar ilmu hadis dapat berisiko merusak otoritas Islam itu sendiri.
Selain itu, kritik juga datang dari kalangan akademisi Muslim yang menilai bahwa pemikiran Mernissi terlalu radikal dan dapat menimbulkan ketegangan antara tradisi Islam dan modernitas. Mereka berargumen bahwa perubahan dalam hukum Islam harus dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan prinsip maqashid syariah (tujuan syariah), bukan dengan pendekatan dekonstruksi yang dianggap terlalu tajam.
3. Respons dari Akademisi Muslim Moderat
Di antara kedua kutub tersebut, ada juga akademisi Muslim moderat yang mencoba menengahi perdebatan ini dengan pendekatan yang lebih seimbang. Beberapa pemikir seperti Ziba Mir-Hosseini dan Leila Ahmed mengapresiasi pemikiran Mernissi tetapi juga menekankan bahwa perubahan dalam pemikiran Islam harus mempertimbangkan konteks sosial dan budaya masyarakat Muslim.
Mereka berpendapat bahwa meskipun kritik Mernissi terhadap hadis-hadis misoginis valid, perlu ada strategi yang lebih persuasif agar ide-idenya dapat diterima di masyarakat Muslim yang lebih luas. Oleh karena itu, mereka mengusulkan pendekatan yang lebih berbasis dialog dan partisipatif dalam mereformasi wacana gender dalam Islam.
Kesimpulan
Respons akademisi Muslim terhadap pemikiran Mernissi menunjukkan adanya perdebatan yang dinamis dalam studi Islam dan gender. Sementara para akademisi progresif menganggapnya sebagai pelopor feminisme Islam yang berani, para pemikir konservatif menolak gagasannya dengan alasan metodologi yang digunakan tidak sesuai dengan tradisi keilmuan Islam.
Namun, yang jelas, pemikiran Mernissi telah membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai peran perempuan dalam Islam dan bagaimana teks-teks Islam dapat dibaca ulang dengan perspektif yang lebih inklusif. Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkannya, gagasan Mernissi tetap relevan dalam diskursus akademik dan terus menjadi bahan kajian dalam studi gender di dunia Islam.
Comments