Perbandingan Pemikiran Mernissi dengan Tokoh Feminisme Islam Lainnya
Grobogan, Jawa Tengah, Indonesia - Autiya Nila Agustina - Perbandingan Pemikiran Mernissi dengan Tokoh Feminisme Islam Lainnya -
Fatimah Mernissi bukan satu-satunya intelektual Muslim yang mengangkat isu gender dalam Islam. Pemikirannya memiliki banyak kesamaan dengan tokoh feminisme Islam lainnya, seperti Amina Wadud, Asma Barlas, Leila Ahmed, dan Ziba Mir-Hosseini, tetapi juga memiliki beberapa perbedaan dalam pendekatan dan fokus kajiannya. Dengan membandingkan pemikiran Mernissi dengan tokoh-tokoh tersebut, dapat dipahami bagaimana feminisme Islam berkembang dengan berbagai perspektif dan metode analisis.
1. Fatimah Mernissi vs. Amina Wadud
Amina Wadud adalah salah satu tokoh feminisme Islam yang dikenal dengan pendekatan tafsir Al-Qur’an berbasis gender. Dalam karyanya, Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, Wadud menekankan bahwa Al-Qur’an harus dibaca dengan mempertimbangkan konteks historis dan prinsip kesetaraan gender yang terkandung di dalamnya. Ia berargumen bahwa banyak ayat yang tampak patriarkal sebenarnya merupakan hasil interpretasi yang dipengaruhi oleh budaya patriarki.
Dibandingkan dengan Wadud, Mernissi lebih banyak menggunakan pendekatan historis dan sosiologis dalam menelaah bagaimana konstruksi gender dalam Islam berkembang. Mernissi lebih fokus pada kritik terhadap hadis-hadis misoginis dan sejarah politik Islam yang membatasi perempuan, sementara Wadud lebih menitikberatkan pada tafsir Al-Qur’an yang inklusif bagi perempuan. Meski demikian, keduanya sepakat bahwa Islam pada dasarnya menjunjung tinggi keadilan gender, tetapi telah disalahartikan oleh struktur patriarki yang mengakar.
2. Fatimah Mernissi vs. Asma Barlas
Asma Barlas, dalam bukunya “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an, berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mendukung patriarki dan bahwa kesetaraan gender merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam. Barlas menolak anggapan bahwa Islam itu sendiri mendukung ketidaksetaraan, tetapi menyoroti bagaimana tafsir yang didominasi oleh laki-laki telah menyebabkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Mernissi dan Barlas sama-sama menolak pemahaman patriarkal terhadap Islam, tetapi pendekatan mereka berbeda. Jika Barlas berfokus pada dekonstruksi tafsir Al-Qur’an, Mernissi lebih banyak mengkaji bagaimana kekuasaan politik dan hadis-hadis tertentu telah membentuk budaya patriarki dalam Islam. Barlas lebih menekankan pada pembacaan ulang teks agama dengan metode hermeneutika, sedangkan Mernissi lebih banyak menggunakan pendekatan sejarah sosial.
3. Fatimah Mernissi vs. Leila Ahmed
Leila Ahmed, dalam bukunya Women and Gender in Islam, mengkaji perkembangan gender dalam Islam dari perspektif sejarah. Ia menunjukkan bahwa dalam periode awal Islam, perempuan memiliki lebih banyak kebebasan dibandingkan dengan era setelahnya, terutama setelah pengaruh budaya patriarki dari peradaban lain masuk ke dunia Islam. Ahmed juga menyoroti bagaimana kolonialisme telah memengaruhi wacana tentang perempuan dalam Islam, dengan banyak kebijakan kolonial yang menggunakan isu perempuan untuk mendiskreditkan Islam.
Kesamaan antara Mernissi dan Ahmed terletak pada analisis sejarah mereka terhadap peran perempuan dalam Islam. Namun, Mernissi lebih banyak menyoroti bagaimana teks-teks Islam tertentu digunakan untuk membenarkan subordinasi perempuan, sementara Ahmed lebih menekankan bagaimana faktor sosial, budaya, dan kolonialisme membentuk persepsi tentang perempuan dalam dunia Islam.
4. Fatimah Mernissi vs. Ziba Mir-Hosseini
Ziba Mir-Hosseini adalah seorang antropolog hukum Islam yang berfokus pada reformasi hukum keluarga di negara-negara Muslim. Dalam karyanya, ia menyoroti bagaimana hukum Islam sering kali diinterpretasikan secara patriarkal dan menyerukan reformasi hukum yang lebih adil bagi perempuan.
Dibandingkan dengan Mir-Hosseini, Mernissi lebih menyoroti aspek politik dan sejarah dalam pembatasan peran perempuan, sedangkan Mir-Hosseini lebih menekankan pada aspek hukum. Namun, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan ruang bagi perempuan Muslim untuk memperoleh hak-hak mereka tanpa harus kehilangan identitas keislaman mereka.
Kesimpulan
Meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, Fatimah Mernissi dan para pemikir feminisme Islam lainnya berbagi tujuan yang sama: membebaskan perempuan Muslim dari tafsir agama yang patriarkal dan membangun pemahaman Islam yang lebih adil dan inklusif. Perbandingan ini menunjukkan bahwa feminisme Islam bukanlah gerakan yang homogen, tetapi memiliki beragam perspektif yang saling melengkapi. Pemikiran Mernissi tetap relevan dalam diskusi feminisme Islam, terutama dalam hal dekonstruksi hadis-hadis misoginis dan analisis historis terhadap peran perempuan dalam Islam.
Comments