Ila’, Toxic Marriage, dan Perlindungan Perempuan: Ketika Sumpah Suami Beradu dengan Budaya Hubungan Beracun
![]() |
Sumber Gambar: Nahdlatul Ulama (NU) Online |
Pengantar: Di Balik Dinding Rumah yang Terlihat Teduh
Di mata tetangga, rumah Rahma dan Fikri tampak adem. Pagar putih, pot sirih gading terawat, dan suara adzan magrib selalu terdengar lembut dari dalam. Namun di balik pintu kayu jati itu, Rahma menjalani hari‐hari sunyi: Fikri bersumpah tidak akan menyentuhnya selama‑lamanya gara‑gara pertengkaran kecil tentang gaji yang tak cukup. Ia tak diceraikan, tapi juga tak dipeluk, tak disentuh, bahkan tak diajak bicara. Guru‑guru A‑Z tentang cinta menyebut ini “silent treatment”; fikih Islam mengenalnya sebagai ila’—sebuah sumpah suami yang, bila disalahgunakan, menjadi senjata psikologis luar biasa.
Fenomena semacam itu bukan fiksi belaka. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 40 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan sepanjang 2024; bentuk kekerasan psikis dan seksual menempati porsi terbesar — 26,9 % masing‑masing komnasperempuan.go.id. Angka ini hanyalah puncak gunung es karena mayoritas korban memilih diam, terutama ketika pelakunya adalah pasangan sah yang seharusnya menjadi pelindung.
Artikel ini menelusuri dua simpul problematik: (1) praktik ila’ dalam perspektif klasik dan kontemporer, (2) konsep toxic marriage yang digandrungi psikologi populer. Keduanya akan kita baca ulang untuk menemukan garis merah bernama perlindungan perempuan. Mari buka lembaran demi lembaran dengan kacamata syariat, psikologi, dan hukum Indonesia — sambil tetap menjaga gaya bahasa renyah, sebagaimana blog ini biasa menyajikannya.
1. Mengenal Ila’: Sumpah Suami dari Makna Hingga Batas Waktu
1.1 Definisi Bahasa & Istilah
Kata ila’ (إيلاء) secara etimologi berarti sumpah fiqih.co.id. Dalam fikih, ia merujuk pada sumpah seorang suami untuk menahan diri dari hubungan badan dengan istrinya secara mutlak atau lebih dari empat bulan — dan pilihan durasi empat bulan inilah yang menandai pergeseran praktis dari tradisi jahiliyah ke tuntunan Qur’an islam.nu.or.idislam.nu.or.id.
1.2 Sejarah Singkat: Dari Jahiliyah ke Islam
Pada masyarakat pra‑Islam, suami bisa mengucap sumpah serupa tanpa tenggat waktu. Sang istri terkatung‑katung: tidak dipergauli, tidak pula dicerai — double bind yang mematikan harapan. Syariat kemudian “meng-upgrade” aturan ini lewat Al‑Baqarah [2]: 226:
“Bagi suami yang meng‑ila’ istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika ia rujuk, maka Allah Maha‑Pengampun; jika ia tetap bersumpah, maka mahkamah dapat memerintahkannya menceraikan.” islam.nu.or.id
Empat bulan dianggap cukup lama untuk menenangkan emosi, tapi cukup pendek mencegah istri terzalimi. Jika masa itu lewat dan suami masih ngotot dengan sumpahnya, hakim syar’i berwenang memaksa suami memilih: rujuk dengan kafarat sumpah, atau talak secara baik islam.nu.or.id.
1.3 Status Hukum menurut Mazhab
-
Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah): Ila’ hukumnya haram jika dipakai sengaja menyakiti istri karena menunda hak biologis dan psikis tanpa kejelasan status islam.nu.or.id.
-
Hanabilah: Masih sah bila ada ‘udzur syar’i—misal istri terjangkit penyakit menular—tetap wajib solusi sebelum empat bulan.
-
Fikih kontemporer: Majma’ Fiqh al‑Islami (OKI) menyebut praktik ila’ yang merugikan istri tergolong kekerasan psikis dan mengarah pada KDRT, sehingga negara boleh menghukum.
Dengan kata lain, ila’ didesain Islam bukan untuk “membekukan” istri, tetapi memberi ruang cooling‑down; bila disalahgunakan, ia berubah jadi senjata dalam toxic marriage masa kini.
2. Toxic Marriage: Tagar Kekinian untuk Relasi Beracun
2.1 Definisi Populer dan Gejalanya
Media sosial menggandrungi istilah toxic relationship: hubungan di mana pola interaksi penuh dominasi, manipulasi, kekerasan fisik/psikis, atau pengambilan keputusan sepihak. Dalam pernikahan, istilahnya toxic marriage. Gejala klasik:
-
Gaslighting — membuat pasangan meragukan kewarasan sendiri.
-
Silent treatment — diam berkepanjangan sebagai hukuman.
-
Kontrol ekonomi — melarang pasangan bekerja/berbelanja.
-
Kekerasan fisik dan seksual.
-
Isolasi sosial — memutus relasi dengan keluarga/teman.
Ila’ kerap menjadi bentuk silent treatment religius: sah secara lafaz, tapi menyalahi maqashid syariah.
2.2 Data Kekerasan dalam Rumah Tangga di Indonesia
Laporan Puslit DPR RI mengutip data KPPPA — 18.466 kasus kekerasan pada 2023, mayoritas terjadi di ranah domestik berkas.dpr.go.id. Komnas Perempuan melalui CATAHU 2024 menambahkan bahwa tren terbesar adalah kekerasan seksual, psikis, dan fisik secara berurutan komnasperempuan.go.id. Angka‑angka ini menegaskan urgensi melebur diskursus fikih seperti ila’ ke dalam agenda perlindungan perempuan.
3. Ketika Ila’ Menjadi “Versi Syariah” dari Toxic Marriage
Secara tekstual, ila’ hanya melibatkan sumpah abstinensi; namun praktiknya di lapangan sering menjadi pintu legitimasi relasi beracun. Polanya:
-
Sumpah emosional—Suami yang marah bersumpah tidak akan “menyentuh” istri.
-
Normalisasi—Keluarga memandangnya “sudah biasa.”
-
Gaslighting—Istri dituduh “nusyuz” saat protes, padahal yang nusyuz justru suami.
-
Isolasi—Istri takut melapor karena stigma.
Al‑Qur’an menolak bentuk hubungan timpang seperti ini: “Wa ‘âsyirûhunna bi‑ma’rûf”—bergaullah dengan istri secara baik islam.nu.or.id. Hadis Nabi SAW pun menutup celah: “Sebaik‑baik kalian adalah yang terbaik kepada istrinya.” islam.nu.or.id
Intinya? Ila’ boleh ada sebagai regulasi syar’i, tetapi ilegal secara moral jika berubah menzalimi. Di titik inilah fikih bertemu psikologi.
4. Dampak Ila’ Beracun terhadap Perempuan
4.1 Aspek Psikologis
Perempuan yang terjebak dalam ila’‐toxic mengalami:
-
Depresi klinis: rasa tidak dicinta, kesepian kronis.
-
Anxiety disorder: selalu was‑was menanti “berita sidang” dari suami.
-
Low self‑esteem: menganggap diri “tidak layak disentuh.”
Psikolog keluarga menyamakan dampaknya dengan emotional abandonment, salah satu bentuk kekerasan psikis paling sulit pulih.
4.2 Aspek Sosial & Ekonomi
Suami yang menahan nafkah batin kerap menahan nafkah lahir:
-
Penghentian uang belanja.
-
Larangan bekerja.
-
Stigmatisasi: keluarga besar menekan istri “sabar, ini ujian.”
4.3 Aspek Spiritual
Ibadah istri terganggu karena psikologis tertekan. Sumpah suami atas nama Allah menjadikan istri gamang: membantah suami = dianggap membantah agama.
5. Kerangka Perlindungan dalam Syariat & Hukum Positif
5.1 Pilihan Syariat bagi Istri
-
Mushawarah Keluarga: Melibatkan hakim/sesepuh untuk menasihati suami mencabut ila’.
-
Tahkim (arbitrase): QS An‑Nisa [4]: 35 menganjurkan dua juru damai.
-
Talak Khulu’: Istri menebus cerai jika suami menolak rujuk, sebagai jalan keluar syar’i islam.nu.or.id.
-
Gugat Cerai ke Pengadilan Agama: Jika terjadi dlarar (bahaya) dan suami enggan menceraikan islam.nu.or.id.
5.2 Perlindungan UU di Indonesia
-
UU No. 23/2004 tentang PKDRT: Kekerasan psikis termasuk “tindakan atau perbuatan… menimbulkan ketakutan, rasa tidak berdaya.” Ila’ beracun masuk kategori ini.
-
UU Perkawinan No. 1/1974 & KHI: Istri boleh mengajukan cerai karena syiqaq (perselisihan) atau penelantaran.
-
Pendekatan Restoratif: Pengadilan agama kian rajin memfasilitasi mediasi, tetapi tak ragu menjatuhkan talak bila perlu.
6. Peran Organisasi Keagamaan dan Komunitas
NU, melalui sayap perempuan Fatayat dan Muslimat, gencar menguatkan literasi hukum. Menteri PPPA bahkan menilai jaringan 21 ribu ranting Fatayat berpotensi menjadi garda depan perlindungan anak dan perempuan islam.nu.or.id. Tahun 2025, PP Fatayat meneken MoU dengan IBLAM Law School untuk klinikal hukum gratis — termasuk pendampingan kasus ila’ beracun nu.or.id.
7. Strategi Pencegahan & Penanganan: Checklist Keluarga Sehat
7.1 Pra‑Nikah
-
Kelas Pranikah: Bukan sekadar belajar mas kawin; tetapi sesi conflict management, komunikasi non‑kekerasan, hak‑kewajiban syar’i.
-
Medical & Psychological Screening: Saling terbuka soal riwayat trauma.
7.2 Pasca‑Nikah
-
Dialog Rutin: Sediakan waktu married meeting — 30 menit per pekan membahas keuangan, seksualitas, rencana masa depan.
-
Konseling Profesional: Ustadzah + psikolog = double support.
-
Financial Transparency: Rekening bersama atau laporan bulanan.
7.3 Jika Ila’ Terjadi
Langkah | Penjelasan Singkat |
---|---|
0‑3 bulan | Cooling‑down; libatkan mediator keluarga. |
Bulan 4 | Minta hakim Pengadilan Agama memanggil suami. |
>4 bulan | Hakim memutus: suami rujuk & bayar kafarat, atau talak. |
(Tabel membantu ringkas prosedur fikih—bisa di‑highlight di Blogger.)
7.4 Self‑Care bagi Perempuan
-
Spiritual Recharge: Halaqah, kajian tafsir egaliter.
-
Support Group: Komunitas daring (WhatsApp, Telegram) berbagi kisah pulih.
-
Pemberdayaan Ekonomi: Kursus daring (mis. online shop), dana mikro Fatayat.
8. Refleksi Teologis: Maqashid Syariah sebagai Kompas
Ila’ lahir di masa relasi gender timpang; syariah membatasinya agar perempuan tidak tersakiti. Dalam paradigma maqashid (tujuan) syariah, perlindungan jiwa (hifz an‑nafs), akal, dan martabat manusia lebih tinggi dari literalitas teks. Maka, menolak ila’ beracun bukan melawan syariat—justru menghidupkan intinya.
Al‑Ghazali menulis, “Syariah seluruhnya adalah maslahat; bila keluar dari maslahat, ia bukan syariah.” Pernikahan yang sehat adalah maslahat; toxic marriage jelas mudarat.
9. Penutup & Ajakan
Kita hidup di era double click: sekali tekan, ilmu fikih klasik terbaca; sekali gulir, kisah toxic marriage viral. Tugas kita bukan memilih salah satunya, namun membacanya bersamaan. Ila’ yang bersifat obat penenang empat bulan bisa berubah racun bila disuntikkan terus‑menerus.
Jika kamu—atau seseorang yang kamu kenal—mengalami versi modern dari ila’, ingatlah:
-
Kamu tidak sendirian: Ada komunitas, psikolog, pengacara, dan ulama progresif.
-
Kamu tidak salah: Dirimu patut dicintai sebagaimana sabda Nabi.
-
Kamu punya jalan keluar: Syariat memberi opsi rujuk sehat atau talak elegan; hukum negara siap melindungi.
Mari sebarkan artikel ini ke grup keluarga, story Instagram, dan kelas‑kelas pranikah. Biarkan lebih banyak Rahma menemukan pintu cahaya—dan lebih banyak Fikri belajar bahwa sumpah bukan senjata, melainkan amanah. Wallâhu a‘lam bis‑shawâb.
Daftar Sumber Daring
-
NU Online, “Ila', Toxic Marriage, dan Upaya Perlindungan terhadap Perempuan,” 5 Juli 2025 islam.nu.or.id, islam.nu.or.id
-
NU Online, “Hukum dan Ketentuan Ila’ dalam Fiqih Pernikahan,” 2023 islam.nu.or.id
-
FiQih.co.id, “Sumpah Ila’: Hukum dan Penjelasannya menurut Syara’,” 2025 fiqih.co.id
-
DPR RI Puslit, “Isu Sepekan: Kekerasan dalam Rumah Tangga,” Agustus 2024 berkas.dpr.go.id
-
Komnas Perempuan, “CATAHU 2024,” 2025 komnasperempuan.go.id
-
NU Online, “Talak Khulu‘ dalam Kajian Fiqih Munakahat,” 2020 islam.nu.or.id
-
NU Online, “Ketentuan Gugat Cerai Seorang Istri kepada Suaminya,” 2023 islam.nu.or.id
-
NU Online, “Menteri PPPA Dorong Fatayat NU Berperan Strategis,” 2025 islam.nu.or.id
-
NU Online, “Fatayat NU dan IBLAM Kerja Sama Perkuat Kapasitas Hukum,” 2025 nu.or.id
Comments