Hadis Maqthu’: Pengertian dan Kehujjahannya dalam Islam

Grobogan - Purwodadi - Hadis Maqthu’: Pengertian dan Kehujjahannya dalam Islam - Ilmu hadis memiliki berbagai klasifikasi yang digunakan untuk memahami tingkat keautentikan dan otoritas suatu riwayat dalam Islam. Salah satu jenis hadis yang sering dijumpai adalah hadis maqthu’. Berbeda dengan hadis marfu’ yang disandarkan langsung kepada Nabi ﷺ atau hadis mawquf yang hanya sampai kepada sahabat, hadis maqthu’ adalah hadis yang hanya sampai kepada tabi’in atau generasi setelahnya.


Sebagai riwayat yang tidak berasal dari Rasulullah ﷺ maupun sahabat, kedudukan hadis maqthu’ dalam kehujjahan hukum Islam masih menjadi pembahasan di kalangan ulama. Apakah hadis ini dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum? Ataukah ia hanya sebatas pendapat pribadi tabi’in yang tidak memiliki kekuatan hukum syariat? Artikel ini akan mengulas secara rinci tentang pengertian hadis maqthu’ serta bagaimana para ulama menilai kedudukannya dalam berhujjah.


Pengertian Hadis Maqthu’


Secara bahasa, maqthu’ berarti “terputus” atau “terhenti.” Dalam ilmu hadis, hadis maqthu’ adalah riwayat yang hanya sampai kepada tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan mereka. Tabi’in adalah generasi setelah sahabat yang bertemu dengan mereka dan mengambil ilmu dari mereka.


Hadis maqthu’ berbeda dengan hadis mawquf yang hanya sampai kepada sahabat. Jika dalam hadis mawquf suatu riwayat masih memiliki kemungkinan bersumber dari Nabi ﷺ secara tidak langsung, maka dalam hadis maqthu’, riwayat tersebut hanya berasal dari tabi’in dan tidak memiliki keterkaitan dengan Nabi ﷺ secara langsung.


Contoh Hadis Maqthu’


Salah satu contoh hadis maqthu’ adalah perkataan Hasan al-Bashri, seorang tabi’in terkemuka:


"Sesungguhnya seorang mukmin adalah orang yang ringan dalam urusan dunia, tetapi berat dalam urusan agama."


Riwayat ini bukan berasal dari Rasulullah ﷺ maupun sahabat, tetapi hanya merupakan perkataan seorang tabi’in. Oleh karena itu, ia dikategorikan sebagai hadis maqthu’.


Contoh lainnya adalah perkataan Mujahid, seorang tabi’in yang banyak meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas:


"Barang siapa yang ingin mengetahui bagaimana keadaan umat Islam, maka lihatlah bagaimana keadaan shalat mereka."


Perkataan ini juga tidak disandarkan kepada Nabi ﷺ atau sahabat, sehingga termasuk dalam hadis maqthu’.


Kehujjahan Hadis Maqthu’


Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis maqthu’ dapat dijadikan hujjah dalam hukum Islam. Berikut beberapa pandangan utama:


1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syariat, karena hanya merupakan pendapat tabi’in. Dalam ushul fiqh, pendapat tabi’in tidak memiliki otoritas sebagaimana hadis marfu’ yang berasal dari Nabi ﷺ atau ijma’ yang merupakan kesepakatan ulama.



2. Sebagian ulama membolehkan berhujjah dengan hadis maqthu’ dalam beberapa kondisi tertentu, seperti:


  • Ketika riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an, karena tabi’in banyak mengambil ilmu langsung dari sahabat yang memahami wahyu.


  • Jika riwayat maqthu’ tersebut diamalkan oleh mayoritas tabi’in, sehingga dapat menunjukkan adanya konsensus (ijma’ sukuti).


  • Jika tidak ada dalil yang bertentangan dari hadis marfu’ atau ijma’.





Misalnya, jika seorang tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib atau Ibrahim an-Nakha’i berfatwa mengenai suatu hukum dan tidak ada riwayat yang bertentangan, maka sebagian ulama bisa menggunakannya sebagai dasar dalam ijtihad.


Dalam mazhab fiqih, pendapat tabi’in sering dijadikan referensi dalam memahami hukum Islam, terutama oleh ulama mazhab yang menekankan metode istihsan dan qiyas. Namun, pendapat tabi’in tetap tidak bisa mengalahkan dalil dari Al-Qur’an, hadis marfu’, atau ijma’.


Kesimpulan


Hadis maqthu’ adalah riwayat yang hanya sampai kepada tabi’in dan tidak bersumber dari Nabi ﷺ atau sahabat. Oleh karena itu, hadis ini umumnya tidak dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Namun, dalam beberapa kondisi tertentu, hadis maqthu’ dapat digunakan sebagai referensi dalam memahami syariat, terutama jika berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an atau jika diamalkan oleh banyak tabi’in. Oleh karena itu, dalam memahami hadis maqthu’, diperlukan kehati-hatian agar tidak menjadikannya sebagai dasar hukum yang bertentangan dengan hadis Nabi ﷺ atau sumber hukum Islam lainnya.


Comments

Postingan Populer

Keuangan Islami: Konsep, Prinsip, dan Implementasi

Saat Gus Baha Kritik Pemikiran Aristoteles dan Plato Soal Konsep Tauhid

Hikmah Perintah Tasbih kepada Nabi Muhammad dalam Menghadapi Kaum Pembangkang menurut Gus Baha