Sakral dan Profan dalam Perkembangan Ideologi Politik Agama di Indonesia
Sakral dan Profan dalam Perkembangan Ideologi Politik Agama di Indonesia
Dalam sejarah politik Indonesia, agama telah memainkan peran yang signifikan dalam membentuk ideologi politik. Agama tidak hanya dilihat sebagai entitas sakral yang berkaitan dengan kehidupan spiritual dan ibadah, tetapi juga sebagai instrumen profan yang digunakan dalam dinamika kekuasaan, kebijakan, dan pembentukan identitas nasional. Pemisahan antara yang sakral (berkaitan dengan hal-hal suci dan ilahi) dan yang profan (berkaitan dengan kehidupan duniawi) menjadi konsep kunci dalam memahami interaksi antara agama dan politik di Indonesia.
1. Agama Sebagai Entitas Sakral dalam Politik
Agama memiliki dimensi sakral yang mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia, yang mayoritas memeluk agama Islam. Dalam konteks politik, nilai-nilai agama sering digunakan sebagai landasan moral dalam kebijakan publik dan pembentukan identitas sosial-politik. Sejak kemerdekaan, diskusi mengenai bentuk negara dan penerapan syariat Islam dalam konstitusi menjadi wacana dominan. Ini menunjukkan adanya dorongan dari kelompok-kelompok politik yang ingin mengintegrasikan norma-norma agama ke dalam sistem kenegaraan. Momen penting seperti Piagam Jakarta pada tahun 1945 mencerminkan bagaimana agama, khususnya Islam, dilihat sebagai sumber nilai-nilai sakral yang diharapkan dapat menjadi landasan etika bagi negara.
2. Politik Profan: Agama Sebagai Alat Kekuasaan
Di sisi lain, agama sering kali digunakan sebagai instrumen dalam praktik politik profan. Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, partai-partai politik berbasis agama sering mengintegrasikan ideologi agama untuk menarik dukungan. Misalnya, terbentuknya partai-partai politik Islam seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama pada masa awal kemerdekaan, hingga berkembangnya partai-partai politik Islam modern seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menunjukkan bagaimana agama digunakan dalam arena politik praktis untuk memperkuat posisi kekuasaan.
Selain itu, politik identitas berbasis agama menjadi sangat menonjol dalam beberapa dekade terakhir. Kontestasi politik, terutama pada masa pemilihan umum, sering kali diwarnai oleh penggunaan sentimen keagamaan. Kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, di mana isu agama sangat dominan, memperlihatkan bagaimana agama dapat dipolitisasi untuk tujuan-tujuan profan, yaitu memenangkan kursi kekuasaan. Penggunaan agama dalam konteks ini menjadi instrumen yang jauh dari nilai sakral, melainkan lebih sebagai alat mobilisasi massa dan strategi kampanye.
3. Perkembangan Ideologi Politik Agama di Indonesia
Perkembangan ideologi politik agama di Indonesia dapat dilihat sebagai dinamika antara yang sakral dan profan. Pada awal kemerdekaan, terdapat gerakan yang kuat dari kelompok-kelompok Islam yang menginginkan penerapan syariat dalam hukum negara, namun hal ini tidak terwujud sepenuhnya. Namun, ideologi politik berbasis agama tetap berkembang melalui partai-partai politik Islam dan gerakan-gerakan Islam yang menuntut adanya peran lebih besar agama dalam kehidupan politik.
Era Reformasi membuka ruang bagi kebebasan berpolitik dan berekspresi yang lebih luas, termasuk bagi partai-partai dan kelompok-kelompok politik berbasis agama. Namun, kebebasan ini juga diiringi dengan tantangan baru berupa munculnya ekstremisme agama yang mencoba memaksakan ideologi politik tertentu dengan cara-cara kekerasan. Di sinilah batas antara yang sakral dan profan kembali menjadi kabur, ketika nilai-nilai agama yang seharusnya suci digunakan untuk membenarkan tindakan politik yang profan, seperti kekerasan dan intoleransi.
4. Kesimpulan
Interaksi antara sakral dan profan dalam perkembangan ideologi politik agama di Indonesia menunjukkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik. Agama memainkan peran ganda: sebagai sumber moral yang sakral, namun juga sebagai alat politik profan yang sering digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Pemahaman tentang hubungan ini penting untuk menganalisis bagaimana agama dan politik saling mempengaruhi, serta bagaimana kita dapat menjaga keseimbangan antara keduanya agar agama tidak menjadi alat manipulasi politik, tetapi tetap menjadi sumber nilai etika yang memandu kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Comments