Urgensitas Penerapan Prinsip Halalan Thayyiban sebagai indikator dalam Mengukur Hukum Keabsahan terhadap Praktik Jual Beli
Jual beli adalah aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat, namun seringkali aspek sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah diabaikan, bahkan oleh umat Islam sendiri. Banyak orang memilih makanan atau minuman yang enak tanpa memikirkan apakah produk tersebut halal atau baik untuk kesehatan, menunjukkan bahwa sebagian masyarakat lebih mengutamakan kepuasan daripada kualitas halal dan thayyib. Contohnya, di Indonesia masih banyak masyarakat yang mengonsumsi dan menjual minuman beralkohol. Data survei pada tahun 2016 menunjukkan bahwa konsumsi alkohol di kalangan pelajar dan mahasiswa cenderung stagnan atau menurun, namun tetap ada prevalensi yang lebih tinggi di kota dibandingkan kabupaten. Selain itu, industri minuman beralkohol di Indonesia terus berkembang, bahkan dengan adanya izin untuk meningkatkan kapasitas produksi seperti yang terlihat dari penambahan pabrik oleh Multi Bintang di Jawa Timur.
Ironisnya, meskipun negara ini dipimpin oleh seorang muslim, langkah untuk membatasi produksi alkohol justru tidak diambil, bahkan sebaliknya diberi ruang untuk berkembang. Dari sudut pandang maslahat, produksi alkohol jelas lebih banyak mendatangkan mudarat. Selain itu, penyalahgunaan narkoba juga meningkat, yang dibuktikan dengan jumlah pengguna narkoba yang melonjak dari 4,2 juta pada Juni 2015 menjadi 5,9 juta pada November 2015. Hal ini menunjukkan bahwa aspek halalan thayyiban sering diabaikan dalam transaksi jual beli di masyarakat.
Lebih lanjut, praktik kecurangan dalam jual beli juga masih marak terjadi, seperti kasus manipulasi takaran dan timbangan oleh pedagang di Sentral Maros, yang menyesatkan pembeli demi keuntungan pribadi. Praktik-praktik ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam, yang menekankan pentingnya jual beli yang halal dan baik, baik dari segi barang, orang yang bertransaksi, maupun akadnya. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang konsep jual beli sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah menjadi salah satu penyebab utama masalah ini.
**Tinjauan Teoritis tentang Jual Beli**
1) **Pengertian Jual Beli**
Dalam bahasa, jual beli berarti *mutlaq al-mubadalah* atau tukar-menukar secara umum. Istilah lain yang digunakan adalah *muqabalah syai’ bi syai’*, yaitu pertukaran suatu barang dengan barang lain. Dalam fiqh, jual beli disebut *al-bai’*, yang bermakna menjual, mengganti, atau menukar sesuatu dengan yang lain. Kadang-kadang kata *al-bai’* juga digunakan untuk merujuk pada lawan katanya, yakni *asy-syira* yang berarti membeli. Jadi, kata *al-bai’* bisa berarti jual sekaligus beli.
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta melalui cara tertentu, atau menukar sesuatu yang diinginkan dengan sepadan melalui metode yang bermanfaat. Definisi ini menekankan pentingnya ijab kabul, yaitu ungkapan saling setuju dari penjual dan pembeli, serta menekankan bahwa barang yang diperdagangkan harus bermanfaat bagi manusia. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah juga menyebut jual beli sebagai pertukaran harta dalam bentuk pemindahan kepemilikan secara sah.
Jual beli merupakan cara yang dihalalkan oleh Al-Quran untuk memindahkan kepemilikan. Meskipun diperbolehkan, ada batasan-batasan yang harus dipatuhi, terutama jika bertentangan dengan syariat Islam. Karena itu, penting bagi seorang pengusaha Muslim untuk memahami aturan jual beli yang sah, serta mengetahui mana yang halal dan mana yang haram dalam kegiatan tersebut.
2) **Rukun Jual Beli**
Secara bahasa, rukun berarti syarat yang harus dipenuhi agar suatu pekerjaan sah. Dalam Islam, rukun jual beli adalah unsur-unsur yang harus ada dalam transaksi agar transaksi tersebut sah. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya satu, yaitu ijab kabul. Ijab adalah pernyataan membeli dari pembeli, dan kabul adalah pernyataan menjual dari penjual. Kerelaan kedua belah pihak merupakan unsur penting, tetapi karena kerelaan itu tidak tampak secara fisik, diperlukan indikasi seperti ijab kabul atau serah terima barang dan harga untuk menunjukkan persetujuan tersebut.
Sebaliknya, jumhur ulama (mayoritas ulama) menyebutkan bahwa rukun jual beli ada empat, yaitu:
a) Penjual (ba’i) dan pembeli (mustari),
b) Serah terima (ijab kabul),
c) Barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih),
d) Nilai tukar (harga barang).
3) **Syarat-Syarat Jual Beli**
Syarat secara bahasa berarti pertanda atau indikasi. Dalam istilah, syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya menyebabkan tidak sahnya suatu hukum atau transaksi. Dalam jual beli, syarat-syarat ini adalah ketentuan yang harus dipenuhi agar transaksi tersebut sah. Perbedaan utama antara rukun dan syarat adalah bahwa rukun adalah bagian dari jual beli itu sendiri, sementara syarat berada di luar transaksi, tetapi sangat diperlukan untuk keabsahannya. Contoh syarat dalam jual beli adalah penjual dan pembeli harus berakal sehat (mumayyiz), dan barang yang diperjualbelikan harus bermanfaat. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut pandangan ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar dianggap sebagai syarat jual beli, bukan rukun jual beli. Sementara itu, jumhur ulama memiliki pandangan yang berbeda terkait syarat-syarat dalam jual beli. Pertama, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli meliputi beberapa hal. Pertama, penjual dan pembeli harus memiliki akal sehat atau mumayyiz, yaitu mampu membedakan baik dan buruk. Transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum baligh dianggap tidak sah, kecuali jika anak tersebut telah mumayyiz dan mendapat izin dari wali. Kedua, jual beli harus dilakukan atas kemauan sendiri tanpa paksaan. Jual beli yang dilakukan di bawah tekanan atau intimidasi dianggap tidak sah, kecuali dalam kasus-kasus tertentu untuk melindungi hak orang lain, seperti menjual barang gadai atas keputusan hakim. Ketiga, orang yang pailit atau pemboros dilarang melakukan jual beli karena adanya larangan bertransaksi untuk melindungi harta mereka dan hak orang lain.
Syarat kedua terkait dengan ijab qabul. Ulama sepakat bahwa ijab qabul harus diucapkan oleh orang yang mampu secara hukum, yaitu baligh dan berakal. Selain itu, kabul harus sesuai dengan ijab, dan ijab qabul harus dilakukan dalam satu majelis, di mana kedua belah pihak hadir secara fisik atau membahas hal yang sama dalam satu waktu.
Syarat ketiga berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan. Barang harus milik sendiri atau ada mandat dari pemiliknya, seperti dalam akad wakalah. Barang juga harus jelas wujud, sifat, ukuran, dan jenisnya. Selain itu, barang tersebut harus dapat diserahkan ketika akad berlangsung dan harus merupakan benda yang diperbolehkan syariat untuk dimanfaatkan, seperti benda-benda suci dan tidak najis.
Syarat keempat terkait dengan nilai tukar. Nilai tukar atau harga harus jelas, dan dapat diserahkan pada waktu transaksi, baik berupa uang tunai maupun melalui metode pembayaran lainnya, seperti cek atau kartu kredit. Jika dilakukan dengan barter, maka barang yang digunakan sebagai nilai tukar haruslah bukan barang yang diharamkan, seperti khamar atau babi.
Ulama fiqh juga menambahkan syarat lain, seperti terhindarnya transaksi dari cacat, paksaan, atau penipuan. Selain itu, barang yang menjadi objek transaksi harus bisa langsung menjadi milik pembeli jika merupakan barang bergerak, atau sesuai dengan ketentuan jika barang tidak bergerak. Jika semua syarat terpenuhi, transaksi jual beli dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak tanpa hak untuk membatalkannya kecuali ada hak khiyar, yaitu hak pilih untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi.
Syarat-syarat ini bertujuan untuk mencegah perselisihan, menjaga kemaslahatan kedua belah pihak, dan menghindari penipuan (gharar).
**4) Macam-macam Jual Beli**
Jual beli dalam Islam dapat dikategorikan berdasarkan beberapa aspek. Berdasarkan pertukarannya, jual beli dibagi menjadi empat jenis:
**a) Jual beli salam (pesanan)**
Jual beli salam adalah transaksi di mana pembeli menyerahkan uang di muka, sementara barangnya akan diserahkan kemudian. Menurut al-Bahuti, jual beli salam adalah transaksi atas sesuatu yang masih dalam tanggungan dan akan diserahkan nanti dengan pembayaran harga di tempat kontrak. Dengan kata lain, harga dibayar di muka, dan barang diserahkan belakangan.
**b) Jual beli muqayadhah (barter)**
Jual beli ini dilakukan dengan menukar barang dengan barang lain tanpa menggunakan alat tukar seperti uang.
**c) Jual beli mutlaq**
Jual beli ini melibatkan transaksi barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat tukar, seperti uang.
**d) Jual beli alat penukar dengan alat penukar**
Dalam jenis ini, barang yang biasanya digunakan sebagai alat tukar (misalnya uang emas atau perak) ditukar dengan alat tukar lainnya.
**Macam-macam jual beli berdasarkan harga dibagi menjadi empat jenis:**
**a) Jual beli yang menguntungkan (murabahah)**
Jual beli di mana penjual mendapatkan keuntungan dari harga beli aslinya.
**b) Jual beli yang tidak menguntungkan (tauliyah)**
Penjual menjual barang sesuai dengan harga belinya tanpa keuntungan.
**c) Jual beli rugi (khasarah)**
Dalam jual beli ini, penjual menjual barang dengan harga lebih rendah dari harga belinya, sehingga mengalami kerugian.
**d) Jual beli musawah**
Penjual menyembunyikan harga asli barangnya, tetapi kedua pihak yang berakad saling meridhai harga jual yang disepakati.
**Macam-macam jual beli dari sisi hukum dan sifatnya:**
**a) Jual beli shahih (sah)**
Transaksi yang memenuhi ketentuan syariat, baik dari rukun maupun syaratnya.
**b) Jual beli ghair shahih (tidak sah atau batal)**
Transaksi yang tidak memenuhi syarat atau rukun, sehingga dianggap fasid atau batal. Jumhur ulama menganggap fasid dan batal memiliki arti yang sama, sementara ulama Hanafiyah membedakannya.
**Pembagian jual beli oleh ulama Hanafiyah menjadi tiga jenis:**
**a) Jual beli shahih**
Jual beli ini sah jika memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan, dan tidak tergantung pada hak khiyar lagi.
**b) Jual beli bathil (batal)**
Jual beli ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu atau seluruh rukunnya, atau barang yang diperjualbelikan adalah barang haram seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.
**c) Jual beli fasid**
Jika kerusakan terkait harga barang dan dapat diperbaiki, jual beli ini dianggap fasid. Namun, jika kerusakan terkait barang yang diperjualbelikan, seperti benda-benda haram, jual beli dianggap bathil.
**Macam-macam jual beli bathil:**
1. **Jual beli ma’dum (tidak ada bendanya)**: Misalnya, menjual binatang yang masih dalam perut induknya.
2. **Jual beli sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan**: Contohnya, menjual burung yang sedang terbang di udara.
3. **Jual beli gharar (mengandung penipuan)**: Seperti jual beli buah-buahan yang masih di pohon, atau jual beli dengan cara menyentuh atau melempar barang.
4. **Jual beli najis dan benda-benda najis**: Seperti jual beli khamar, babi, bangkai, dan darah.
5. **Jual beli urbun (porsekot)**: Jual beli di mana pembeli menyerahkan uang di awal, dan jika jual beli dibatalkan, uang tersebut menjadi hibah bagi penjual.
6. **Jual beli air dan benda mubah lainnya**: Barang-barang yang menjadi milik bersama tidak boleh diperjualbelikan, kecuali setelah dilakukan penguasaan pribadi (ihraz al-mubahat).
**Macam-macam jual beli fasid:**
1. **Jual beli majhul (tidak jelas barangnya)**: Barang yang diperjualbelikan tidak jelas atau tidak diketahui sifatnya.
2. **Jual beli yang digantungkan kepada syarat atau masa depan**: Jual beli ini tidak sah karena tergantung pada syarat yang belum terpenuhi.
3. **Jual beli ghaib (tidak terlihat saat akad)**: Menurut jumhur ulama, jual beli orang buta sah asalkan ada hak khiyar.
4. **Menjual dengan pembayaran yang ditunda**: Jumhur ulama menganggap sah, tetapi ulama Malikiyah dan Hanabilah menganggapnya batal.
5. **Jual beli dengan tujuan yang haram**: Seperti menjual anggur untuk dijadikan khamar.
6. **Melakukan dua akad dalam satu transaksi**: Misalnya, menggabungkan dua perjanjian jual beli dalam satu akad.
Semua syarat dan hukum ini bertujuan untuk menjaga keadilan dan mencegah perselisihan dalam transaksi jual beli.
Comments