Perkawinan Agama Menurut Hukum Keluarga Di Indonesia, Review Jurnal Privat Law Vol. VII No 1 Januari - Juni 2019
Perkawinan Agama Menurut Hukum Keluarga Di Indonesia, Review Jurnal Privat Law Vol. VII No 1 Januari - Juni 2019 - A Rima Mustajab - Pernikahan adalah peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar pernikahan dibentuk oleh unsur-unsur alami dalam kehidupan manusia yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, serta memelihara anak-anak tersebut agar menjadi anggota masyarakat yang sempurna (Tutik dan Trianto, 2007:2).
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, pernikahan adalah akad yang kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya sebagai ibadah.
Ilustrasi Pernikahan Beda Agama |
Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pernikahan sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang sesuai perundang-undangan yang berlaku. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, sering terjadi pernikahan yang tidak sesuai prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan. Masyarakat beranggapan bahwa cukup melakukan pernikahan dengan hukum agama saja (pernikahan agama).
Istilah pernikahan agama atau pernikahan sah menurut hukum agama terdapat dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Namun, undang-undang tersebut tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan pernikahan agama. Masyarakat umumnya menyebut istilah pernikahan agama tersebut dengan pernikahan siri atau nikah siri.
Penulis tertarik mengkaji ketentuan hukum pernikahan agama menurut hukum keluarga di Indonesia karena masih ada masyarakat yang melakukan pernikahan agama tanpa mencatatkannya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Perkawinan agama merupakan pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan ajaran agama masing-masing, namun tidak atau belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam, atau di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk yang non-Muslim. Berikut ini adalah kedudukan hukum perkawinan agama berdasarkan hukum keluarga di Indonesia:
1. Menurut Hukum Agama
- Islam: Perkawinan siri sah menurut agama Islam jika memenuhi syarat dan rukun nikah, yaitu adanya kedua mempelai, wali, saksi, mahar, dan ijab kabul (M. Thahir Maloko, 2014:228). Namun, menurut mazhab Syafi’i, nikah siri dianggap tidak sah dan berpotensi menimbulkan fitnah. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia II tahun 2006 menyatakan bahwa pernikahan siri sah jika memenuhi syarat dan rukun nikah, namun haram jika membawa madharrat, dan harus dicatatkan untuk mencegah dampak negatif.
- Kristen/Katolik: Pernikahan secara agama Kristen atau Katolik sah di hadapan Tuhan dan agama jika memenuhi syarat agama (John Yeremia Gurning, wawancara, 6 April 2018).
- Hindu: Perkawinan sah jika memenuhi syarat dan ketentuan dalam agama Hindu, meskipun tidak dicatatkan (Pandite Jero Mangku Sepuh Jaya Kusuma, wawancara, 15 April 2018).
- Buddha: Perkawinan sah jika dilakukan sesuai persyaratan agama Buddha, dengan hak yang sama seperti istri yang dicatatkan (Pandita Muda Joni Chandra, wawancara, 15 April 2018).
Penulis berpendapat bahwa perkawinan agama yang dilakukan saat ini sah karena memenuhi syarat dan ketentuan pernikahan menurut agama. Pernikahan ini tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
- Keabsahan perkawinan ditentukan oleh Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan dicatatkan. Terdapat dua pendapat mengenai hal ini:
- Pendapat pertama menyatakan bahwa sahnya perkawinan ditentukan oleh dua faktor, yaitu dilakukan menurut hukum agama dan dicatatkan.
- Pendapat kedua menyatakan bahwa sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum agama saja.
Idris Ramulyo (1996:204) menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama, tetapi juga harus dicatatkan. Menurut Prof. Dr. Bagir Manan, perkawinan sah jika memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyatakan bahwa pencatatan tidak mempengaruhi sah atau tidaknya perkawinan.
Penulis berpendapat bahwa kewajiban mencatatkan perkawinan tidak dapat menganulir sahnya perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai syariat Islam, karena pencatatan perkawinan adalah peristiwa penting dan bukan peristiwa hukum. Hal ini juga berlaku pada perkawinan agama yang dilakukan sesuai rukun dan syarat perkawinan menurut hukum agama.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 4 KHI menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan yang sah menurut Pasal 2 ayat (1) adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama adalah suatu "peristiwa hukum" yang tidak dapat dibatalkan oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan. Oleh karena itu, Pasal 4 KHI menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Neng Djubaedah, 2010:219). Pasal 5 KHI menyatakan:
- Untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
- Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Istilah "harus dicatat" dalam Pasal 5 ayat (1) KHI bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam semata (Neng Djubaedah, 2010:220).
Pasal 6 KHI menyatakan:
- Untuk memenuhi ketentuan Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
- Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Menurut Neng Djubaedah, ketentuan Pasal 6 ayat (2) KHI merupakan pelemahan terhadap perkawinan yang sah berdasarkan hukum Islam yang belum dicatatkan di KUA Kecamatan, atau yang disebut dengan "perkawinan belum dicatat" atau "perkawinan tidak dicatat" (Neng Djubaedah, 2010:220).
Berdasarkan ketiga penjelasan ketentuan hukum di atas, istilah perkawinan agama digunakan untuk perkawinan yang tidak dicatatkan seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setiap warga negara diharapkan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan pemerintah. Namun, perkawinan agama atau perkawinan yang tidak dicatatkan tetapi sah menurut hukum agama yang dianut, tidak melemahkan status perkawinan itu sendiri.
Solusi terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan oleh Perkawinan Agama
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, perkawinan agama adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan tanpa pencatatan resmi. Bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya (tidak memiliki akta nikah), segala akibat hukum yang terkait dengan peristiwa perkawinan tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Ini termasuk pembagian harta bersama jika terjadi putusnya perkawinan, baik karena perceraian maupun putusan pengadilan, pembagian warisan, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hak sebagai istri yang telah melakukan perkawinan agama dalam hal harta bersama jika terjadi putusnya perkawinan, bagi yang beragama Islam dan tidak memiliki akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam). Bagi yang beragama non-Muslim, pencatatan perkawinan diajukan kepada kantor catatan sipil.
Kesimpulan
Perkawinan agama dianggap sah selama telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan dalam hukum agama yang dianut. Kewajiban untuk mencatatkan perkawinan bukan berarti dapat membatalkan sahnya perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut agama yang dianut. Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan perkawinan adalah peristiwa penting, tetapi tidak mencatatkan perkawinan tidak membatalkan keabsahan perkawinan yang ditentukan oleh agama. Namun, jika terjadi sengketa dalam pernikahan tersebut, hal ini tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Oleh karena itu, perlu dilakukan itsbat nikah bagi yang beragama Islam dan pencatatan perkawinan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi yang beragama non-Muslim untuk mendapatkan hak sebagai istri yang telah melakukan perkawinan secara agama.
Comments