Pandangan Pernikahan Beda Agama Antara MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dan (JIL) Jaringan Islam Liberal

Pandangan Pernikahan Beda Agama Antara MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dan (JIL) Jaringan Islam Liberal - A Rima Mustajab - Menjaga kelestarian iman adalah prinsip utama yang tidak boleh diubah. Seluruh perangkat syari'ah diarahkan untuk menjaga eksistensinya, bahkan jika perlu, nyawa pun harus direlakan. Dalam ushul fiqh, prinsip ini dikenal sebagai hifdz al-din, yang menempati urutan teratas dalam hal-hal yang sangat dijaga dalam Islam. 

Salah satu contoh penerapan prinsip ini adalah dalam kasus pernikahan beda agama. Islam melarang pernikahan dengan kaum atheis atau musyrik dengan sangat tegas karena menikah dengan mereka dianggap akan menjerumuskan ke dalam neraka. Hal ini ditegaskan dalam surat Al-Baqarah 221, yang menyatakan: 

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. Al-Baqarah: 221).

Ilustrasi Pernikahan Beda Agama

Dalam upaya menjaga iman ini, MUI mengeluarkan fatwa tentang larangan pernikahan beda agama. MUI, sebagai lembaga keulamaan, berupaya mencegah umatnya dari kemusyrikan, sehingga fatwa ini berfungsi sebagai tindakan preventif. MUI dengan demikian berperan sebagai pengayom umat sekaligus sebagai panutan dan tempat rujukan.

Sebaliknya, Jaringan Islam Liberal (JIL) berpendapat bahwa pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, tidak menjadi masalah. Menurut JIL, Al-Quran tidak secara tegas melarang hal tersebut, dan prinsip kesederajatan universal dalam kemanusiaan mendukung pandangan ini.

Fatwa MUI Tentang Perkawinan Beda Agama

Dalam rangka menjaga iman, MUI mengeluarkan fatwa tentang larangan pernikahan beda agama. MUI, sebagai lembaga keulamaan, berusaha mencegah umatnya terjerumus dalam kemusyrikan, sehingga fatwa ini bertujuan sebagai upaya preventif. Dengan peran ini, MUI berfungsi sebagai pengayom umat sekaligus sebagai panutan dan tempat rujukan. Berbekal SDM yang berkualitas dari berbagai disiplin ilmu, termasuk ulama dan intelektual kampus, MUI berani mengharamkan pernikahan beda agama secara mutlak, baik bagi laki-laki maupun wanita.

Namun, beberapa pendapat di luar MUI berbeda pandangan. MUI sebenarnya bertentangan dengan mayoritas ulama yang memberikan catatan bahwa larangan pernikahan beda agama tidak mutlak, tetapi tetap diperbolehkan bagi pria Muslim dengan wanita ahlu kitab. Dua argumentasi ini akan disandingkan untuk membantu menjernihkan kontroversi di tengah masyarakat antara yang pro dan kontra terhadap fatwa MUI.

Larangan pernikahan beda agama didasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 221, yang telah dijelaskan dalam bab II dan bab III. Para ulama melakukan kajian tafsir mendalam terkait ayat tersebut. Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan musyrik/musyrikah adalah mereka yang mengingkari keberadaan Tuhan (ateis), tidak percaya pada nabi dan hari kiamat. Bagaimana dengan mereka yang bukan ateis? Untuk mengklarifikasi hal ini, dapat dilihat surat Al-Bayyinah ayat 1 yang menyatakan: "Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata." (QS. Al-Bayyinah: 1)

Ayat ini menginformasikan bahwa orang kafir terbagi menjadi dua, yakni orang musyrik dan ahlu kitab. Ahlu kitab adalah mereka yang berpedoman pada agama samawi, sedangkan musyrik adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai doktrin agama samawi. Musyrik adalah mereka yang tidak bertuhan atau masih mengakui Tuhan tetapi tidak berdasarkan agama samawi. Agama samawi yang memiliki kitab samawi adalah Yahudi dan Nasrani. Hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlu kitab, sedangkan lainnya termasuk musyrikin. Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan, yakni al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 5: "Wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi." (QS. Al-Maidah: 5)

Ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini. Ibnu Umar berpendapat bahwa kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena jumlah wanita muslimah saat itu relatif sedikit. Ketika jumlahnya sudah seimbang atau lebih banyak, rukhsah itu tidak berlaku lagi. Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata "min qablikum" (sebelum kamu), yang berarti sebelum turunnya al-Qur'an. Dengan catatan ini, wanita ahlu kitab yang boleh dinikahi adalah mereka yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur'an diturunkan. Saat ini, wanita-wanita tersebut tidak ada lagi. Pandangan Ibnu Umar bisa dipahami secara psikologis karena anak dalam bahaya. Biasanya, anak lebih akrab dengan ibu, sehingga jika ibunya Nasrani, peluang anak menjadi Nasrani lebih besar. Namun, peluang untuk menikah dengan ahlu kitab tetap terbuka karena banyak ulama yang berpegang pada dzahir ayat yang memperbolehkan nikah dengan ahlu kitab. Di kalangan sahabat sendiri, beberapa orang menikah dengan ahlu kitab, meski berakhir dengan perceraian. Beberapa di antaranya adalah Usman bin Affan, Hudzaifah, dan Sa'ad bin Abi Waqqas.

Dalam kitab I'anatut Thalibin, Imam Abi Bakar menyatakan bahwa menikahi wanita ahlu kitab diperbolehkan. Dalam hal ini, pernikahan dengan ahlu kitab bisa ditolerir karena dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama memiliki banyak kesamaan. Dengan kesamaan ini, rumah tangga yang merupakan tujuan pernikahan sangat mungkin terwujud. Dengan kesamaan itu pula, peluang untuk menarik istri ke dalam Islam tidak mustahil. Namun, perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab, bukan sebaliknya. Hal ini untuk menjaga iman karena istri biasanya mudah terpengaruh dan dikhawatirkan terperdaya ke agama lain.

Masalah terakhir yang perlu klarifikasi adalah apakah agama-agama di Indonesia bisa termasuk ahlu kitab. Agama Hindu, Buddha, dan Konghucu jelas tidak termasuk karena bukan agama samawi, dan konsep ketuhanannya berbeda. Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan, karena ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka memeluk Kristen sebelum dinasakh. Syarat ini sulit dilacak di Indonesia karena agama Kristen baru datang belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Buddha, dan Islam. Dengan demikian, Kristen yang ada sekarang adalah keturunan dari mereka yang 'murtad' dari Hindu, Buddha, dan Islam. Jika syarat ini diterima, peluang menikah dengan orang Kristen dan Katolik tertutup rapat. Namun, jika mengikuti alur mayoritas ulama, peluang itu tetap ada karena syarat tersebut tidak ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan menikahi ahlu kitab tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi menyatakan, menikah dengan ahlu kitab tetap diperbolehkan meski nenek moyang mereka masuk Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh. Meskipun ada sinyalemen kuat bahwa kitab orang Kristen dan Katolik telah berubah, Yusuf Qardlawi menegaskan hal ini tidak menghalangi kebolehan menikah dengan mereka.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan tetapi hanya bagi laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. Bagaimana dengan pendapat MUI? MUI berpendapat bahwa dengan mempertimbangkan keresahan di tengah masyarakat, pernikahan beda agama harus mendapatkan ketentuan hukum yang jelas dan tegas. Berdasarkan berbagai ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi serta kaidah fiqhiyyah menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik maslahat, MUI memutuskan: a) pernikahan beda agama adalah tidak sah dan haram, b) pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab berdasarkan qaul mu'tamad adalah tidak sah dan haram. Keputusan ini mempertimbangkan adanya opini di masyarakat bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan dengan alasan maslahat dan hak asasi manusia.

Dasar-dasar Fatwa MUI Tentang Perkawinan Beda Agama

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa dengan dasar-dasar yang telah ditetapkan dalam SK Dewan Pimpinan MUI Nomor: U-596/MUI/IX/1997. Fatwa harus didasarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu'tabarah serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. Fatwa tentang pernikahan beda agama dalam Munas VII di Jakarta mengacu pada beberapa ayat Al-Qur'an: QS. An-Nisa' ayat 3, QS. Al-Rum ayat 30, QS. At-Tahrim ayat 6, QS. Al-Maidah ayat 5 dan 25, QS. Al-Baqarah ayat 221, dan QS. al-Mumtahanah ayat 10. Ayat-ayat ini berkaitan dengan pernikahan, menjaga diri dan keluarga dari api neraka, kehalalan wanita beriman dan ahli kitab, serta larangan menikah dengan wanita musyrik maupun laki-laki musyrik.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, MUI menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah haram, termasuk pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. Meskipun QS. Al-Maidah ayat 5 membolehkan menikah dengan wanita ahli kitab, MUI tetap menyatakan pernikahan tersebut tidak sah, didasarkan pada Hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim yang menekankan aspek keagamaan dalam memilih calon istri.

Selain dasar Al-Qur'an dan Hadits, MUI juga menggunakan kaidah fiqhiyyah dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih dan kaidah ushuliyah sadz dzari'ah. Kedua kaidah ini digunakan untuk mengeluarkan fatwa keharaman pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab, dengan alasan menjaga agama suami dan anak-anaknya dari api neraka. 

Namun, perlu diperhatikan apakah dasar-dasar hukum ini telah diaplikasikan dengan tepat. MUI tidak mencantumkan pendapat ahli tafsir terkait ayat-ayat yang dijadikan dasar penetapan fatwa, seperti QS. Al-Maidah ayat 5 dan QS. Al-Baqarah ayat 221. Imam Nawawi menyatakan menurut Imam Syafi'i, kebolehan menikahi wanita ahli kitab hanya berlaku sebelum Al-Qur'an diturunkan. Sedangkan mazhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki berpendapat kebolehan ini berlaku secara mutlak, meskipun agama ahli kitab telah dinasakh.

Fatwa MUI terkesan hanya didasarkan pada teks ayat tanpa tafsir mendalam. MUI tidak mencantumkan tafsir atau pendapat ulama terkait ayat-ayat tersebut, sehingga menimbulkan kesan penafsiran tekstual yang kurang komprehensif. Hadits yang digunakan dalam fatwa juga hanya mendukung arah fatwa MUI, sementara hadits yang membolehkan tidak dicantumkan. Hadits yang digunakan adalah anjuran tentang kriteria wanita yang layak dinikahi, bukan hadits tentang pernikahan beda agama secara khusus.

Dengan beberapa kelemahan metodologis ini, fatwa MUI tentang larangan pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab dinilai kurang objektif dari aspek tafsir, penggunaan hadits, dan pencantuman pendapat ulama. MUI seharusnya melakukan tarjih pendapat secara jelas dengan menampilkan varian pemikiran ulama agar tidak terjadi bias dan subyektivitas lembaga.

Dalam menafsirkan ayat 221 surat Al-Baqarah dan ayat 5 surat Al-Maidah, terjadi ikhtilaf antara ulama yang membolehkan dan tidak membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. MUI berpendapat bahwa pernikahan tersebut haram dan tidak sah demi menjaga agama (hifdz ad-din) dan menghindari kerusakan yang mungkin timbul, sehingga menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.

Relevansi Fatwa MUI Tentang Perkawinan Beda Agama Dalam Konteks Keindonesiaan

Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama sebenarnya tidak bertentangan dengan pendapat ulama yang membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, jika dilihat dalam konteks keindonesiaan dan maqashid as-syari'ah secara umum. Ulama yang membolehkan pernikahan ini berpendapat bahwa laki-laki muslim yang beriman kuat dan berwibawa dapat mempengaruhi istrinya yang ahli kitab untuk mengikuti agama suaminya, serta anak-anaknya juga akan mengikuti agama bapaknya.

Namun, jika laki-laki muslim tersebut tidak beriman kuat, lemah agamanya, dan berkepribadian lemah, maka sangat mungkin ia akan terpengaruh oleh agama istrinya, atau anak-anaknya tidak akan mengikuti Islam. Sebagai contoh, kasus Jamal Mirdad dan Lidya Kandouw menunjukkan bahwa meskipun Jamal tetap dalam Islam, anaknya, Nana Mirdad, mengikuti agama ibunya yang Kristen. Ini menunjukkan bahwa Jamal tidak mampu menjaga keluarganya dari api neraka.

Dengan demikian, pendapat ulama salaf yang membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab tetap bertujuan untuk menjaga iman suami dan keluarganya, sesuai dengan maqashid as-syar’iyah. MUI menilai bahwa dalam konteks keindonesiaan saat ini, sulit menemukan laki-laki muslim yang memenuhi kriteria tersebut. Kebanyakan laki-laki muslim yang imannya kuat lebih memilih wanita muslimah, sementara pernikahan dengan wanita ahli kitab cenderung dilakukan oleh laki-laki yang agamanya kurang bagus. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan, MUI mengharamkan pernikahan beda agama ini.

Fatwa ini sebenarnya relevan dengan kondisi di Indonesia, di mana praktek pernikahan ini cenderung membawa mafsadat (kerusakan) dibanding maslahat (kebaikan). MUI juga menyarankan agar fatwa ini diberikan catatan bahwa pernikahan beda agama dilarang jika menyebabkan rusaknya iman dan agama suami. Jika laki-laki muslim yang beriman kuat dan beragama bagus dapat menjaga agamanya dan menarik istrinya ke dalam Islam, maka pernikahan tersebut diperbolehkan.

Fatwa ini bisa diubah jika kondisi memungkinkan, untuk menghindari kesan bahwa MUI tidak memahami praktek pernikahan Nabi dengan Mariah Qibtiyah, Usman bin Affan, dan Hudzaifah dengan wanita ahli kitab, serta pendapat ulama salaf ash-shalih. Dalam konteks hukum Indonesia, pernikahan beda agama sulit dilakukan karena KUA dan kantor catatan sipil tidak memperbolehkan pernikahan yang salah satunya Islam dan lainnya bukan Islam. Pengadilan Negeri juga seharusnya menolak memberikan keputusan untuk pernikahan beda agama, karena menurut pasal 57 UU Perkawinan, yang dimaksud pernikahan campuran adalah pernikahan antar warga negara, bukan pernikahan beda agama.

Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal (JIL)

Perkawinan beda agama bukan hanya menjadi masalah di antara pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga dalam satu agama, termasuk Islam, yang memiliki berbagai pandangan tentang hukum pernikahan lintas agama. Jaringan Islam Liberal (JIL), yang mendasarkan pandangannya pada relativisme kebenaran agama dan kemaslahatan, tidak mempermasalahkan perkawinan antara seorang Muslim dengan non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL, menyatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya, Al-Quran tidak secara tegas melarang pernikahan tersebut, karena Al-Quran mengakui martabat manusia yang sederajat tanpa melihat perbedaan agama. Produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam perlu diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.

Abdul Moqsith Ghazali, salah satu tokoh JIL, juga berpendapat bahwa pernikahan beda agama antara laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab, serta wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, diperbolehkan. Ia menggunakan analogi dengan hadis tentang kewajiban menuntut ilmu, yang meskipun tidak menyebutkan "Muslimatin," tetap berlaku bagi wanita. Menurutnya, dalam Al-Quran tidak ditemukan larangan eksplisit tentang pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, sehingga hukum sebaliknya juga berlaku (mafhum al-mukhalafah). Tidak adanya dalil yang melarang pernikahan tersebut dianggap sebagai dalil diperbolehkannya pernikahan antara mereka.

Abdul Moqsith Ghazali juga menekankan bahwa ketiadaan dalil yang melarang berarti pernikahan tersebut diperbolehkan, merujuk pada kaidah ushuliyah 'adam al-dalil huwa al-dalil'. Jadi, menurut JIL, pernikahan antara orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan, dengan pemeluk agama apapun diperbolehkan. Ada beberapa prinsip utama yang menjadi landasan JIL dalam membolehkan pernikahan lintas agama ini.

Landasan Historis

Secara teori, pernikahan antara seorang Muslim dengan ahli kitab memang pernah terjadi. Contohnya, di masa sahabat, Utsman bin Affan menikah dengan Bailah binti Qaraqashah al-Kalbiyah yang beragama Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan seorang wanita Yahudi di Damaskus, dan Hudzaifah menikah dengan wanita Yahudi di Madinah. Beberapa sahabat lainnya seperti Ibn Abbas, Jabir, Ka'bah bin Malik, dan Al-Mughirah bin Sy'bah juga menikahi wanita ahli kitab. Bahkan Nabi Muhammad sendiri menikahi Maria Koptik yang awalnya beragama non-Islam. Pemimpin Palestina, Yasser Arafat, juga menikahi Suha yang beragama Yahudi tanpa menimbulkan masalah di negara tersebut.

Namun, landasan historis ini dianggap kurang relevan. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Shafiyyah binti Hayy bin Akhtab dan Mariah Qibtiyah telah memeluk Islam. Pernikahan Hudzaifah dan Thalhah dengan wanita ahli kitab dilarang oleh Umar bin Khattab karena khawatir akan diikuti oleh kaum Muslimin lainnya, dan ia memerintahkan keduanya untuk menceraikan istri mereka. Menurut Abdul Muta'al Al-Jabri, pernikahan sahabat dengan wanita ahli kitab ini tidak dapat dijadikan landasan untuk membolehkan pernikahan pria Muslim dengan wanita ahli kitab atau non-Muslim, karena sebagian sahabat lain menentangnya.

Para ulama bersepakat bahwa ucapan dan perilaku sahabat (qaul shahabi) yang bersumber dari Rasulullah atau yang telah menjadi kesepakatan di antara sahabat merupakan dalil syar'i. Namun, ada perbedaan pendapat tentang ucapan dan perilaku sahabat yang tidak bersumber dari Rasulullah atau hasil ijtihad mereka sendiri dan tidak ada kesepakatan di antara sahabat. Beberapa ulama berpendapat bahwa ucapan atau perbuatan sahabat tersebut tetap merupakan dalil syar'i karena jarang terjadi kesalahan ketika mereka berijtihad, sementara ulama lain berpendapat sebaliknya, bahwa hal tersebut tidak dapat dijadikan dalil syar'i karena sahabat juga bisa melakukan kesalahan.

Landasan Teologis Normatif

Jaringan Islam Liberal (JIL) menggunakan interpretasi syariah yang liberal dan berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan untuk penafsiran yang beragam dalam masalah-masalah tertentu. Meskipun JIL menggunakan teks-teks agama sebagai dalil, mereka menekankan pentingnya keragaman dalam menafsirkan ayat-ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Misalnya, dalam Al-Quran terdapat ayat yang melarang menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman (Q.S. Al-Baqarah: 221) dan ayat yang menghalalkan menikahi wanita ahli kitab yang menjaga kehormatan mereka (Q.S. Al-Maidah: 5).

Menurut Zainun Kamal, ahli kitab tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang memiliki kitab suci dan nabi. Misalnya, agama-agama seperti Zoroaster, Hindu, Budha, Konghucu, dan Shinto bisa dianggap sebagai ahli kitab. Karena itu, dalam konteks Indonesia, tidak ada larangan menikah dengan pemeluk agama Hindu, Budha, Kristen, dan Protestan, karena mereka juga memiliki kitab suci yang berisi pesan moral.

Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang termasuk ahli kitab. Imam Syafi'i berpendapat bahwa ahli kitab hanya terbatas pada Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil, sementara Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar hukum lainnya menyatakan bahwa siapa saja yang mempercayai seorang nabi atau kitab yang diturunkan Allah adalah ahli kitab. Beberapa ulama salaf bahkan berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab samawi adalah ahli kitab, termasuk orang-orang Majusi.

Perbedaan juga muncul dalam memahami istilah musyrik. Zainun Kamal menyatakan bahwa orang musyrik adalah orang yang tidak mempercayai salah satu kitab samawi atau nabi. Sementara, menurut Muhammad Ali al-Shabuni dan Wahbah Zuhailiy, al-musyrikat dalam surat Al-Baqarah ayat 221 merujuk pada wanita-wanita penyembah berhala yang tidak memeluk agama samawi.

Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan pandangan para ulama, JIL berpendapat bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan. Dalam ushul fiqh, ada konsep tahshish (spesifikasi) dan nasakh juz'iy (penghapusan parsial), yang digunakan untuk menjelaskan bahwa ayat yang terakhir turun, yang memperbolehkan pernikahan dengan ahli kitab, telah mengamandemen pelarangan menikah dengan orang kafir dan musyrik sebelumnya.

Penutup

Kesimpulan

Kaum liberal di Indonesia menempatkan akal di atas teks agama. Seperti yang diungkapkan oleh Zuli Qodir, bahwa teks-teks wacana yang dibawa oleh Islam Liberal bertujuan untuk menciptakan masyarakat Muslim yang modern, toleran, terbuka, humanis, dialogis, dinamis, inklusif, dan pluralis. Dominasi peran akal ini, serta tujuan mulia dari Islam Liberal, didasarkan pada keyakinan bahwa fikih yang ada saat ini tidak lagi menyuarakan kemaslahatan.

Fatwa adalah nasihat resmi dari suatu otoritas, baik pribadi maupun lembaga, mengenai pandangan hukum atau dogma Islam yang diberikan sebagai respons terhadap suatu masalah. Dalam konteks fatwa, pembahasan mengenai masalah ijtihad tidak bisa dihindari, karena fatwa dalam fikih Islam sangat berkaitan dengan hasil ijtihad para ulama. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan faktor pemersatu dalam sejarah bangsa Indonesia. Merujuk pada Muhammad Iqbal, fatwa bisa disebut sebagai prinsip gerakan. Ali Syariati memandang ijtihad sebagai suatu keharusan dalam menghadapi perubahan dan memecahkan problematika zaman. Dengan demikian, ijtihad dianggap sebagai cara pasti untuk menjaga agama atau pemikiran keagamaan agar tidak stagnan dalam pola-pola lama dan tetap relevan dalam masyarakat yang berubah cepat.

Comments