Dangdut Dalam Sebuah Realita Kebudayaan Bangsa Timur Dan Bangsa Barat

Dangdut Dalam Sebuah Realita Kebudayaan Bangsa Timur Dan Bangsa Barat - A Rima Mustajab - Sulit untuk membantah bahwa musik Dangdut, meskipun secara perlahan, telah menjadi genre musik rakyat yang paling ekspresif dan memiliki penggemar terbanyak di masyarakat kita. Menurut para ahli sejarah Dangdut, musik ini memang berkembang dari selera seni khas rakyat Indonesia. Inilah sumber kekuatan dan daya tariknya (Haesy 1995). Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Moerdiono pada Agustus 1995 saat pembukaan perayaan Kemerdekaan Indonesia dengan tema "Semarak Dangdut 50 Tahun Indonesia Emas." Pada saat itu, Moerdiono yang juga menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia (Mensesneg RI) sekaligus sebagai ketua panitia acara tersebut. Pernyataan ini menggambarkan betapa besar perhatian negara terhadap musik Dangdut, terutama dalam konteks peringatan hari kemerdekaan yang ke-50, di mana Dangdut bahkan dijadikan bagian dari tema perayaan. Pilihan Dangdut sebagai bagian dari acara tersebut didasari oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu, terutama perkembangan pesatnya hingga tahun 1990-an dan hingga kini. Perkembangan pesat Dangdut dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal termasuk kualitas musik, segmen pasar, dan lirik-lirik yang mudah diterima masyarakat. Faktor eksternal, seperti kepentingan pengusaha rekaman, juga berperan. Pertemuan antara perkembangan Dangdut dan kepentingan rezim otoriter menciptakan hubungan yang unik, kadang saling menguntungkan dan kadang sebaliknya.

Perkembangan pesat musik Dangdut menarik untuk diteliti dari sudut pandang sejarah intervensi pemerintah dalam musik nasional. Intervensi pemerintah terhadap musik dimulai sejak era Presiden Soekarno, yang campur tangan dalam perkembangan musik terkait ideologi politik saat itu. Setelah kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1950-an, dunia terbagi antara dua ideologi besar: komunis yang dipimpin oleh Rusia dan liberalis yang dipimpin oleh Amerika. Meskipun secara resmi menganut politik non-blok, Soekarno condong ke blok komunis. Kecenderungan politik ini berdampak pada perkembangan seni hiburan, termasuk musik. Selama masa kekuasaan Soekarno (1959-1964), ia mengeluarkan kebijakan anti-Barat, termasuk terhadap musik yang dianggap sebagai neo-kolonialisme. Kebijakan ini dilanjutkan dengan penggolongan jenis musik oleh RRI yang dianggap merusak kepribadian bangsa, termasuk pelarangan lagu-lagu tertentu.

Contoh menarik adalah kasus Diah Iskandar yang, meskipun dilarang pada masa Soekarno, kemudian menjadi juara dalam festival pop 1977 dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Penyanyi dan Musisi Muda Indonesia pada 1985. Ini menunjukkan perubahan kebijakan di bawah rezim Soeharto yang bertolak belakang dengan kebijakan Soekarno. Tindakan pemerintah Soekarno juga melibatkan pembentukan Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang menutup American Motion Picture Association (AMPAI), menghasilkan masa kegelapan bagi film dan bioskop Indonesia. Situasi ini mempengaruhi jenis musik yang berkembang, dengan anak-anak muda berpaling dari musik rock Barat ke musik daerah yang dipadukan dengan gaya rock, serta peralihan produser film ke film India.

Selanjutnya, kita dapat membayangkan dampak dari masuknya film-film India ke Indonesia. Selain mendominasi hiburan di tanah air, film-film India—yang umumnya berupa film musikal—juga mempengaruhi perkembangan musik lokal. Pengaruh ini tampak jelas dalam kemunculan Elly Khadam, yang mengembangkan gaya lagu yang setia pada orkes Melayu dengan menciptakan irama dan suara baru. Ia menggabungkan instrumen India, Arab, dan gendang Indonesia serta suling bambu yang sering digunakan dalam film India yang saat itu populer di Indonesia. Hasilnya adalah lagu dengan judul "Boneka Cantik dari India" (Simatupang 1996).

Pilihan India sebagai pengaruh, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, memberi dampak pada perkembangan musik Melayu—yang kemudian lebih dikenal sebagai dangdut—pada periode berikutnya. Pengaruh musik India terlihat dalam penggunaan gendang, yang sebelumnya menggunakan rebana, serta suling bambu dengan teknik permainan yang mirip dengan yang digunakan dalam musik India. Penyerapan alat musik dan teknik permainan ini membuat dangdut sangat identik dengan irama India. Film-film India, yang sering diputar di bioskop kelas bawah selama era Soekarno, menjadikan musik Melayu yang terpengaruh India akrab di kalangan masyarakat bawah.

Sumber Gambar: Suara.com (Ilustrasi Animasi Musik Dangdut)

Pada tahun 1965, terjadi kudeta yang menurut rezim berikutnya dipicu oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini berakhir dengan jatuhnya Presiden Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Melalui Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 pada 12 Maret 1967, kekuasaan Soekarno secara resmi beralih kepada Soeharto, yang kemudian diangkat sebagai presiden melalui Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968. Berbeda dengan Soekarno yang cenderung anti terhadap bantuan asing, Soeharto membuka Indonesia untuk investasi dari negara-negara Barat, termasuk Amerika dan Jepang, serta mengembalikan Indonesia ke dalam keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1967 (Ricklefs 2009).

Kebijakan Soeharto yang membuka Indonesia bagi investasi Barat membawa dampak signifikan tidak hanya dalam ekonomi dan politik tetapi juga dalam kebudayaan. Musik Barat, terutama rock dan pop yang sempat dilarang pada akhir 1950-an, kini kembali mendapatkan momentum. Pada masa pemerintahan Soeharto, musik Barat, termasuk grup seperti Blue Diamonds, yang sebelumnya dianggap merusak, kembali diperkenalkan. Gairah perkembangan musik Barat di Indonesia pada pasca-Soekarno juga sejalan dengan ledakan ekonomi akibat melonjaknya harga minyak dunia pada tahun 1973. Kenaikan harga minyak membawa munculnya konglomerat baru, yang memengaruhi gaya hidup anak-anak mereka, termasuk akses ke musik rock dan pop Barat dari band-band terkenal seperti Led Zeppelin dan The Beatles (Frederick 1982).

Salah satu contoh pengaruh ini tampak dalam gaya bermusik Rhoma Irama, yang terinspirasi oleh Deep Purple, terutama dalam kelembutan musiknya dan penggunaan bass yang kuat serta vokal sebagai instrumen. Meskipun Rhoma Irama meninggalkan gaya India dan Melayu, ia tetap menggunakan istilah orkes Melayu dalam nama grupnya, OM Soneta Grup. Sementara itu, penyanyi lain seperti Ahmad Rafiq dan Elvy Sukaesih tetap mempertahankan gaya India dalam musik dangdut mereka.

Peniruan gaya Barat bukan hal mengejutkan karena musik Barat dianggap modern dan dinamis, yang menarik bagi anak muda. Oma Irama, seorang musisi muda berbakat, memahami pentingnya unsur dinamis dalam musik dan memasukkan unsur tersebut dalam musik Melayu, menghasilkan musik Melayu dinamis yang dikenal sebagai dangdut pada awal 1970-an. Perubahan ini bersamaan dengan masuknya teknologi kaset pita ke Indonesia, menggantikan piringan hitam yang mahal. Kaset pita, terutama yang bajakan, menyebar lebih luas karena harganya yang lebih terjangkau, dan ini memfasilitasi penyebaran lagu-lagu dangdut (Weintroub 2010).

Sebelum Oma Irama merombak musik Melayu, popularitasnya menurun akibat persaingan dengan musik impor. Namun, setelah perubahan besar yang dilakukan Oma, musik Melayu mulai bangkit kembali dan siap bersaing di industri musik Indonesia. Popularitas dangdut yang meningkat juga mengubah persepsi negatif terhadap musik ini, bahkan mengubah istilah ‘kampungan’ menjadi sebutan resmi untuk musik Melayu (Colombijn 2010).

Kontrol pemerintah terhadap perkembangan dangdut dilakukan dengan mengorganisasikan para penyanyi dangdut dalam satu wadah yang terhubung dengan pemerintah. Pada tahun 1978, didirikan YAMMI (Yayasan Artis dan Musik Melayu Indonesia) yang dipimpin oleh mantan Jenderal dan wakil gubernur Jakarta, Eddie Nalapraya. YAMMI berfungsi sebagai wadah untuk seniman dan artis musik Melayu-dangdut di Indonesia, memperjuangkan aspirasi mereka, melindungi hak-hak mereka, dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Pada tahun 1980, YAMMI berganti nama menjadi LAMMI (Lembaga Artis Musik Melayu Indonesia) dan kemudian menjadi PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia) pada tahun 1989 (Gatra 1966).

Pendirian PAMMI yang berhasil menarik hampir seluruh penyanyi dangdut dapat dianggap sebagai keberhasilan pemerintah dalam mengontrol industri musik dangdut. Keberhasilan ini tidak lepas dari kekuasaan pemerintah atas media yang sangat berpengaruh pada popularitas seorang penyanyi, seperti TVRI. Artis dangdut yang dianggap 'anak penurut' oleh pemerintah akan mendapatkan kemudahan untuk tampil di TVRI. Hubungan saling menguntungkan antara artis dangdut dan pemerintah melalui TVRI tersebut memang ada, meskipun tidak selalu harmonis dalam perkembangannya.

Pemerintah dapat memanfaatkan popularitas musisi dangdut untuk kepentingan mereka, sementara musisi dangdut memanfaatkan kedekatan dengan pemerintah untuk mendongkrak popularitas mereka. Misalnya, pertunjukan gratis oleh penyanyi dangdut terkenal seperti Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, atau Camelia Malik yang diselenggarakan menjelang pemilu dapat menarik banyak penonton, yang pada gilirannya menguntungkan partai politik tertentu. Kampanye dengan pertunjukan dangdut lebih efektif daripada hanya orasi atau menggunakan penyanyi yang kurang dikenal, yang kemungkinan hanya menarik simpatisan terbatas.

Menurut Lim Cay Pay dalam Mulyadi (2009), hubungan saling menguntungkan antara pemerintah dan musisi sudah terjadi sejak awal Orde Baru. Musisi membutuhkan pemerintah untuk mengungkapkan kebebasan ekspresi yang terpendam selama Orde Lama, sementara pemerintah membutuhkan musisi dalam rangka memberantas komunisme. Seiring berjalannya waktu, kepentingan pemerintah menjadi lebih politis. Perkembangan pesat musik dangdut dari 1970-an hingga 1990-an dianggap pemerintah sebagai prospek politik yang signifikan, sehingga mereka berusaha menggandeng musisi dangdut, terutama Rhoma Irama, yang dianggap memiliki prospek besar.

Namun, hubungan ini tidak selalu berjalan mulus. Rhoma Irama, selain sebagai musisi dangdut, juga memiliki pendirian kuat terhadap Islam. Ia sering menyatakan bahwa bermusik adalah kewajiban terhadap Tuhan dan manusia (Ndang 2015), dan dalam banyak kasus ia menerapkan prinsip ini—meskipun tidak selalu. Pergeseran posisi dangdut dalam blantika musik Indonesia merupakan salah satu efek yang mungkin tidak terduga dari hubungan antara pemerintah, musisi dangdut, dan pengusaha rekaman. Mereka telah berkolaborasi secara erat, berperan dalam menjadikan dangdut sebagai musik yang identik dengan Indonesia. Meskipun dangdut belum diresmikan sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia atau didaftarkan dalam HKI (Hak Kekayaan Intelektual), musik ini tetap diakui sebagai bagian dari identitas musik Indonesia.

Namun, perkembangan pesat dangdut tidak tanpa ironi. Unsur penting dalam dangdut, goyang atau jogged, adalah faktor yang membuat musik ini populer, tetapi juga memicu kontroversi, terutama di kalangan kelompok Islam. Pepatah Jawa mengatakan "ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana" (kehormatan diri terletak pada kata-kata, kehormatan raga terletak pada pakaian), sehingga seharusnya musik dangdut yang disebut sebagai musik Indonesia juga mencerminkan nilai-nilai positif dari Indonesia itu sendiri.

Pertanyaan yang muncul adalah: musik dangdut seperti apa yang layak disebut sebagai musik Indonesia? Apakah musik dangdut yang berkembang saat ini, yang mungkin jauh dari nilai edukatif atau bahkan dianggap destruktif, masih pantas disebut sebagai musik khas Indonesia? Misalnya, apakah lagu dangdut dengan vokal mendesah-desah atau goyang yang mengumbar lekuk tubuh seksi dengan gerakan yang menjurus ke pornografi benar-benar merepresentasikan musik Indonesia yang sesungguhnya?

Dangdut: Sebuah Identitas dan Fluktuasi Istilah

Istilah 'dangdut' muncul sekitar tahun 1973-1974, berasal dari onomatope, yaitu tiruan bunyi dari alat musik perkusi yang dominan dalam genre ini, seperti gendang dan ketipung (Harjana dalam Sasongko, 2006: 4). Simatupang (1996: 62) menjelaskan bahwa istilah dangdut berasal dari suara sepasang drum kecil yang dimainkan dalam musik ini. Djuanda (1998) mengungkapkan bahwa istilah dangdut berasal dari kombinasi suara perkusi (tra-dunk-dunk) = dang, dan suara beat yang lebih panjang (doot) = dut. Frederick dalam Ensiklopedi Musik Jilid I mengatakan bahwa 'dangdut' awalnya digunakan untuk mengejek corak musik Melayu yang disertai tablah, mirip dengan musik India. Istilah ini diciptakan oleh Billy Chung, seorang penyanyi dan gitaris terkenal dari Bandung pada dasawarsa 60-an, yang juga seorang wartawan dan kritikus musik (Ensiklopedi Musik Vol I, 1992: 98).

Pada awalnya, musik dangdut dikenal dengan nama musik Melayu. Istilah Melayu digunakan untuk menyebut etnis yang mendiami Semenanjung Melayu. Pada fase awalnya, musik dangdut sangat dipengaruhi oleh nuansa Melayu dan lebih dikenal dengan nama orkes Melayu. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, istilah Melayu perlahan-lahan ditinggalkan, dan nama dangdut menjadi lebih populer.

Perkembangan terkini menunjukkan bahwa musik ini lebih dikenal sebagai dangdut. Keberadaan musik dangdut di Indonesia diperkirakan muncul pada dekade 1970-an dengan konsumen utamanya adalah masyarakat pinggiran. Mengingat akar dangdut yang berasal dari musik etnis Melayu yang cakupannya luas, sulit untuk menentukan daerah mana yang merupakan cikal bakal kelahiran musik dangdut. Setiap daerah Melayu memiliki ciri khas tersendiri, namun terdapat kesamaan dalam hal irama, rentak, sukat, peralatan musik, gaya, bentuk, dan cara membawakannya (Susilo, 1998: 2).

Pada awal kemunculannya, musik dangdut tidak diiringi dengan tarian, mungkin karena pengaruh musik pop yang juga tidak diiringi tarian. Namun, seiring dengan meningkatnya pengaruh musik luar, terutama yang mengintegrasikan unsur tarian dalam penampilan lagu, dangdut pun mulai mengadopsi tarian dalam penampilannya. Istilah 'goyang dangdut' digunakan untuk merujuk pada gerakan-gerakan erotis yang menyertai penyanyi saat membawakan lagu dangdut. Gerakan ini seringkali menonjolkan bagian tubuh tertentu dan bisa dianggap mengumbar nafsu, terutama pada penyanyi wanita.

Selain penyanyi, penonton—yang sebagian besar pria—juga sering ikut berjoget. Musik dangdut bersifat merakyat dan menjadi alternatif hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat menengah ke bawah karena tema-temanya yang mencerminkan kenyataan hidup sehari-hari. Musik ini menjadi media yang mencerminkan sisi kehidupan masyarakat yang lugas dan dekat dengan mereka (Soedarso, 1991: 15). Walaupun banyak yang menganggap dangdut sebagai musik kelas menengah ke bawah, sebenarnya tidak bisa dikatakan sepenuhnya benar. Misalnya, Rhoma Irama, yang merupakan musisi dangdut terkenal, tidak berasal dari kelas menengah ke bawah dan bahkan memiliki koleksi lagu rock yang hanya dapat dibeli oleh kalangan berada pada masanya.

Proses Pembentukan Dangdut sebagai Identitas Nasional Indonesia

Dangdut mengalami beberapa fase perkembangan sebelum menjadi musik yang dikenal sebagai identitas nasional Indonesia. Salah satu aspek yang membedakan dangdut dari musik Melayu adalah perbedaan dalam penggunaan instrumen musik. Musik Melayu sering menggunakan alat musik seperti rebana, gong, biola, dan akordian, yang tidak umum ditemukan dalam dangdut. Sebaliknya, dangdut banyak menggunakan suling bambu dan gendang, instrumen yang menonjolkan pengaruh musik India.

Perbedaan lainnya terlihat pada struktur musik dan lirik. Musik Melayu umumnya menggunakan pantun dalam liriknya, sementara dangdut lebih sering menggunakan koda, mirip dengan lagu-lagu pop Barat. Proses pembentukan dangdut sebagai musik khas Indonesia dapat dibagi menjadi tiga periode penting:

1. Periode Irama Melayu

Periode ini dikenal sebagai irama Melayu atau irama Melayu Deli, yang berakar pada musik tradisional daerah Deli. Musik tradisional Deli berkembang bersamaan dengan teater tradisional yang didukung oleh Sultan Deli dan kelompok sandiwara dari Penang (Tan Sooi Beng, 1993: 190). Musik Melayu memiliki beberapa versi regional, seperti versi Malaysia, Sumatera Utara, Sumatera Selatan (Palembang), dan Jakarta. 

  • Versi Malaysia: Lagu Melayu asli dari Malaysia berasal dari seni pertunjukan Wayang Bangsawan, teater tradisional Melayu yang populer di kalangan istana pada masa lalu. Seiring waktu, Wayang Bangsawan kehilangan peminat karena masuknya film. Lagu Melayu, seperti "Gerimis Mengundang" dan "Suci Dalam Debu", tetap populer di Malaysia dan Indonesia hingga tahun 90-an. Lagu-lagu Melayu biasanya bertempo lambat dan bernuansa sedih, memengaruhi lagu-lagu dangdut di Indonesia yang bercerita tentang penderitaan, seperti "Gubuk Derita" dan "Pagar Makan Tanaman". Namun, tidak semua dangdut bertema sedih, seperti lagu-lagu Rhoma Irama yang sering berisi nasihat dan kritik sosial.
  • Versi Sumatera Utara: Musik Melayu di Sumatera Utara mirip dengan yang ada di Malaysia, dengan perbedaan terletak pada bahasa dan beberapa aspek lokal. Lagu-lagu Melayu di Sumatera Utara juga berasal dari teater seperti Sandiwara Bangsawan.
  • Versi Sumatera Selatan (Palembang): Musik Melayu di Palembang memiliki variasi yang dimainkan dengan berbalas pantun antara laki-laki dan perempuan, diiringi gitar, atau saat acara pernikahan dengan alat musik rebana. Lagu-lagu ini bervariasi dari yang bernuansa kegembiraan hingga kesedihan.
  • Versi Jakarta: Kesenian Betawi di Jakarta, sebagai hasil perpaduan adat-istiadat dan pengaruh dari berbagai etnis dan budaya asing, seperti Eropa dan Belanda, menunjukkan perbedaan dengan kesenian dari daerah asalnya. Jakarta, sebagai pusat pemerintahan kolonial, memainkan peran penting dalam perkembangan kesenian Betawi.

2. Pengaruh Musik India (1950-an-1960-an)

Pada periode ini, dangdut mengalami pengaruh besar dari musik India. Pengaruh ini terlihat dalam penggunaan instrumen seperti gendang dan suling bambu, serta dalam gaya penyajian yang lebih berirama dan bersemangat, berbeda dengan irama Melayu yang lebih lambat dan sedih.

3. Periode Variasi (1970-an-1990-an)

   Pada periode ini, dangdut mulai mengalami variasi dan inovasi. Istilah 'dangdut' mulai dikenal sekitar tahun 1973-1974, menggantikan istilah 'irama Melayu'. Pada periode ini, dangdut menjadi semakin populer dan dikenal sebagai musik rakyat yang mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Perubahan dalam gaya dan lirik, serta penggunaan elemen dari berbagai genre musik, membantu dangdut menegaskan posisinya sebagai identitas nasional.

Proses pembentukan dangdut sebagai identitas nasional Indonesia melibatkan integrasi berbagai pengaruh musik dan budaya, serta adaptasi terhadap perubahan sosial dan politik. Dengan menggabungkan elemen-elemen dari musik Melayu, India, dan pop Barat, dangdut telah berhasil menciptakan identitas yang unik dan relevan bagi masyarakat Indonesia.

4. Periode Pengaruh Musik India: dari Hollywood ke Bollywood (1950an-1960an)

Perkembangan dangdut pada masa ini tidak dapat dilepaskan dari situasi politik saat itu. Presiden Soekarno, yang terkenal dengan sikap anti-imperialis dan anti-neo-kolonialis, pada 17 Agustus 1959 mengeluarkan manifest presiden mengenai kebudayaan nasional. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi kebudayaan nasional dari pengaruh asing. Mulai pertengahan Oktober 1959, masyarakat Indonesia dilarang mendengarkan lagu-lagu berirama rock 'n roll, cha cha cha, dan mambo melalui seluruh stasiun radio RRI. Penggolongan jenis musik oleh RRI yang dapat merusak kepribadian bangsa juga dikeluarkan. Musik yang dilarang termasuk: pertama, drive rhythm musik yang menimbulkan perasaan liar; kedua, lagu-lagu dengan pembawaan suara yang tidak wajar; ketiga, musik sex dream yang menyatakan birahi secara sentimental; keempat, musik dengan gabuhan menyimpang; dan keenam, siaran musik yang tidak sesuai untuk anak-anak. Larangan tersebut diperkuat dengan Penpres nomor 11 tahun 1963 yang melarang peredaran musik Barat, khususnya rock dari Amerika dan Inggris (Mulyadi, Muhammad 2009: 10-13).

Langkah lanjut dari manifest presiden tersebut adalah pembentukan Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang menutup American Motion Picture Association (AMPAI) (Sasangko, 2006: 17). Tujuan utama dari manifest tersebut adalah melindungi budaya nasional dari pengaruh asing. Namun, meski kebijakan ini berhasil membatasi pengaruh Barat, hal ini justru mendorong pencarian alternatif lain, yakni musik India. Dalam konteks ini, produser film berpaling ke Bollywood sebagai alternatif utama.

Pengaruh budaya India terhadap masyarakat Indonesia sudah berlangsung lama, dan dengan masuknya film-film India ke Indonesia, dampaknya juga dirasakan dalam musik dangdut. Pada periode ini, muncul Elly Khadam, seorang penyanyi dangdut yang berinovasi dengan menggabungkan gaya musik India ke dalam dangdut. Ia memperkenalkan elemen-elemen baru seperti alat musik India, Arab, dan gendang Indonesia serta suling bambu yang populer dalam film India. Elly Khadam menciptakan dinamisme dan sensualisme unik yang melahirkan lagu dangdut pertama dengan judul "Boneka Cantik dari India" (Simatupang, 1996: 63).

Elly Khadam menjadi tokoh sentral dalam perkembangan dangdut, dan para musisi seperti Faruk dan Afrinus mengamati bahwa Elly tidak hanya menyanyikan lagu-lagu berwarna India tetapi juga meniru gaya penyanyi India, termasuk kostum dan tariannya. Selama periode ini, kebijakan politik anti-Barat yang diterapkan oleh Soekarno, meskipun mengarah pada pelarangan musik Barat, justru membuka jalan bagi pengaruh besar dari musik India dalam perkembangan dangdut.

5. Periode Penggunaan Variasi (1970an-1990an)

Peralihan rezim dari Soeharto ke Soekarno pada 1966 meninggalkan warisan ekonomi yang tidak stabil akibat kebijakan politik dan ekonomi yang kurang tepat. Pemerintahan Soeharto kemudian fokus pada stabilisasi dan mobilisasi ekonomi. Menurut Arndt dalam van Zanden dan Marks (2012: 347), stabilisasi ekonomi Indonesia telah tercapai dengan membuka kembali negara bagi investasi asing dan domestik. Pada 1971-1980, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi pesat dengan pertumbuhan GDP riil tahunan mencapai 7,3 persen. Lonjakan harga minyak dunia pada 1973 juga memberikan pemasukan berlimpah bagi negara (van Zanden dan Marks, 2012: 347).

Perkembangan ekonomi ini berdampak besar pada dunia musik di Indonesia. Anak-anak muda, terutama dari kalangan pejabat dan ekonomi kelas atas, memiliki akses lebih besar terhadap musik Barat melalui piringan hitam. Band-band rock Barat seperti Deep Purple, Rolling Stones, dan The Beatles menjadi tren, mempengaruhi genre musik di Indonesia, termasuk dangdut. Pada dekade 1970an, musik dangdut mengalami revolusi besar, dengan Soneta Group, dipimpin oleh Rhoma Irama, memainkan peran penting dalam perubahan ini (Susilo, 1998: 27-29).

Rhoma Irama mengubah dangdut dengan memperkenalkan alat musik elektronik seperti gitar listrik, keyboard, dan sound system yang lebih canggih, serta mengintegrasikan tarian-tarian modern. Lirik lagu dangdut juga mengalami perubahan dari tema mendayu-daya dan pesimistis menjadi lebih ceria dan optimis. Rhoma Irama dan Soneta Group mengusung konsep dakwah dalam lirik lagu, menjadikan dangdut lebih dinamis dan mirip dengan musik rock, tanpa mengadopsi semua gaya musik rock Barat.

Perubahan ini juga berhubungan dengan politik dan sosial. Pada era Soeharto, rambut gondrong dianggap identik dengan kriminalitas dan dilarang. Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong) dibentuk untuk menanggulangi masalah ini. Rhoma Irama, meskipun seorang penggemar rock, menggunakan pengalamannya dan pengetahuannya tentang musik Barat untuk mengembangkan dangdut menjadi lebih profesional. Rhoma mampu menambahkan elemen rock ke dalam dangdut tanpa kehilangan esensinya.

Perubahan ini membawa dangdut menuju apa yang disebut sebagai dangdut modern, dengan memadukan berbagai gaya musik. Menurut Rhoma Irama, ia tidak sekadar mengadopsi beat musik rock, tetapi mengambil dinamika dari musik rock, sehingga menghasilkan musik Soneta yang unik. Remy Silado menyebut dangdut sebagai musik pop yang merupakan hasil dari percampuran berbagai budaya, sementara Made Tony menggambarkan dangdut sebagai musik yang menggabungkan elemen-elemen dari Asia Selatan, Timur Tengah, dan gaya musik lokal Indonesia. Popularitas dangdut pada 1980an menegaskan bahwa meskipun pemerintah mencoba mengendalikan budaya, budaya tetap merupakan elemen yang tidak sepenuhnya bisa dikontrol (Vicker, Adrian 2011: 282).

Kesimpulan

Globalisasi, sebagai fenomena yang tak dapat dihindari, mempengaruhi berbagai belahan dunia dan telah terjadi sejak zaman dahulu kala. Pengaruh globalisasi terhadap sejarah bangsa Indonesia telah berlangsung sejak awal abad Masehi, dengan adanya bukti bahwa kerajaan Kutai di Kalimantan Timur memiliki raja-raja dengan nama-nama ke-Indiaan seperti Aswawarman dan Mulawarman. Dampak globalisasi tidak hanya mencakup aspek negatif seperti degradasi moral, tetapi juga berperan penting dalam pembentukan negara bangsa seperti Indonesia. Globalisasi telah menciptakan fenomena yang dikenal sebagai "global village," di mana batas-batas negara menjadi kabur.

Melalui tiga periode penting dalam perkembangan dangdut yang menjadikannya musik khas Indonesia, terlihat jelas bahwa setiap periode tidak dapat dipisahkan dari pengaruh asing. Globalisasi, yang terkait erat dengan permasalahan ekonomi dan politik, juga berdampak besar pada dunia seni dan musik. Dangdut, meskipun dianggap sebagai genre musik yang khas Indonesia, sebenarnya merupakan hasil dari proses akulturasi budaya. Musik dangdut lahir dari percampuran berbagai budaya, termasuk pengaruh India, China, Melayu, Timur Tengah, dan, pada era Rhoma Irama, nuansa rock yang kental. 

Sejarah menunjukkan bahwa meskipun pemerintah berusaha keras untuk mengontrol dan meregulasi budaya, khususnya musik, upaya tersebut tidak pernah sepenuhnya berhasil. Hal ini terbukti jelas dalam tiga periode penting perkembangan musik dangdut, di mana pengaruh asing dan proses akulturasi terus membentuk dan mengubah genre ini. Dangdut, sebagai hasil dari berbagai pengaruh budaya yang bercampur, mencerminkan dinamika globalisasi yang tak terhindarkan dan keberhasilan akulturasi budaya dalam membentuk identitas musik yang unik dan khas Indonesia.

Comments