FILSAFAT KETUHANAN INDONESIA UNTUK MERETAS EKSKLUSIVITAS BERAGAMA : Telaah Terhadap Novel Tuhan Maha Asyik 1-2 Perspektif Heideggerian

 Contoh : Tidak dibolehkan untuk dikutip

FILSAFAT KETUHANAN INDONESIA UNTUK MERETAS EKSKLUSIVITAS BERAGAMA : Telaah Terhadap Novel Tuhan Maha Asyik 1-2 Perspektif Heideggerian

Ulya 1

1 ulya.kamera @gmail.com

* Correspondence: ulya.kamera@gmail.com; Telp. : 08156550932

Received: date; Accepted: date; Published: date

Abstract: Lately in Indonesia there has been a religious trend that emphasizes formality and exclusivity. As a result, conflicts inter-religious people or among groups in a particular religion is often inevitable. This article traces the philosophical messages of the ideas of worshipping god and practicing the religious teachings narrated in the Indonesian novel, Tuhan Maha Asyik, written by Sujiwo Tejo and MN. Kamba; gets the prastructures of the authors who influence their ideas; and explains the contribution of their ideas in preventing religious exclusivity. The article is based on library research with hermeneutic approach. The primary data source is the novel above. Data collection is carried out through documentation. The data analysis uses qualitative – descriptive technique.

The results of the study indicate that according to novel, worshipping god and practicing the religious teachings should be based on love and doing good to fellow human beings and not acting in the name of God to judge others; such author's ideas are formed by their educational and life experiences and religious traditions which ultimately influence their viewpoints and concepts in understanding the divinity and religiousness problems; their ideas contribute to educating the reason and attitude of religious people, specifically, and all societies, generally, avoiding exclusive and to being more inclusive in religious life. To be inclusive in religious life becomes one of the social capitals that needed to strengthen religious moderation in Indonesia

Keywords: being religious; full of love; inclusive; not judging each other; Tuhan Maha Asyik 1-2

Abstrak: Akhir-akhir ini di Indonesia telah terjadi tren keagamaan yang menekankan formalitas dan eksklusivitas. Akibatnya, konflik antar umat beragama atau antar kelompok dalam agama tertentu seringkali tidak bisa dihindari. Artikel ini menelusuri pesan filosofis dari ide-ide menyembah tuhan dan mempraktikkan ajaran agama yang dinarasikan dalam novel Indonesia, Tuhan Maha Asyik, yang ditulis oleh Sujiwo Tejo dan MN. Kamba; mendapatkan prastruktur pengarang yang mempengaruhi ide-ide mereka; dan menjelaskan kontribusi ide-ide mereka dalam mencegah eksklusivitas beragama. Artikel ini didasarkan pada penelitian kepustakaan dengan pendekatan hermeneutik. Sumber data utama adalah novel di atas. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik kualitatif -deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut novel, bertuhan dan beragama seharusnya didasarkan pada sikap cinta dan berbuat baik kepada sesama dan tidak bertindak atas nama Tuhan untuk menghakimi orang lain; ide-ide pengarang tersebut dibentuk oleh pengalaman pendidikan dan kehidupan dan tradisi agama mereka yang pada akhirnya mempengaruhi sudut pandang dan konsep mereka dalam memahami masalah keilahian dan religiusitas; ide-ide mereka berkontribusi untuk mendidik akal budi dan sikap orang-orang beragama, khususnya, dan semua masyarakat, umumnya, menghindari sikap eksklusif dan menjadi lebih inklusif dalam kehidupan beragama. Menjadi inklusif dalam kehidupan beragama menjadi salah satu modal sosial yang dibutuhkan untuk memperkuat moderasi beragama di Indonesia.

Kata Kunci : menjadi religius; penuh cinta; inklusif; tidak saling menghakimi; Tuhan Maha Asyik 1-2

1. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius. Hal ini bisa dilihat pada setiap peringatan hari besar agama yang dirayakan secara semarak, banyaknya tempat ibadah dan banyak pula umat yang beribadah di dalamnya, banyak umat menggunakan asesoris simbol agama dan menggunakan terminologi-terminologi agama dalam komunikasi sehari-hari, dan lain-lain. Namun bersamaan dengan itu, tercatat sederetan aksi kekerasan dan konflik, baik antar umat beragama maupun antar penganut madzhab beragama, sekurang-kurangnya sejak dua dasawarsa terakhir, antara lain, konflik Situbondo tahun 1996, konflik Poso dalam rentang tahun 1998 sampai 2001; konflik Ambon tahun 1999; Konflik Singkil -Aceh tahun 2015; konflik Tolikara tahun 2016 ; pengusiran ratusan warga Syiah di Sidoarjo Jawa Timur yang berujung pada pemilihan opsi menjadi sunni pada tahun 2020 dengan harapan mereka bisa pulang ke kampung halaman; pembakaran Masjid Ahmadiyah di Sintang-Kalimantan Barat tahun 2021; intimidasi dan persekusi terhadap jamaah Ahmadiyah di Garut tahun 2021; juga telah terjadi ketegangan antar kelompok puritan dengan kelompok yang masih melaksanakan tradisi lokal, seperti: kasus pembubaran paksa oleh sejumlah kelompok Islam terhadap kegiatan ritual larung laut di Pantai Parangkusumo Yogyakarta tahun 2018; kasus penendangan sesajen di kawasan Gunung Semeru Lumajang di awal tahun 2022. Dalam peristiwa tersebut tentunya ditemukan banyak pelanggaran moralitas, penodaan pada nilai-nilai kemanusiaan, bahkan penggunaan dasar agama dan pengatasnamaan Tuhan sebagai alat legitimasi atas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan.

Sikap dan perilaku sebagian umat beragama yang demikian merisaukan banyak pihak, termasuk Sujiwo Tejo dan Buya Kamba. Mereka berdua meresponnya dalam karya novel yang berjudul Tuhan Maha Asyik, novel yang sangat unik dan berkarakter. Novel menceritakan tentang kebertuhanan dan keberagamaan. Jika selama ini orang membahas tentang Tuhan dan agama dengan cara serius dan menggunakan bahasa akademik, Sujiwo Tejo dan Buya Kamba membahasnya dengan cara yang menarik dan asyik, kadang-kadang menggunakan bahasa analogi dan cerita keseharian yang dikemas dalam dialog polos dunia anak-anak. Dalam studi hermeneutika, novel tidak hanya sekumpulan cerita yang menarasikan kisah kehidupan dengan bahasa yang estetis, tetapi dia bisa diposisikan sebagai teks. Teks adalah sekumpulan entitas yang digunakan sebagai tanda yang diciptakan pengarang dalam konteks tertentu untuk menyampaikan pesan kepada pembaca (Gracia, 1995, p.4). Berpijak pada pernyataan ini, artikel berusaha menjejak pesan filosofis pengarang yang dituturkan dalam novel berkaitan dengan kebertuhanan dan keberagamaan, faktor yang membentuk narasi pemikirannya, dan kontribusinya dalam meretas sikap eksklusivisme beragama.

Dalam mengkaji 3 (tiga) hal di atas, penulis menggunakan desain penelitian kepustakaan dengan sumber data utamanya adalah karya berjudul Tuhan Maha Asyik jilid 1-2. Pengumpulan datanya menggunakan teknik dokumentasi, sedangkan analisisnya menggunakan teknik interpretasi dengan menggunakan pisau bedah teori hermeneutika Heidegger. Heidegger sebagai salah satu teoritikus hermeneutika yang jarang digunakan sebagai pendekatan studi, padahal menurut penulis sangat penting. Heidegger lebih realistis melihat aktivitas penafsiran. Menurut Heidegger, sebagaimana dikutip oleh Hardiman, bahwa penafsiran seseorang atas obyek tertentu terbentuk oleh pemahaman yang mendahuluinya (pra-paham) sebagai the condition of possibility-nya (Hardiman, 1991, p.9).

Sejauh ini sudah banyak artikel yang menggunakan hermeneutika secara umum sebagai sudut pandang studi novel (Dafid, 2020, p.1-17; Sumariyanto, 2020, p.84-17; Oktaviyani, dkk, 2020, p.78-84). Dari berbagai tulisan dinyatakan bahwa hermeneutika adalah studi yang berkaitan dengan penafsiran atau pemahaman teks. Dalam kajian hermeneutika terdapat beberapa teori. Penggunaan teori hermeneutika tertentu untuk membedah novel juga sudah banyak dilakukan. Beberapa artikel menggunakan teori hermeneutika Ricoeur (Athaya dan Soedarsono, 2019, p.23-29; Ichsan, 2020, p.27-36); yang lain menggunakan teori hermeneutika Gadamer (Syafii , 2018, p.261-276 ; Fajri dan Noverino, 2019,p.113-126; Munandar dan Sofa, 2020,p.146-158); ada yang menggunakan teori hermeneutika poskolonial (Connolly , 2019, p.1-21). Sedangkan studi tentang Heidegger lebih banyak dikaji dari sisi substansi pemikirannya (Aziz, 2013,p.252-265; Smythe, 2020, p.1-9; Muaz, 2020, p.142-152). Adapun studi yang menggunakan hermeneutika Heidegger sebagai pendekatan ditemukan dalam artikel Escudero yang menggunakannya untuk menganalisis fenomena tubuh, bukan novel (Escudero, 2015,p.16-25). Dalam artikel ini, penulis menggunakannya untuk menganalisis novel karya Sujiwo Tejo dan Buya Kamba yang berjudul Tuhan Maha Asyik. Kajian tentang novel ini juga bukanlah yang pertama (Firdaus, 2018,p.104-124; Ichsan, 2020, p.27-36). Ichsan mengkajinya dari pemikiran pendidikan ketauhidan, sedangkan Firdaus pada persoalan umum teologi. Keduanya hanya menjadikan novel jilid 1 saja sebagai sumber data dan belum ditemukan upaya kontekstualisasi bahasan.

Berdasarkan tilikan di atas, pada satu sisi artikel ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan studi sebelumnya dari sisi sumber data dan bahasannya; sedangkan pada sisi yang lain mengambil perspektif yang lebih khusus, baik dari sisi tema maupun pendekatan studi hermeneutika yang digunakan. Artikel diberi judul “ Filsafat Ketuhanan Indonesia Untuk Meretas Eksklusivitas Beragama : Telaah Novel Tuhan Maha Asyik Perspektif Heideggerian”. Artikel ini penting karena nilai kemanfaatan yang bisa didapatkan, antara lain, membuktikan bahwa sebuah karya sastra tidak hanya mengandung nilai estetis saja tetapi juga mengandung nilai-nilai edukatif yang menambah gizi literasi religi pembacanya, juga menjadi salah satu modal budaya yang perlu ditebar-tebarkan dan diinternalisasikan di tengah masyarakat untuk penguatan moderasi beragama.

2. Hasil Penelitian

2.1. Heidegger dan Penafsiran Teks : An Overview

Sebagaimana yang telah disampaikan di atas bahwa hermeneutika adalah studi penafsiran atau pemahaman teks. Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari Bahasa Yunani, hermeneia (kata benda) artinya penafsiran atau hermeneuien (kata kerja) artinya menafsirkan (Harvey, 1986, p. 279). Sedangkan secara terminologi, banyak definisi tentang hermeneutika, antara lain, disampaikan oleh Palmer bahwa hermeneutika adalah proses pengubahan sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan menjadi tahu (Palmer, 1969, p.13). Relevan dengan pendapat Palmer, Bauman sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat, mendefinisikan hermeneutika sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiksi yang menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pembaca (Hidayat, 1996, p.126). Sedangkan menurut Carl E. Braaten, hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana sebuah kata atau peristiwa dalam budaya dan waktu yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang ini (Braaten, t.t., p.131). Mencermati penjelasan di atas bahwa hermeneutika berkaitan dengan aktivitas penafsiran dalam rangka menjelaskan sesuatu yang dinilai belum jelas atau masih kabur sehingga menjadi jelas dan konkret. Palmer dan Bauman melihat aktivitas penafsiran secara umum, sedangkan Braaten lebih khusus dengan mensyaratkan adanya jarak (gap) dalam penafsiran konteks hermeneutika. Jarak dimaksudkan bisa jarak vertikal, yakni jarak antara Tuhan dan manusia, bisa juga jarak horizontal yaitu jarak yang disebabkan perbedaan waktu dan tempat, perbedaan budaya, perbedaan pandangan dunia, perbedaan cara berpikir, dan seterusnya yang sering terjadi antara manusia satu dengan yang lainnya.

 Heidegger adalah salah satu filosof dari Jerman. Dia menjalani kehidupannya selama 87 tahun (lahir, 26 September 1889 - meninggal, 26 Mei 1976). Ayahnya seorang koster pada Gereja Katholik Santo Martinus. Dia menjalani pendidikan dasar dan menengah di Kota Konstanz sedangkan pendidikan tingginya di Freiburg im Breisgau, lulus tahun 1909. Dia menekuni bidang teologi sebagaimana ayahnya (Bertens, 1990, p.155 dan 159). Saat itulah dia berkenalan dengan hermeneutika sebagaimana dinyatakannya dalam Palmer, ”The title ”hermeneutics” was familiar to me from my theological studies. At that time I was especially taken with the question of the relation between the scriptural word and speculative theological thought”(Palmer, 1969, p.153). Dua tahun berikutnya, dia memfokuskan perhatiannya pada studi filsafat di universitas yang sama. Dia memperoleh gelar doktor tahun 1913 setelah mempertahankan disertasi yang berjudul Die Lehre Vom Urteil Im Psychologismus (Bertens, 1990, p.155). Pada tahun 1924 dia diangkat menjadi profesor di Universitas Marburg. Di sana dia bersahabat dengan Rudolf Bultmann, Teolog Protestan ternama, yang memperkaya pemikiran filsafat dan hermeneutikanya. Kekayaan pemikirannya ini dituangkan dalam karyanya, Sein und Zeit. Karya ini melambungkan namanya sehingga dia juga diangkat menjadi profesor di almamaternya, Universitas Freiburg, setahun kemudian (Bertens, 1990, p.157). Sayang, ketenaran dan kemasyhurannya sirna tatkala dia menyatakan simpati dan mendukung Hitler dan Nazisme yang saat itu berkuasa di Jerman. Dia diboikot tidak boleh mengajar. Namun setelah tahun 1951 dia mulai diijinkan kembali mengajar dan berseminar (Bertens, 1990, p.158-159).

 Heidegger bisa dikatakan sebagai pembaharu pemikiran hermeneutika abad 20. Jika sebelumnya perbincangan hermeneutika berfokus pada metode dan teori menafsirkan, Heidegger mengalihkannya pada perbincangan tentang hakikat menafsirkan. Baginya, hermeneutika atau penafsiran atau pemahaman sebagaimana dikutip oleh Gadamer merupakan karakter khas dari eksistensi kehidupan manusia (Gadamer, 1975, p.230). Ini artinya bahwa keberadaan manusia tak bisa dilepaskan dari menafsirkan. Tak ada manusia yang tak melakukan kegiatan penafsiran. Saat manusia berada di ruang seminar, di ruang kerja, di jalan raya, di supermarket, di tempat rekreasi bahwa semua apa yang disampaikannya, apa yang dilakukannya adalah hasil dari kegiatan penafsiran. Penafsiran bukan sekedar hasil pengetahuan atas hal-hal yang tertangkap melalui indera, tetapi penggarapan kemungkinan-kemungkinan yang terskemakan setelah kegiatan berdasarkan indera, misalnya : ada sebuah meja makan yang di atasnya terdapat beberapa buah apel. Orang pertama melihat apel dan menghitungnya lalu menyatakan ada empat apel di atas meja. Orang kedua mengambil apel dan memakannya sebagian, lalu menyatakan bahwa apel itu rasanya manis. Kasus pertama bukan penafsiran, sedangkan kasus kedua adalah penafsiran.

 Heidegger menyatakan bahwa orang menafsirkan demikian itu dipengaruhi oleh 3 (tiga) macam prapemahaman atau pra-struktur, yakni : apa yang sudah dipunyai sebelumnya (Vorhabe), seperti pendidikan dan keyakinan; apa yang sudah dilihat sebelumnya (Vorsicht), yaitu sudut pandang dalam melihat realitas tertentu; dan apa yang sudah ditangkap sebelumnya (Vorgriff), yakni konsep-konsep pemikiran yang sudah menyatu dalam gagasan (Poespoprodjo,1987,p.81; Sumaryono, 1999, p.83, 107). Siapapun orangnya tatkala menafsirkan pasti dipengaruhi oleh 3 (tiga) pra-struktur di atas. Implikasinya banyak orang menafsirkan realitas atau obyek atau teks yang sama, namun hasil penafsiran mereka kemungkinan besar berbeda-beda tergantung pada kondisi masing-masing Vorhabe, Vorsicht, Vorgriff - nya. Dengan demikian makna sebagai hasil aktivitas penafsiran tidak bersifat reproduktif yakni menghasilkan kembali makna awal saat teks saat diciptakan, tetapi bersifat produktif yakni makna hasil penafsiran bisa melampaui makna awal (Gadamer, 1975, p.264). Berdasarkan pada penjelasan inilah pembacaan atas novel Tuhan Maha Asyik 1-2 dalam artikel ini dilaksanakan.

2.2. Profil Novel dan Pengarang

Novel berjudul Tuhan Maha Asyik adalah novel berbahasa Indonesia karya bersama anak bangsa, yaitu Sujiwo Tejo dan Buya Kamba. Novel terdiri dari 2 jilid. Jilid pertama terbit pada tahun 2016 berisi 28 judul dan ditulis dalam 245 halaman, sedangkan jilid kedua terbit pada tahun 2020 berisi 25 judul dan secara keseluruhan ditulis dalam 366 halaman. Keduanya diterbitkan oleh Imania, Tangeran. Judul-judul cerita yang termuat dalam jilid pertama : Wayang (1), Marhaen, Cacing, Zat, Gincu, Antareja, Nyawa, Ketombe, Komat-kamit, Tersesat, Diri (1), Diri (2), Diri (3), Diri (4), Sombong, Logo, Pertanda, Main-main, Tidak Tahu, Jalan Iman, Do’a, Utusan, Wayang (2), Bahasa (1), Bahasa (2), Bahasa (3), Nama, dan Mengingat (Tejo dan Kamba, 2016). Sedangkan judul cerita yang termuat dalam jilid kedua: Nikmat Teh Mana Lagi yang Engkau Dustakan ?, Pindah ke Lain Hati, Bukan Doa Arus Utama, Ikhwal Niat, Mengamal Ayat, Tapal Batas Kesabaran, Set dan Subsetnya, Matematika Tanduk Banteng, Langit yang Membumi Bumi yang Melangit, Gerak tak Sadar, Helm Pengalih Perhatian, Ketika Musik Dilenyapkan dari Bahasa, Manusia Dulu Manusia Kini Asyik Mana ?, Bukan Pusat Cuma yang Berbeda, Lupa Niat, Manusia Buatan Baju, Perasaan, Kitab Genom, Gandengan, “………..”, Mencari Kunci di Keterangan, Perempuan Tepi Pantai, Satu Surah untuk Semua, Satu Kata Triliunan Nuansa, Dunia Ini Penghalang Apa Penampak Tuhan (Tejo dan Kamba, 2020).

Pengarang mengisahkan dalam novelnya banyak hal yang berkaitan dengan kebertuhanan dan keberagamaan. Saat memaparkan kisah-kisahnya tak jarang pengarang menyampaikan kegelisahannya tentang fenomena memudarnya jiwa-jiwa bertuhan dari sebagian besar umat beragama. Keberagamaan mereka menjadi formal. Formalisme beragama justru lebih banyak digandrungi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat luas. Akibatnya mereka cenderung bersikap eksklusif. Sikap eksklusif di ranah publik rentan melahirkan ketegangan dan konflik. Paparan persoalan-persoalan serius ini dikemas oleh pengarang dengan narasi bahasa yang asyik, menarik, dan sederhana, sering menggunakan bahasa analogi untuk memudahkan pembaca menangkap pesan dimaksud dan untuk menghindari kesan menggurui. Keasyikan, kemenarikan, kesederhanaan novel juga bisa dilihat melalui setting novel berupa kehidupan anak-anak saat mereka bermain maupun belajar di sekolah atau saat mereka ngobrol santai dengan teman-temannya maupun saat berdiskusi dengan guru-gurunya. Anak-anak yang menjadi tokoh utama novel diberi nama Kapitayan, Buchori, Christine, Dharma, Pangestu, Parwati, dan Samin. Penamaan tokoh oleh pengarang juga tidak tanpa alasan. Penamaan mencerminkan keragaman. Kapitayan anak seorang dalang, Buchori mencerminkan kemusliman, Christine ditokohkan sebagai pemeluk kristiani beretnis Cina dan dari keluarga kaya lagi modern, Parwati dari keluarga penari jawa yang sangat menyintai budaya lokal, Pangestu melambangkan penganut kepercayaan, Dharma dari keluarga pemeluk Hindu, dan Samin anak tukang kayu yang miskin berasal dari salah satu kelompok masyarakat adat di Jawa Tengah.

Sebelum memasuki rangkaian pembahasan yang menjadi kajian pokok artikel ini, penulis mendeskripsikan sosok kedua pengarang novel terlebih dahulu. Pengarang pertama adalah SujiwoTejo. Nama aslinya, Agus Hadi Sudjiwo. Dia dilahirkan di Jember, 31 Agustus 1962, tetapi dibesarkan di Situbondo. Dia lahir dari keluarga dalang. Sujiwo Tejo mengawali pendidikan dasarnya di SDN Mangaran (1974); melanjutkan SMP di Asem Bagus (1977); lalu di SMAN Situbondo (1980) (Apa dan Siapa Sujiwo Tejo dalam https://ahmad.web.id/sites/apa_dan_siapa_tempo/profil/S/20030701-26-S_1.html). Lulus SMA, dia melanjutkan di ITB Bandung pada Jurusan Matematika (1980-1985) dan Jurusan Teknik Sipil (1981-1988) (Tejo dan Kamba, 2016, p. 235). Dia mendapatkan pengalaman spiritual saat kuliah. Baginya, belajar matematika tidak hanya melulu belajar angka dan kemampuan menghitung, tetapi menumbuhkan kemampuan reflektif, yaitu mencari pola dari sesuatu yang semula tampak tak terpola. Hal ini dia mengaitkannya dengan ritme dan melodi saat mengaji al-Qur’an. Sedangkan belajar di Teknik Sipil membuatnya berkesimpulan bahwa struktur terkecil yang paling stabil di alam semesta adalah segitiga sebagaimana contohnya hubungan antara Tuhan, Nabi, dan umat manusia (Tejo dan Kamba, 2016, p. 236).

Sujiwo Tejo mendedikasikan sebagian besar hidupnya pada dunia kesenian. Dia seorang dalang yang mewarisi tradisi keluarganya. Dia aktivis teater, pemain film, sutradara, pemusik, bahkan pelukis. Dia juga seorang jurnalis yang pernah mengabdikan dirinya di sebuah Koran Nasional Kompas selama kurang lebih 8 (delapan) tahun. Sujiwo Tejo banyak melahirkan karya seni di berbagai bidang. Berikut adalah di antara koleksi karya tulisnya : Kelakar Madura buat Gus Dur (Lotus, 2001), Dalang Edan (Aksara Karunia, 2002), The Sax (Eksotika Karmawibhangga Indonesia, 2003), Ngawur Karena Benar (Imania, 2012), Jiwo Jancuk (Gagas Media, 2012), Lupa Endonesa (Bentang, 2012), Republik Jancukers (Kompas, 2012), Dalang Galau Ngetwit (Imania, 2013), Kang Mbok: Sketsa Kehidupan Sri Teddy Rusdy (Komunitas Bambu, 2013), Lupa Endonesa Deui (Bentang Pustaka, 2014), Rahvayana ‘Aku Lala Padamu’ (Bentang Pustaka, 2014), Rahvayana ‘Ada yang Tiada’ (Bentang Pustaka, 2015), Serat Tripama Gugur Cinta di Maespati (Bentang Budaya, 2016), Balada Gathak Gathuk (Bentang Pustaka, 2016), Lupa 3ndonesa (Bentang Pustaka, 2016), dan Tuhan Maha Asyik (Imania, 2016), Serat Tripama #2: Kumbakarna (Bentang Pustaka, 2017), Sabdo Cinta Angon Kasih (Bentang Pustaka, 2018), Talijiwo (Bentang Pustaka, 2018), Senandung Talijiwo (Bentang Pustaka, 2019), Tembang Talijiwo (Diva Press, 2020), Tuhan Maha Asyik 2 (Imania, 2020) (Tejo dan Kamba, 2016, p. 237; “Sujiwo Tejo” dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Sujiwo_Tejo). Barangkali karena darah seninya ini, dia menghindari cara-cara formal, termasuk dalam beragama. Dalam sebuah tulisan hasil wawancara dia menjawab saat ditanya tentang persoalan agama : “ Agamaku apa ? ini sulit kujawab kecuali yang nanya petugas KTP untuk formalitas. Bila kujawab “Islam” kok rasanya aku Ge Er banget. Bukanlah makna “Islam” antara lain “berserah diri cuma ke Allah?”. Nah, yang tahu ini kan cuma Allah. Bisa saja sejatinya aku masih berserah diri pada uang, dll”( Bingung jika ditanya soal agama Sujiwo Tejo ngaku Islam kok ge er banget dalam https:// jogja.suara.com/read/2021/01/22/140508).

 Selanjutnya pengarang kedua adalah Buya Kamba. Muhammad Nur Samad Kamba adalah nama lengkapnya. Dia seorang akademisi yang menekuni bidang kajian tasawuf, sekaligus sufi. Dia lahir di Pinrang, Sulawesi Selatan, 23 September 1958 dan meninggal di Jakarta, 20 Juni 2020 (Profil Nursamad Kamba yang Meninggal Hari Ini dalam https://news.detik.com/berita/d-5061642/profil-nursamad-kamba-yang-meninggal-dunia-hari-ini). Sejak kecil dia belajar ilmu agama bersama keluarganya, sedangkan pendidikan umumnya mulai SD sampai SMA dilalui di Leppangang dan Pare-Pare Sulawesi Selatan (1980) (Mustofa, 2019, p. 167). Setelah itu, dia melanjutkan pendidikan tinggi mulai Program Sarjana (S1) sampai Doktor (S3) di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Dia belajar pada Jurusan Akidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin (1981-1994) (Tejo dan Kamba, 2016, p. 236). Disertasinya berjudul Nadlariyat al-Ma’rifat ‘inda al-Junayd al-Baghdady yang mengkaji tentang pemikiran makrifat menurut Imam Junayd al-Baghdady, salah satu tokoh sufi terkenal dari Bagdad (Mustofa, 2019, p.168). Dia pernah mengikuti pendidikan postdoktoral yang diselenggarakan oleh CIDA/Departemen Agama RI di Mc. Gill University Montreal Kanada (1996-1997) (Mustofa, 2019, p. 167).

Buya Kamba memulai karir akademiknya sebagai dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 1998 sampai saat meninggalnya. Dia mengampu mata kuliah Tasawuf pada Jurusan Tasawuf Psikoterapi di Fakultas Ushuluddin (Muhammad Nur Samad Kamba dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nur_Samad_Kamba). Dia juga pernah menjadi dosen tamu di program pascasarjana IAIN Sumatra Utara Medan (1998-2000) (Mustofa, 2019, p. 169). Selain sebagai akademisi, dia juga birokrat. Dia pernah menduduki beberapa jabatan penting di bawah Kementerian Agama, juga Kementerian Luar Negeri RI (Muhammad Nur Samad Kamba dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nur_Samad_Kamba ; Profil Nursamad Kamba yang Meninggal Hari Ini dalam https://news.detik.com/berita/d-5061642/profil-nursamad-kamba-yang-meninggal-dunia-hari-ini ; Tejo dan Kamba, 2016, p. 239). Dia juga seorang sufi. Jejak kesufian Buya Kamba mulai terlacak saat dia bertemu dengan seorang guru sufi yang bernama Muhammad Dhiyauddin al-Kurdi di Mesir. Pertemuannya dengan tokoh ini menyisakan kesan yang mendalam. Jiwanya menjadi damai dan tenang, meski dalam setiap pertemuannya tak pernah membicarakan tentang tasawuf. Hanya saja cara mengajarnya yang selalu menyentuh sisi spiritual membuat hati Buya Kamba bergetar (Mustofa, 2019, p. 168). Setiba di Indonesia, dia bergabung dengan Forum Masyarakat Maiyah yang diinisiasi oleh Emha Ainun Nadjib atau yang dikenal dengan Cak Nun. Jika Cak Nun sebagai rujukan yang mengajari praktik keIslaman, maka Buya Kamba sebagai rujukan keilmuannya (Muhammad Nur Samad Kamba dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nur_Samad_Kamba).

Di tengah-tengah kesibukannya, dia masih menyempatkan diri menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan yang bisa dibaca oleh masyarakat luas. Beberapa tulisannya terdokumentasikan dalam berbagai judul yaitu : Fatawa Majlis al-Ulama al Indunisi (Terjemah Indonesia-Arab) (CENSIS, 1996), Universitas Al-Azhar : Problem Modernisasi Pendidikan Islam ( PERTA, 1997), Al-Shirath al-Wasath (CENSIS, 1997),Abdul Karim Amrullah wa Atsaruhu fi al-Harakat al-Tajdidiyah al-Islamiyah bi Minangkabau (CENSIS, 1999), Al-Sirah al Nabawiyah (Terjemah-Arab-Indonesia) (Adigna Media Utama, 1999), Syabakat al-Ulama (Terjemah Indonesia-Arab) (CENSIS, 1999), Al-Muhammadiyah wa Nahdlatul Ulama fi Nazhri al-Ulama bi al-Syarq al-Awsath (Mimbar Studi, 1999), Islam Sufistik (Terjemah Arab-Indonesia) (Mizan, 2001), Tuhan Maha Asyik 1 (Imania, 2016), Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam (Imania, 2018), Mencintai Allah Secara Merdeka (Imania, 2020), Tuhan Maha Asyik 2 (Imania, 2020) (Tejo dan Kamba, 2016, p. 238).

2.3. Pesan Ketuhanan dan Keberagamaan dalam Novel

Seperti telah disampaikan di atas bahwa novel Tuhan Maha Asyik 1-2 membahas seputar pemikiran-pemikiran mendalam dari pengarang tentang kebertuhanan dan keberagamaan. Melalui pembacaan atas novel, beberapa persoalan penting bisa diklasifikasikan secara tematik, yaitu : 1). imanensi Tuhan, 2). memaknai tauhid, 3). jalan menuju Tuhan, 4). beragama tidak meninggalkan Tuhan, 5). memahami kitab suci dan pembentukan jati diri muslim, 6). peran manusia dalam penciptaan. Adapun penjelasan masing-masing sebagaimana uraian di bawah ini.

Tentang tema pertama, imanensi Tuhan. Dianalogikan dengan langit yang membumi dan bumi yang melangit, pengarang novel menjelaskan tentang dasar penciptaan Tuhan di dunia yang bersifat imanen, artinya Tuhan hadir dalam alam semesta dan dalam setiap proses kehidupan. Dijelaskan bahwa semula hanya Dia Yang Ada satu-satunya, Maha Mutlak, Maha Segalanya, termasuk Maha Menciptakan. Dia ber-tajalli sebagai Sang Pencipta maka seluruh ciptaanNya mengada secara potensial. Dia ber-tajalli sebagai Nur Muhammad yang mencahayai wujud-wujud potensial sehingga menjadi wujud aktual. Dia ber-tajalli sebagai Pangayom dan Pembimbing seluruh ciptaanNya menuju diriNya. Dia ber-tajalli dalam perwujudan konkret setiap ciptaanNya (Tejo dan Kamba, 2020, p.147). Demikian juga manusia sebagai salah satu ciptaanNya berada. Antara manusia dan Tuhan hampir-hampir tak berjarak karena eksistensi manusia sebagai pancaran ‘cahaya’ Tuhan bahkan dikatakan dalam novel bahwa di dalam diri manusia di situlah ada Tuhan. Karenanya manusia tak perlu mencari Tuhan kemana-mana (Tejo dan Kamba, 2020, p.148).

Tema kedua, tentang tauhid. Secara etimologi, kata tauhid berasal dari Bahasa Arab, dari akar kata wahhada yang artinya mengesakan (Munawir, 1984, p.1542). Secara definitif, tauhid adalah sebuah kajian atau ajaran tentang keesaan Tuhan dalam pandangan Islam, sebagai agama monotheisme merupakan sifat terpenting di antara segala sifat-sifat Tuhan (Nasution, 1986,p.ix). Tauhid menjadi konsep pokok yang harus diimani oleh setiap muslim. Wahyu penting yang menggambarkan tentang ketauhidan Tuhan adalah QS. Al-Ikhlas ayat 1-4 sebagai berikut :

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ٣ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤

Artinya :

Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa ; Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu; Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan; dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (Qs. Al-Ikhlas [112] : 1-4) (Departemen Agama RI, 1993, p.1118).

Tauhid dijelaskan dalam novel bukan sekedar konsepsi teologis, tetapi sebagai pandangan hidup yang harus dimanifestasikan dalam praktik kehidupan. Tauhid dimaknai dalam novel sebagai kemampuan menyatukan, memadukan, dan mengintegrasikan. Manusia sebagai khalifah atau pemimpin harus memiliki kemampuan ini. Meraih kedudukan ini, manusia harus manunggal dengan Tuhan melalui fana, yaitu peniadaan diri dengan jalan pengosongan dari segala hasrat dan kecenderungan jiwa. Yang ada hanya rasa mencintaiNya, merefleksikan kebaikan-kebaikan dan keindahanNya dalam kehidupan (Tejo dan Kamba, 2016, p.119). Tauhid sebagai kemampuan menyatukan, memadukan, mengintegrasikan dengan cinta ini harus menjadi ruh dari setiap kegiatan manusia dalam mengendalikan dan mengintegrasikan realitas beragam di dunia menuju harmonisasi kehidupan (Tejo dan Kamba, 2016, p.74-75, 77).

Selanjutnya tema ketiga, novel juga menjelaskan tentang jalan menuju atau mengenal Tuhan Yang Esa. Disebutkan bahwa banyak cara menuju atau mengenal Tuhan yang selama ini dilakukan oleh manusia. Ada yang melakukannya dengan cara menanalogikan dengan lainnya, mendiskusikan, menjalani ritual formal, juga tawalli. Yang mengenal Tuhan dengan analogi seringkali membandingkan Tuhan dengan dalang dalam dunia pewayangan. Dengan cara seperti ini tidaklah akan menyampaikan manusia pada Tuhan yang sesungguhnya karena dengan membandingkanNya dengan dalang atau yang lain maka Dia tidak lagi Tuhan Yang Maha Mutlak, Yang Impersonal (Tejo dan Kamba, 2016, p.186). Kelompok lain mengenal Tuhan dengan cara mendiskusikanNya. Berdiskusi tentang Tuhan sama saja membicarakan sesuatu yang tidak diketahui maka hasilnya sebatas mengandai-andai, juga tidak bisa menyampaikan pada Tuhan itu sendiri (Tejo dan Kamba, 2016, p.163). Sekarang ini banyak orang menuju Tuhan dengan cara mendekatkan diri kepadaNya dengan melaksanakan ritual-ritual formal, seperti : berjubah bagi laki-laki atau menggunakan niqab bagi perempuan, melingkarkan tasbih di tangan, bersedekah dengan menuliskan nama, dan lain-lain. Formalitas beragama seperti itu rentan melahirkan kesombongan, ketidaktulusan, dan ketidakikhlasan (Tejo dan Kamba, 2016, p.141,171). Cara lain manusia mengenal Tuhan melalui tawalli, yaitu pengambilalihan manusia sebagai hamba dan menjelmakan diri ke dalam diri hamba dan hamba menyatukan diri ke dalam Tuhan. Dengan mekanisme itu manusia mengetahui dan mengenali Tuhan bukan secara independen melainkan melalui Tuhan. Dalam tradisi sufistik, tawalli dilakukan melalui 3 (tiga) proses berturut-turut, yaitu : takhalli, tahalli, tajalli. Takhalli membersihkan diri dari dorongan yang mendestruksi jiwa. Tahalli merupakan tindakan peniruan sifat Tuhan dengan cara menginternalisasikan ke dalam diri. Tajalli adalah keadaan spiritual ketika seseorang merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya bersih. Namun kadang-kadang ada juga orang bisa mengenal Tuhan tanpa melalui proses apapun yang dikenal dengan majdzub yakni Tuhan menunjuk hamba pilihan begitu saja tanpa proses (Tejo dan Kamba, 2016, p.187).

Bagaimanapun jalan menuju Tuhan yang dilalui, landasan dasar nan utama adalah keheningan, tidak sibuk membandingkan dan memperdebatkanNya. Membandingkan dan memperdebatkan tentang Tuhan hasilnya hanya berupa gambaran persepsional dan konseptual tentangNya. Tuhan menjadi produk rekayasa akal. Tuhan dipersonalisasikan padahal Tuhan itu bersifat impersonal. Kegiatan semacam ini justru hanya akan mengaburkan hakikat Tuhan. Sedangkan mengenal Tuhan dalam keheningan adalah berupaya menyatu denganNya. Menyatu denganNya berarti merefleksikan kebaikan-kebaikanNya dalam kehidupan (Tejo dan Kamba, 2016, p.111, 119; Tejo dan Kamba, 2020, p. 332). Cinta, suka menolong, menghargai sesama, kasih sayang, menghormati, memaafkan, ikhlas, bertanggung jawab, bekerja keras adalah di antara jalan hidup saat manusia menyatu denganNya.

Tema keempat, beragama tidak boleh meninggalkan Tuhan. Manusia tidak boleh meninggalkan Tuhan dalam beragama karena bertuhan adalah poros beragama. Manusia beragama tetapi meninggalkan Tuhan adalah mereka yang dalam beragama hanya mendiskusikan konsep-konsep keimanan, aturan-aturan peribadatan atau sibuk menafsirkan firman-firmanNya saja. Dinyatakan dalam sebuah narasi novel bahwa :

Sangatlah penting bertuhan dalam beragama. Namun, terkadang orang tidak menyadari bahwa dalam kegiatan beragamanya ia bisa jadi malah tidak bertuhan. Itu terjadi saat mereka disibukkan oleh rumusan aturan-aturan keimanan dan peribadatan yang baku. Padahal, rumusan-rumusan tersebut boleh jadi tidak berasal dari Tuhan secara langsung, tetapi merupakan penafsiran (manusia) atas firman-firman Tuhan. Dan di sinilah yang bisa menjadi pangkal permasalahan agama: ketika orang-orang beragama sibuk menafsirkan firman-firman dan lupa bertuhan (Tejo dan Kamba, 2020: p.58-59)

Tujuan beragama sesuai dengan misi profetik kenabian adalah reformasi sosial untuk mewujudkan nilai-nilai universal kemanusiaan (Tejo dan Kamba, 2020: p.58). Oleh karenanya manusia beragama, selain menunaikan peribadatan kepada Tuhan, dia tidak boleh mengabaikan kepentingan sesama manusia. Mengabaikan kepentingan sesama manusia, apalagi dengan alasan menunaikan ibadah kepadaTuhan justru menjerumuskan manusia ke dalam egoisme atau perilaku selfish. Egoisme atau perilaku selfish bisa menjebak diri manusia ke dalam perilaku syirik yang tersembunyi (Tejo dan Kamba, 2020, p. 61). Beragama yang bertuhan yaitu melakukan ibadah sosial, bekerja keras, merealisasikan independensi, menegakkan keadilan, menebar kebijaksaan, mengedepankan kejujuran, atas dasar cinta kasih sesama manusia dan semua ciptaanNya (Tejo dan Kamba, 2020, p. 63).

 Tema kelima tentang pemahaman kitab suci. Memahami kitab suci bertujuan untuk pembentukan jati diri muslim, yaitu membumikan cinta dan kebaikan-kebaikan Tuhan untuk kehidupan dan kemanusiaan universal. Untuk mencapai tujuan itu maka memahami kitab suci tidak identik dengan membaca teks-teks bahasa lainnya yang menggunakan pendekatan kebahasaan untuk memastikan sebuah makna, melainkan memahami firmanNya yang sarat makna. Memastikan suatu makna menjadikan makna kitab suci terbatas sedangkan persoalan manusia berkembang sepanjang zaman. Akibatnya muncul penilaian bahwa kitab suci menghambat kemajuan, ajaran agama tidak menemukan relevansinya dalam kehidupan. Memahami kitab suci dengan pendekatan bahasa juga rentan mereduksi firman Allah yang ilahiyah menjadi insaniyah karena seringkali penafsir mereduksi firmanNya dalam hukum-hukum agama, yaitu : wajib, sunnah, haram, makruh, mubah. Hukum-hukum tersebut bukan firmanNya, tidak pula tercatat dalam kitab suci. Dia merupakan produk manusia hasil kegiatan penafsiran, tetapi akhirnya seringkali diatasnamakan dari Tuhan (Tejo dan Kamba, 2020, p. 184-185). Akan menjadi berbahaya lagi jika dalam praktiknya, hukum-hukum tersebut digunakan untuk menilai sikap dan perilaku manusia dengan mengatasnamakan Tuhan. Ini harus dihindari.

Menurut paparan dalam novel, memahami kitab suci adalah berdialog denganNya. “Kitab suci tidak seharusnya diperlakukan sebagai kitab hukum. Tidak juga seharusnya dibaca sebagai teks biasa. Firman-firman Tuhan pada dasarnya mengajak manusia berdialog dengan dirinya sendiri” (Tejo dan Kamba, 2016, p. 193). Makna kitab suci yang didapatkan melalui dialog menghasilkan cinta, kebaikan, dan tidak akan berlaku mengatasnamakan diri sebagai Tuhan. Seluruh kandungan kitab suci adalah kebaikan (Tejo dan Kamba, 2016, p. 193). Pengarang novel menyontohkan kasus jihad. Melalui dialog dengan diri sendiri maka makna jihad berkaitan dengan kebaikan, bukan semangat menyerang yang lain setelah menilai orang lain salah, melainkan kekuatan spiritual dalam kepribadian setiap manusia untuk berjuang meraih sukses di bidang apapun dalam kehidupan, tidak memburu kekuasaan, tidak juga memprovokasi umat agar menyerang golongan lain. Makna seperti contoh ini diinternalisasikan dalam diri agar menjadi sifat dan karakter pribadi. Setelah terjadi proses internalisasi dilanjutkan dengan upaya eksternalisasi yaitu menampakkan kebaikan dalam sikap dan perilaku pribadi. Selanjutnya sosialisasi dengan merefleksikan sifat dan karakter pribadi dalam interaksi sosial. Inilah proses pembentukan jati diri berdasarkan kitab suci (Tejo dan Kamba, 2016, p.193).

Tema terakhir atau keenam adalah tema tentang peran manusia dalam penciptaan. Penjelasan dalam novel menegaskan bahwa pemilik otoritas alam semesta adalahTuhan, bukan manusia. Meski demikian manusia tetap memiliki kehendak dan pilihan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Istilah pengarang novel bahwa manusia sebagai co-worker Tuhan (Tejo dan Kamba, 2020, p.114). Manusia sebagai co-worker Tuhan artinya bahwa penciptaan oleh Tuhan dilakukan melalui proses yang melibatkan manusia. Ketentuan Tuhan atas manusia berjalan sesuai dengan sunnatullah (sebab-akibat). Tidak mungkin Tuhan memberi kekayaan pada manusia yang malas bekerja, tidak mungkin Tuhan memberikan kelulusan ujian bagi manusia yang tidak pernah belajar, dan lain-lain. Hal ini menggambarkanTuhan dan manusia sama-sama berperan dalam penciptaan, tidak seperti jabariyah yang meniadakan peran manusia (predestination), tidak juga seperti qadariyah yang menihilkan peran Tuhan dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang bebas berkehendak dan berbuat (free will and free act).

Karena manusia bukan pemilik otoritas yang senyatanya, artinya manusia hidup dan berproses di dunia melalui keterlibatanNya, maka manusia tak berhak memposisikan diri sebagai Tuhan. Dalam konteks ini manusia tak berhak menegasikan yang lain, menggurui orang lain, mengklaim dirinya paling benar, menyesatkan pihak lain yang tidak sependapat, mengatasnamakan misi ketuhanan untuk kepentingan kelompok tertentu, bahkan menghakimi apalagi mengutuk pihak yang lain yang berbeda jalan keyakinan, dan lain-lain (Tejo dan Kamba, 2016, p.60-61, 106).

 Demikian rangkaian pokok pemikiran mendalam tentang kebertuhanan dan keberagamaan yang telah diuraikan dalam narasi novel, baik secara eksplisit maupun implisit. Hasil penafsiran atau pemahaman pengarang atas berbagai persoalan sebagaimana tertuang dalam novel memiliki unsur historisitas. Dia lahir dipengaruhi oleh setting sosial, kultural, pendidikan, bahkan watak kepribadian pengarangnya. Yang demikian oleh Heidegger disebut dengan prapemahaman atau prastruktur sebagaimana dijelaskan selanjutnya.

2.4. Prastruktur Pengarang Berpengaruh pada Isi Novel

Heidegger menyatakan bahwa penafsiran atau pemahaman atas sesuatu oleh manusia, siapapun, dipengaruhi oleh prapemahaman atau prastruktur. Prapemahaman atau prastruktur terbentuk oleh Vorhabe, seperti pendidikan atau keyakinan; Vorsicht yakni sudut pandang atau perspektif ; dan Vorgriff yaitu konsep-konsep pemikiran terdahulu yang sudah dimiliki (Poespoprodjo, 1987, p. 81; Sumaryono, 1999, p. 83, 107). Kesadaran tentang hal ini ternyata sudah ditangkap oleh pengarang novel meski dalam bahasa yang berbeda. Dalam novel dinyatakan bahwa mindset seseorang atas sesuatu mempengaruhi pendapat, sikap, bahkan perilaku seseorang tersebut atas sesuatu itu sebagaimana dikisahkan dalam sub bab yang berjudul Cacing. Pengarang menggambarkan sikap Pangestu, Buchori, dan Kapitayan terhadap cacing. Mereka sama-sama dari keluarga sederhana, namun mereka memiliki pendapat dan sikap yang berbeda terhadap cacing. Pengestu tidak jijik terhadap cacing karena dia senang memancing dan bermain cacing, sedangkan Buchori sangat jijik terhadap cacing. Adapun Kapitayan, semula dia seperti Pangestu yang tidak jijik terhadap cacing. Dia sering mencari cacing untuk umpan saat membantu pamannya memancing. Namun sejak dia mendengar orang tuanya berkata kalau cacing itu binatang menjijikkan sambil memperlihatkan wajah yang berkernyit-kernyit setiap melihat cacing, membuat Kapitayan berubah bersikap jijik terhadap cacing (Tejo dan Kamba, 2016, p.37-38,40). Kesadaran ini juga dinyatakan kembali dalam sub bab yang lain. Dikatakan bahwa makna dan pemahaman seseorang atas dunia bersifat relatif tergantung perspektif mana orang memandang (Tejo dan Kamba, 2016, p.50).

Sesungguhnya paparan tentang tema-tema kebertuhanan dan keberagamaan dalam novel disampaikan oleh pengarang dengan bahasa yang santun, mengedepankan kedamaian, dan cinta sesama. Mereka tidak menggunakan pendekatan normatif yang menilai benar - salah atau pendekatan jadalis yang mengajak pihak lain untuk berdebat. Mereka menggunakan pendekatan hati nurani, berusaha memahami dan berempati terhadap pihak lain. Pendekatan semacam ini memiliki relevansi dengan jalan sufi. Terminologi-terminologi kesufian juga banyak menghiasi narasi novel, seperti : konsep cinta, tawalli, tajalli, fana, laku hening, mengkritik debat agama, juga menghindari formalitas dalam beragama, dan lain-lain. Tentunya demikian itu disebabkan oleh prapemahaman atau prastruktur dari para pengarangnya, yang mengkristal dari Vorhabe, Vorsicht, Vorgriff mereka

Dari sisi Vorhabe (latar belakang pendidikan, keyakinan, agama, madzhab beragama), Sujiwo Tejo, memang tidak terlacak berasal dari keluarga religius. Keluarganya adalah seniman. Ayahnya seorang dalang (Tejo dan Kamba, 2016, p.235; Sujiwo Tejo dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Sujiwo_Tejo). Sejak kecil dia sudah dilibatkan ayahnya di dunia ini, meski setelah dewasa dia tidak hanya tumbuh sebagai seorang dalang. Dia berkembang menjadi seniman dengan multitalenta. Dia aktif bermain teater, bermusik, berkecimpung di bidang perfilman, baik sebagai aktor maupun sutradara, gemar melukis, juga menjadi penulis yang produktif. Jiwa seninya menjadi bagian dari kepribadiannya yang telah melahirkan sikap kreatifnya, tidak bersifat keras dan kaku, adaptif, lebih suka menghindari hal-hal yang formalistis. Dalam karya novel ini, Sujiwo Tejo bertemu dengan Buya Kamba yang seorang sufi. Berbeda dengan Sujiwo Tejo, sejak lahir Buya Kamba berada dalam keluarga yang religius. Sejak kecil telah belajar agama pada orang tuanya sebelum akhirnya dia memperdalam ilmunya di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir (1981- 1994) (Tejo dan Kamba, 2016, p.238;Muhammad Nur Samad Kamba dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nur_Samad_Kamba). Di Mesir inilah dia bertemu lalu berguru pada Muhammad Dhiyauddin al-Kurdi, seorang mursyid atau guru sufi. Pertemuan dengan gurunya ini menjadikan Buya Kamba memiliki laku sufi. Pengalaman ini juga yang mengantarkannya menulis disertasi berjudul Nadlariyat al-Ma’rifat ‘inda al-Junayd al-Baghdady. Disertasi mengkaji tentang pemikiran makrifat menurut salah satu sufi ternama bernama Imam Junaid al-Baghdady (Mustofa, 2019, p.168). Ini membuktikannya sebagai praktisi sekaligus akademisi bidang sufistik. Latar belakang pendidikan dan corak keberagamaan ini membentuk mereka dalam menentukan sudut pandang melihat atau memahami persoalan kebertuhanan dan keberagamaan (Vorsicht). Darah Sujiwo Tejo teraliri darah seni, sedangkan Buya Kamba memiliki darah sufi. Keduanya bertemu dan bersama-sama melihat persoalan tuhan dan agama dari sudut pandang yang penuh estetis yang menekankan keindahan, cinta, dan kebaikan, berbasis religiusitas sufistik yang menekankan sisi esoteris, tidak menilai pihak lain dari sisi lahiriyahnya saja. Selain oleh pendidikan, corak keberagamaan, sudut pandang, dikuatkan dengan keseluruhan proses dan pengalaman hidup serta tantangan yang dihadapi telah memenuhi ‘ruang kepala’ kedua pengarang (Vorgriff) menjadi referensi yang menguatkan gagasannya seperti itu. Basis beragama yang demikian itu mendorong lahirnya sikap inklusivitas dalam beragama khususnya dan dalam berkehidupan sosial yang plural pada umumnya.

2.5. Dari Formalis-Eksklusif Menuju Inklusif

Isi dunia bersifat plural dilihat dari beraneka macam sisinya. Manusia hidup di dalamnya tak bisa menghindari pluralitas. Dia tak bisa mencegah kontak dengan mereka yang berbeda agama, berbeda madzhab beragama, berbeda tradisi agama, juga perbedaan-perbedaan lainnya. Menurut Panikkar, pertemuan antar manusia yang berbeda ini menghasilkan 4 (empat) macam klasifikasi sikap, yaitu : eksklusif, inklusif, paralel, dan interpenetrasi (Panikar dalam Kessler (ed.), 1999, p. 530-535). Eksklusif adalah sikap yang tertutup. Umat beragama yang bersikap eksklusif meyakini bahwa hanya agamanya dan pendapatnya sendiri yang benar dan baik, sedangkan yang berbeda darinya adalah salah dan tidak baik. Pendirian semacam ini apabila diimplementasikan di ruang publik yang multi agama dan budaya cenderung destruktif sebab berimplikasi pada sikap arogansi, tak mau dikritik, klaim kebenaran, yang semua itu berpotensi melahirkan intoleransi berupa ketegangan dan konflik. Selanjutnya sikap inklusif adalah sikap yang lebih terbuka dan menerima perbedaan. Sikap ini memecahkan kekakuan eksklusivisme menuju toleransi. Selanjutnya sikap parallel yang telah memandang sama benar dan sama baik beragam agama atau pendapat. Keragaman terjadi hanya disebabkan interpretasi, cara pandang, pengalaman yang berbeda. Hick menganalogikan hal tersebut dengan sekelompok orang buta yang mendeskripsikan gajah. Hasilnya berbeda-beda karena tergantung pada apa yang telah dipegang oleh mereka. Hick menyatakan demikian saat menjelaskan tentang perbedaan Tuhan yang dikembangkan agama-agama, sebagaimana ditulis oleh Evans sebagai berikut:

Perhaps the apparently conflicting views the various religions have developed about God are like the apparently conflicting descriptions of elephant produced by a group of blind people. The various religions all present images of the devine, each expressing some aspect or range of aspects and yet none by itself fully and exhaustively corresponding to the infinite nature of the ultimate reality. The apparent differences are due to the differing interpretation humans have placed their experience of divine, which are due to the different cultural historical circumstances which have conditioned the experiences (Evans, 1982, p. 181-182) .

Sikap parallel melahirkan toleransi, solidaritas antar sesama, saling menghormati, dan menghargai perbedaan secara tulus. Sedangkan yang terakhir adalah sikap interpenetrasi. Mereka yang mengembangkan sikap ini selalu mencoba untuk memahami kebenaran dan kebaikan agama, madzhab beragama lain, pendapat lain, dan lain-lain dengan mengapresiasi dan mempelajari kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya untuk menyempurnakan diri.

 Selanjutnya berdasarkan paparan tematik pemikiran ketuhanan dan keberagamaan yang sudah dijelaskan, pengarang novel menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap cara-cara beragama yang lebih menekankan pada formalitas dan eksklusivitas yang hanya memperhatikan norma-norma ajaran dan berdasarkan akal budi. Pengarag novel justru mendukung serta menebar-nebarkan pemahaman agama yang inklusif dan mengajarkan toleransi, sebagaimana dinyatakan dalam novel :

Kala agama mengajarkan inklusivisme dan toleransi tinggi, rahmatan lil alamin sebagai kasih sayang bagi segenap alam semesta, umat beragama malah mempropagandakan eksklusivisme dan klaim kebenaran sepihak – sambil menegasikan golongan lain. Akibatnya, sungguh ironis, ceramah-ceramah agama saat mendengungkan pentingnya toleransi tetap membawa prinsip kebenaran sepihak: bahwa “Kebaikan hanya diakui atau legitimated jika dilakukan oleh kita, atau kelompok kita” (Tejo dan Kamba, 2020, p. 286-287).

Lebih lanjut beberapa pernyataan dalam novel yang mengkritik formalisme dan eksklusivisme beragama, seperti terjadi akhir-akhir ini saat umat beragama lebih gandrung menampakkan religiusitasannya dengan menggunakan simbol-simbol agama, pengarang menyindir mereka : “Mendekatkan diri kepadaNya hanya dengan melaksanakan ritual-ritual formal justru rentan melahirkan kesombongan, ketidaktulusan dan ketidakikhlasan” (Tejo dan Kamba, 2016, p.141,171). Pengarang juga secara tegas menolak sikap eksklusif dalam beragama setidak-tidaknya dengan 2 (dua) argumentasi yang sulit dipatahkan. Yang pertama bahwa eksklusif itu hak Tuhan sebagai pemilik otoritas, bukan manusia (Tejo dan Kamba, 2016, p. 106) dan yang kedua bahwa sikap eksklusif itu bertentangan dengan misi agama mengajarkan kasih sayang untuk semua makhluk dan alam semesta (Tejo dan Kamba, 2020, p.286).

Pengarang tidak hanya mengkritik tetapi menebarkan pesan dan nilai etika mendasar yang seharusnya dikembangkan dalam bertuhan dan beragama. Beberapa pernyataan kunci, antara lain, berdasarkan relasi Tuhan–manusia yang bersifat imanen maka bertuhan adalah merefleksikan sifat cinta dan kebaikan-kebaikan Tuhan untuk harmonisasi dan kedamaian dunia; relevan dengan tujuan agama dan misi profetik kenabian yakni reformasi sosial dan untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan universal, maka beragama tidaklah soal ibadah kepada Tuhan saja, tetapi beribadah sosial ; penjelasan tentang peran manusia dalam penciptaan bahwa pemilik otoritas kehidupan ini adalah Tuhan, bukan manusia. Oleh karena itu manusia tidak boleh memposisikan atau mengatasnamakan Tuhan untuk menghakimi pihak lain yang berbeda. Sikap-sikap seperti inilah yang mendorong lahirnya sikap keterbukaan dan menerima pihak lain yang berbeda, baik berbeda agama, madzhab beragama, tradisi beragama, dan lain-lain. Sampai di sini dapat dinyatakan bahwa studi tentang novel tidak sekedar perbincangan sastrawi saja, tetapi yang paling penting justru menelusuri pesan fundamental di dalamnya.

3. Kesimpulan

Berdasarkan keseluruhan pembahasan artikel ini bertujuan menjawab 3 (tiga) masalah utama, yaitu menelisik pesan filosofis bertuhan dan beragama dalam novel Tuhan Maha Asyik tulisan Sujiwo Tejo dan MN. Kamba; mendapatkan prastruktur pengarang yang membentuk narasi filsafatnya; dan menjelaskan kontribusinya dalam meretas formalitas-eksklusivitas beragama. Setelah dilakukan kajian bisa disimpulkan: Pertama, terdapat beberapa pesan filosofis bertuhan dan beragama dalam novel, yakni berkaitan dengan kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia; tauhid sebagai way of life yang menuntun manusia mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara mencitrakan-Nya dalam sikap cinta dan berbuat kebaikan untuk kemanusiaan universal dan seluruh alam semesta; membaca kitab suci tidak berhenti pada kegiatan memahami tetapi yang paling penting untuk pembentukan jati diri muslim sejati, yaitu mereka yang memosisikan diri sebagai makhluk-Nya, tidak merebut otoritas-Nya sehingga tidak berbuat mengatasnamakan Tuhan atau bahkan memposisikan diri sebagai Tuhan yang menilai atau menghakimi sesama. Kedua, pemikiran seperti itu dibentuk oleh pengalaman pendidikan dan kehidupan serta tradisi beragama para pengarangnya yakni Sujiwo Tejo yang berlatar belakang seniman-budayawan dan Buya Kamba yang berlatar belakang akademisi dan praktisi sufistik; latar belakang ini membentuk sudut pandang dan konsep awal dalam memahami persoalan ketuhanan dan keberagamaan seperti itu. Ketiga, ide-ide pengarang tersebut berkontribusi dalam pencegahan eksklusivitas menuju inklusifitas beragama. Beragama secara inklusif adalah beragama yang menebarkan cinta kepada sesama dan tidak menghakimi orang yang memiliki keyakinan atau pendapat yang berbeda. Beragama tanpa cinta pada sesama dinilai sebagai beragama yang tidak bertuhan. Menghakimi orang yang berbeda keyakinan dan pendapat dinilai telah merebut otoritas Tuhan. Pemikiran ini menjadi salah satu modal sosial yang perlu diinternalisasikan di tengah masyarakat untuk mencegah intoleransi dan menguatkan tradisi moderasi beragama yang baru-baru ini disosialisasikan menuju harmonisasi umat beragama di Indonesia.

Penghargaan :

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang didanai oleh PNBP Fakultas Ushuluddin IAIN Kudus. Oleh karena itu terima kasih disampaikan kepada Dekan, kepala LPPM, dan Rektor IAIN Kudus. Apresiasi juga disampaikan untuk para reviewer yang telah memberikan masukan-masukan berharga.

Referensi

Buku/Jurnal :

Athaya, A., dan Soedarsono, D.K. (2019). Pesan Kegagalan dalam Novel Marchella F.P Melalui Hermeneutika Interpretasi Paul Ricoeur. Jurnal Ilmiah Komunikasi Makna, 7 (2), 23-29. http://dx.doi.org/10.30659/jikm.7.2.23-29

Aziz, N. (2013). Manusia Sebagai Sabyek Dan Obyek Dalam Filsafat Existentialism Martin Heidegger (Kajian Dari Segi Karakteristik Dan Pola Pikir Yang Dikembangkan). Substantia, 15 (2), 252-265. http://dx.doi.org/10.22373/substansia.v15i2.4899

Bertens, K. (1990). Filsafat Barat Kontemporer : Inggris-Jerman. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Braaten, C.E. (t.t). History and Hermeneutics. Philadelphia : The Westminster Press.

Connolly, M.A. (2019). Antipodean and Biblical Encounter: Postcolonial Vernacular Hermeneutics in Novel Form. Religions, 10 (358), 1-21. https://doi.org/10.3390/rel10060358

Dafid, M. (2020). Analisis Makna Syair Sayang-Sayang Suku Mandar Sulawesi Barat Melalui Pendekatan Hermeneutika. Jurnal Bahasa dan Sastra, 5 (1), 1-17.

Departemen Agama RI (1993). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : Indah Press.

Escudero, J.A. (2015). Heidegger and the Hermeneutics of the Body. International Journal of Gender and Women’s Studies, 3 (1), 16-25. 10.15640/ijgws.v3n1a3

Evans, C.S. (1982). Philosophy of Religions. England and United State of America : Leicester and Intervarsity Press.

Fajri, D. A., Noverino, R. (2019). Critique Of Ideology Bin George Orwell’s Novel 1984: A Hans-Georg Gadamer’s Hermeneutics Reading, Journal of Language and Literature, 7 (2), 113-126. http://dx.doi.org/10.35760/jll.2019.v7i2.2017

Firdaus, R. (2018). Makna Teologi dalam Novel Tuhan Maha Asyik Sudjiwo Tedjo dan Dr. MN.Kamba. JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 3 (2), 104-124. https://doi.org/10.15575/jaqfi.v3i2.9570

Gadamer , H. G. (1975). Truth and Method. New York : The Seabury Press.

Gracia, J. JE. (1995). A Theory of Textuality : The Logic and Epistemology. Albany : State University of New York.

Hardiman, F.B. (1991). Hermeneutik, Apa itu ?. Basis, XL (1), 2-14.

Harvey, V.A. (1986). Hermeneutics. In M. Elliade (eds.), Encyclopedia of Religion. London : MacMillan.

Hidayat, K. (1996). Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta : Paramadina.

Ichsan, A.S., Wahid,M.N.A.(2020). Makna Pendidikan Tauhid dalam Buku “Tuhan Maha Asyik” Karya Sujiwo Tejo dan Dr. MN. Kamba. Waniambey: Journal of Islamic Education, 1 (2), 27 – 36.

Muaz, A.(2020). Hermeneutika dan Mewaktu Bersama Heidegger. Jurnal Studi Hadis Nusantara, 2 (2), 142-152. 10.24235/jshn.v2i2.7647.

Munandar, S. A., dan Sofa, F. N. (2020). Maqamat Tokoh Midah Dalam Novel Mekkah: Memoar Luka Seorang TKW Karya Aguk Irawan. Al_Azhar Indonesia Seri Humaniora, 5 (3), 146 -158. http://dx.doi.org/10.36722/sh.v5i3.388.

Munawir, A.W. (1984). Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta : Pustaka Progressif.

Mustofa, H. (2019). Tarekat Virtual: Gagasan Alternatif Bertarekat Muhammad Nursamad Kamba. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 4 (2),163-186. https://doi.org/10.14421/jkii.v4i2.10068.

Nasution, H. (1986). Teologi Islam. Jakarta : UI Press.

Oktaviani, A., Suseno, Nuryatin, A. (2020). Analysis Transformasi Makna Simbolik Mihrab Pada Novel Ke Film Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy: Kajian Ekranisasi, Jurnal Sastra Indonesia , 9(1), 78-84.

Palmer, R.E. (1969). Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press.

Panikar, R. (1999). Four Attitudes. In G. E. Kessler (eds.), Philosophy of Religion. California: Wadsworth.

Poespoprodjo, W. (1999). Interpretasi Beberapa Catatan Pandekatan Filsafatinya. Bandung : Remaja Karya.

Rahman, B.M. (2001). Islam Pluralis. Jakarta : Paramadina.

Smythe, E. (2020). Reading Heidegger. Nursing Philosophy, 21 (2), 1-9. https://doi.org/10.1111/nup.12271

Smythe,E. (2020). Heideggerian phenomenological hermeneutics: Working with the data. Nursing Philosophy, 21 (4), 1-9. https://doi.org/10.1111/nup.12308

Sumariyanto, E. A. (2020). Nilai Moral Dalam Novel Al-Ajniḥah Al-Mutakassiroh Karya Kahlil Gibran Dan Memang Jodoh Karya Marah Rusli. Tsaqofiya, 2 (2), 84-107. https://doi.org/10.21154/tsaqofiya.v2i2.25.

Sumaryono, E. (1999). Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Syafi’I, M. (2018). Memaknai Ulang Wacana Waria dalam Konteks Indonesia (Analisis Hermeneutika Terhadap Novel Perempuan Tanpa V). Refleksi, 18 (2), 261-276. https://doi.org/10.14421/ref.2018.1802-07

Tejo, S., dan Kamba, M.N. (2016). Tuhan Maha Asyik 1, Tangerang : Imania.

Tejo, S., dan Kamba, M.N. (2020). Tuhan Maha Asyik 2, Tangerang : Imania.

Internet :

-------.Apa dan Siapa Sujiwo Tejo. Retrieved June 19, 2021, from ahmad.web.id website: https://ahmad.web.id/sites/apa_dan_siapa_tempo/profil/S/20030701-26-S_1.html

-------.Bingung jika ditanya soal agama Sujiwo Tejo ngaku Islam kok ge er banget. Retrieved June 19, 2021, from jogja.suara.com website: https:// jogja.suara.com/read/2021/01/22/140508

-------.Muhammad Nur Samad Kamba. Retrieved June 19, 2021, from id.wikipedia.org website: https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nur_Samad_Kamba

-------.Profil Nursamad Kamba yang Meninggal Hari Ini. Retrieved June 19, 2021, from news.detik.com website: dalam https://news.detik.com/berita/d-5061642/profil-nursamad-kamba-yang-meninggal-dunia-hari-ini

-------.Sujiwo Tejo. Retrieved June 19, 2021, from id.wikipedia.org website: https://id.wikipedia.org/wiki/Sujiwo_Tejo

  © 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).


Comments

Popular posts from this blog

Habib Lutfi bin Yahya: Pencerahan Spiritual di Zaman Modern

Ilmu Kalam Klasik Pengertian, Jenis & Faktor

Tradisi Menabur Bunga di Atas Kuburan: Keindahan dan Makna dalam Budaya Jawa