Riset, Kesenjangan Ekonomi Dalam Prespektif Islam Di Negara Indonesia
Kesenjangan ekonomi antar daerah sebenarnya bukan masalah baru bagi perekonomian Indonesia. Selain kondisi geografis dan potensi ekonomi masing-masing daerah yang sangat mempengaruhi persoalan ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor sejarah. Sebagai contoh, Pulau Jawa berada di lokasi yang jauh lebih strategis dibandingkan pulau-pulau Indonesia lainnya dan juga memiliki tanah yang subur. Tanahnya yang subur menjadikan pulau ini sebagai penghasil beras terpenting di nusantara. Pada saat yang sama, kota-kota pesisir pulau itu seperti Surabaya, Gresik dan Jepara merupakan pelabuhan penting masuknya perdagangan khusus Indonesia Timur dan perdagangan lada Indonesia Barat karena letaknya di tengah pulau-pulau Indonesia lainnya.[1]
Karena itu, pulau Jawa menarik mitra bisnis Belanda (VOC) ketika mereka datang ke Indonesia lebih dari pulau-pulau lain di Indonesia. Dan sebagaimana dapat dibuktikan kemudian, kehadiran VOC – yang kemudian diatur oleh pemerintah Hindia Belanda – antara lain juga sangat mempengaruhi derajat perkembangan ekonomi pulau Jawa pada masa selanjutnya. . Pembukaan perkebunan besar dari awal abad ke-17 dan pembangunan pabrik selanjutnya menempatkan perekonomian Jawa di atas pulau-pulau lain di Indonesia. Kemudian jalan raya dari Anyer ke Panarukan yang dibangun oleh Daendels pada tahun 1808 membuka perekonomian pulau Jawa.
Pada saat yang sama, penggunaan kota Batavia oleh VOC sebagai pelabuhan utama dan kemudian sebagai pusat administrasi pemerintah Hindia Belanda menyebabkan perkembangan kota Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.[2] Contoh lain pengaruh kehadiran Belanda terhadap perkembangan ekonomi daerah Indonesia juga dapat diamati dalam kasus pulau Sumatera. Dibukanya perkebunan-perkebunan besar oleh mitra dagang Belanda di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara) perlahan-lahan menyebabkan berkembangnya daerah itu menjadi ibu kota provinsi Sumatera.[3]
Bersamaan dengan itu, muncullah kota Medan yang semula tidak lebih besar dari Banda Aceh atau Palembang, lalu kota terbesar ketiga di Indonesia Jakarta dan Surabaya. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum tahun 1965, tidak banyak perubahan keadaan umum perekonomian Indonesia yang diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut. Ketegangan politik yang berlanjut, termasuk separatisme regional,[4] dan perhatian pemerintah lebih terfokus pada isu-isu politik.[5]
Pada saat itu memang tidak terlalu berpengaruh besar terhadap perkembangan perekonomian Indonesia pada umumnya dan perekonomian daerah pada khususnya, sehingga terjadi dengan kondisi, kalau boleh dikatakan, yang masih hampir seluruhnya diwarisi dari Belanda Timur. Pemerintah Hindia Belanda yang mulai dibangun pemerintah Orde Baru pada tahun 1969.[6] Menurut World Inequality Report 2022, selama dua dekade terakhir, ketimpangan ekonomi di Indonesia tidak banyak berubah
Laporan tersebut mencatat bahwa antara tahun 2001 dan 2021, hingga 50% penduduk Indonesia memiliki kurang dari 5% dari total kekayaan rumah tangga negara. Sementara itu, 10% penduduk sisanya memiliki sekitar 60% kekayaan rumah tangga nasional selama periode yang sama, seperti yang ditunjukkan oleh bagan tersebut. Dalam laporan ini, total kekayaan rumah tangga didefinisikan sebagai total aset finansial (termasuk saham dan surat berharga lainnya) dan aset non finansial (seperti perumahan) yang dimiliki oleh rumah tangga Indonesia.[7]
Laporan tersebut juga mencatat bahwa pada tahun 2021, rasio kesenjangan pendapatan di Indonesia akan berada di antara 1 hingga 19. Artinya, penduduk kelas ekonomi atas memiliki pendapatan rata-rata 19 kali lebih tinggi daripada penduduk dengan penduduk terbawah. kelas ekonomi. Rasio tersebut lebih tinggi di Amerika Serikat yang memiliki kesenjangan pendapatan sekitar 1:17, atau Rusia, China, Korea Selatan, dan Nigeria yang memiliki rasio 1:14.[8]
ISLAM mengajarkan umatnya untuk berlaku adil dengan berbagai cara. Demikian pula dalam hal distribusi, distribusi pendapatan merupakan persoalan yang sangat kompleks yang masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ekonom. Ketimpangan harus diperangi dengan cara yang diperkenalkan oleh Islam, seperti penghapusan monopoli, kecuali pemerintah, di daerah-daerah tertentu. Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun konsumsi.[9]
Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh anggota masyarakat. Dan terakhir menunaikan tugas at-takaaful al-ijtima'i atau jaminan keamanan sosial ekonomi dimana mereka yang mampu menghidupi dan membantu mereka yang tidak mampu.
Sistem ekonomi Islam melindungi kepentingan semua warga negara, kaya dan miskin, dan memberi orang kaya tanggung jawab moral untuk merawat orang miskin. Islam mengakui sistem hak kepemilikan pribadi yang terbatas, dan setiap upaya untuk menghasilkan akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang dikutuk.
Ilustrasi: Rapat Dalam Kesenjangan Ekonomi Di Indonesia |
Al-Qur'an menyatakan bahwa orang kaya memberikan sebagian kekayaannya untuk kesejahteraan masyarakat, melalui zakat, sedekah, tunjangan, wasiat, dan lain-lain, karena kekayaan harus didistribusikan dengan benar. Sistem distribusi yang tidak adil menyebabkan penyakit sosial seperti kehidupan manusia yang tidak seimbang, kurangnya pemanfaatan potensi ekonomi, dan kejahatan. Ekonomi Islam juga memiliki kebijakan mendistribusikan pendapatan, melalui faktor-faktor produksi, di antara individu dan kelompoknya. Tidak memperhitungkan pengembalian penyaluran jaminan sosial melalui zakat, infaq, sadaqah atau wakaf. Ekonom menjelaskan bahwa masalah ekonomi terpenting sejauh ini adalah konsentrasi kekayaan pada segelintir orang atau di beberapa negara.[10]
Ini karena distribusi sumber daya ekonomi, kekayaan, dan pendapatan yang tidak adil. Faktanya, sistem ekonomi kapitalis gagal mencapai pemerataan distributif, yang berdampak negatif pada sosial. Sistem ekonomi kapitalis memperlebar jarak antar negara, memperlebar jarak antar anggota masyarakat, bahkan antar anggota masyarakat dalam kelompoknya sendiri, mempengaruhi perkembangan ekonomi negara, distribusi kemiskinan dan ketidakadilan. Menyadari bahwa sistem kapitalis dan sistem sosialis telah gagal mencapai tingkat keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat, baik individu, kelompok maupun nasional, karena ketimpangan dalam sistem distribusi distribusinya.[11]
Dalam tulisan ini, masalah kesenjangan ekonomi antardaerah akan dilihat dari Kesenjangan ekonomi dalam prespektif Islam di negara Indonesia. Sistem ekonomi kapitalis memperlebar jarak antar negara, memperlebar jarak antar anggota masyarakat, bahkan antar anggota masyarakat dalam kelompoknya sendiri, mempengaruhi perkembangan ekonomi negara, distribusi kemiskinan dan ketidakadilan. Menyadari bahwa sistem kapitalis dan sistem sosialis telah gagal mencapai tingkat keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat, baik individu, kelompok maupun nasional, karena ketimpangan dalam sistem distribusi distribusinya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut muncul pertanyaan penelitian: 1). Faktor apa saja yang terjadi kesenjangan ekonomi di Indonesia? 2). Implikasi apakah yang terjadi akibat adanya kesenjangan ekonomi terhadap Islam?
Tujuan penelitian ini untuk mempelajarai dan menjelaskan sejauhmana telah terjadi kesenjangan dalam perkembangan Ekonomi di Indonesia serta impilikasi apakah yang terjadi akibat dari kesenjangan ini, khususnya dalam konteks sosialekonomi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperjelas masalahmasalah perekonomian pada umumnya dan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan ekonomi
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan ekonomi adalah ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat dari segi ekonomi, yang aspek ekonominya dapat dilihat dari ketimpangan pendapatan masyarakat. Di dalam suatu wilayah, bisa terdapat kelompok masyarakat yang berpenghasilan sangat tinggi atau bahkan di atas rata-rata, tetapi ada juga kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah dan di bawah rata-rata yang tinggal di wilayah yang sama.
Kesenjangan ekonomi dapat muncul karena perbedaan kemampuan keuangan yang besar antara kelompok berpenghasilan tinggi dan rendah. Tentu saja, ini bukan hal yang baik bagi suatu negara, karena kesenjangan keuangan yang besar antara kelompok berpenghasilan tinggi dan rendah menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan ekonomi yang kuat di negara tersebut. Kesenjangan ekonomi dapat menyebabkan kemiskinan di masyarakat.[12]
Menurut Joseph Stiglits, peraih Nobel di bidang ekonomi, ada dua penyebab ketimpangan di dunia. Pertama, karena pengaruh kekuatan pasar, dimana hukum penawaran dan permintaan berperan dalam meningkatkan ketimpangan ekonomi (Sstrictlitz, n.d.). Kedua, kegagalan sistem politik menyebabkan ketidakstabilan sistem ekonomi, sehingga berkontribusi pada peningkatan ketimpangan (Stighlitz, n.d.). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketimpangan ekonomi disebabkan oleh kekuatan pasar dan sistem politik yang gagal.[13]
Mengenai penyebab ketimpangan ekonomi, menurut Syamsuri dalam bukunya “Ekonomi Pembangunan Islam Suatu Prinsip, Konsep, dan Prinsip Filosofis”, munculnya ketimpangan ekonomi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor penyebab. Faktor pembeda tersebut bersifat alamiah, kultural dan struktural (Syamsuri, 2020). Pertama, faktor alam terjadi karena faktor alam, baik kelemahan sumber daya manusia dalam memanfaatkan atau memanfaatkan potensi intelektual lokal, maupun perbedaan sumber daya alam (SDA). Tidak mendukung pengembangan usaha. Kedua, faktor budaya lebih merupakan aspek budaya, dimana tradisi suatu daerah mengurangi pendapatan per kapita.[14]
Hal ini ditunjukkan dengan adanya sebagian masyarakat di beberapa daerah memiliki budaya etik yang tinggi sedangkan di daerah lain memiliki budaya etik yang rendah, dimana yang paling lemah hanya bisa menunggu bantuan pihak lain yang terbaik dengan cara mengemis. Ketiga, faktor struktural lebih terkait dengan kebijakan pemerintah tentang perpajakan, perpajakan, korupsi, kolusi, demografi, serta pengaruh globalisasi (Baswir, 1997). Oleh karena itu, konsep pembangunan Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir telah menciptakan lebih banyak ketimpangan yang disertai dengan tingkat kerusakan lingkungan yang sistematis.
Dimana model pembangunan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, cenderung mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam (TNTN) kurang terkendali dan hanya mencari penerimaan devisa. Kapitalisasi pemanfaatan sumber daya hayati (SDH) diyakini sebagai penyebab utama rusaknya sumber daya alam, rusaknya ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati di Indonesia. Penggunaan teknologi pertambangan jelas membutuhkan alokasi modal yang cukup besar, yang pada akhirnya mendorong para pengusaha untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya agar modal tersebut menguntungkan (Supriatna, 2008).
Selain itu, sentralisasi pembangunan telah melahirkan banyak kebijakan top-down yang bermuara pada aspirasi dan peran rakyat di tingkat paling bawah, termasuk dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hasil pembangunan yang diperoleh dari eksploitasi sumber daya di daerah “mengalir” ke pusat dengan sistem redistribusi yang tidak adil dan tidak merata. Terakhir, adanya kesenjangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat, serta kesenjangan antar daerah antara pusat dan daerah.[15]
Komunitas lokal, yang benar-benar menangani sumber daya secara langsung dan yang pertama kali menderita akibat buruk dari gangguan ekosistem, selalu terpinggirkan ketika mereka tidak memiliki akses ke sumber daya. Berbagai bentuk pemanfaatan sumber daya alam oleh penduduk lokal yang lebih bijak dan ramah lingkungan semakin terpinggirkan dan dilupakan (Supriatna, 2008).
Dengan demikian, ketimpangan kepemilikan kekayaan di Indonesia menurut Laporan Posisi Forum Rakyat Eurasia ke-9 Sub-Regional Conference, negara memiliki 85% aset migas dan 75% asetnya batubara adalah pihak asing (Deliana, 2018). Hal ini memudahkan pihak swasta asing menjadi kaya karena memiliki modal besar dimana mereka bebas mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Hal ini karena sistem kapitalis menganggap bahwa hak milik individu bersifat mutlak tanpa ada campur tangan negara (Rahman, 1995), sehingga ia bebas menggunakannya semaunya.
Manusia dapat mengeksploitasi semua sumber daya (SDM) ekonomi
Manusia dapat mengeksploitasi semua sumber daya ekonomi yang dianggap dapat memberikan kesejahteraan yang optimal dan untuk menguasai sumber daya alam harus menjadi pemilik pribadi yang mutlak (Kamil, 2016), dengan sumber daya berapa pun, jumlah dan caranya. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan orang berambisi untuk menyimpan kekayaan sebanyak-banyaknya (Anto, 2003) sehingga menimbulkan perilaku materialistis yang tujuannya hanya materi. Meskipun kekayaan sejati seperti pedang bermata dua, ia dapat digunakan untuk membangun banyak hal positif. Namun di sisi lain, kekayaan juga dapat merusak kekeluargaan, menyebabkan perkelahian, pembunuhan, fitnah dan kejahatan lainnya (Hafidhudin, 2007).
Efek Manusia dapat mengeksploitasi semua sumber daya (SDM) ekonomi
Ini kemudian menyebabkan efek yang tidak diinginkan lainnya. Menurut Sen dan Foster (1997), hubungan antara ketimpangan dan pemberontakan sangat erat dan berjalan dua arah. Di mana ketidaksetaraan yang dirasakan adalah elemen pemberontakan yang meresap dalam masyarakat (Sen & Foster, 1997). Selain itu, banyak dampak berbahaya lainnya dari ketimpangan ekonomi adalah:
Pertama, menimbulkan masalah pidana seperti pencurian (Firdaus, 2013). Kedua, kawasan kumuh. Ketiga, konflik agama (hilangnya persaudaraan) (Irw, 2010). Keempat, pendapatan nasional menurun. Kelima, pembangunan nasional terhambat. Keenam, kesejahteraan masyarakat menurun (LecturerSociology.com, 2021). Ketujuh, akar permasalahan ekstremisme (Amrullah, 2017).
Oleh karena itu, ketimpangan ekonomi merupakan masalah yang sangat sulit dipecahkan dalam rangkaian kehidupan manusia. Oleh karena itu, tidak heran jika masyarakat saat ini secara keseluruhan menganggap kekayaan atau kekuatan finansial sebagai satu-satunya faktor yang dapat dikatakan sejahtera.
Walaupun orientasi masyarakat terhadap kekayaan sangat besar, namun teori kapitalisme tidak lagi menyatukan dan mengotori pikiran masyarakat sebagai sistem ekonomi yang sudah terbukti dengan baik. Padahal pada kenyataannya kapitalisme hanya memperparah ketimpangan di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin tidak bisa lepas dari jerat kemiskinan(Maududi, 2013). Oleh karena itu, diperlukan pendekatan Islami sebagai solusi dari berbagai permasalahan di atas.[16]
Pengertian charity atau filantropi
Secara etimologis, istilah charity atau filantropi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan bagian dari kata philos dan anthropos. Philos artinya cinta, sedangkan anthropos artinya manusia. Menurut Kamus Merriam Webster, filantropi adalah tindakan memberikan uang, uang, dan waktu untuk membantu orang lain memiliki kehidupan yang lebih baik ('Merriam-Webster', n.d.). Makna ini kurang lebih sama dengan kamus Oxford mendefinisikannya sebagai tindakan membantu orang miskin dan membutuhkan, terutama dengan memberikan uang (“Oxford”, 2022).
Dengan demikian, filantropi dapat dipahami sebagai konsep praktik memberi dan melayani secara sukarela dan penuh kasih untuk membantu mereka yang membutuhkan (Sakni, 2013). Filantropi juga dapat dipahami sebagai sikap dermawan yang berpihak pada kepentingan orang lain, baik secara individu maupun kolektif (Latief, 2010).
Kegiatan ini populer karena orang-orang di banyak belahan dunia mendedikasikan waktu atau harta mereka untuk membantu orang lain (Maftuhin, 2017). Untuk itu zakat dalam Islam dijelaskan dengan beberapa alat seperti zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF). Fungsi zakat disini adalah solidaritas sosial; infak dan sedekah seperti jaminan sosial; serta wakaf sebagai alternatif utilitas publik (Fauzia, 2019).
Dengan demikian, filantropi berpengaruh sangat positif dalam mengurangi ketimpangan ekonomi karena membantu sesama yang membutuhkan. Dengan demikian, secara umum prinsip zakat dan ajaran keadilan sosial dalam Islam dapat dikatakan identik. Jika ada yang berbeda itu berkaitan dengan motivasi dan cara melakukannya, bagi Islam motivasinya adalah agama dan sistem pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan yang dibuktikan oleh Islam (Sakni,2013).
Namun, tujuan yang dicapai keduanya sama-sama luhur. Keadilan dalam Islam juga diungkapkan dengan beberapa kata dalam Al-Qur'an, misalnya kata 'adl, qisth dan mizan. Kata 'adl diulang sebanyak 28 kali dalam Al-Qur'an yang menunjukkan pentingnya pokok bahasan ini, selain itu ketiga istilah tersebut dapat dipahami dengan makna yang berbeda-beda seperti: keseimbangan (Qs. Al-Nahl:3 & Al-Infitar: 6-7), penerapan kesamaan hak (Qs. Al-Nisa:58), jangan berlaku zalim dan berlaku proporsional (Qs. Al-Nisa': 135 & al-Mumtahanah: 8), serta keadilan Allah (Qs. Ali-Imran:18 & Fusilat:46).
Juga, karena orang cenderung mencintai kekayaan. Dengan demikian, hal itu akan mendorong pengakuan mutlak terhadap harta dan berujung pada penimbunan harta yang berlebihan (Q.S. Al-Humazah: 1-3). Oleh karena itu, kecenderungan manusia dalam Islam harus dikendalikan dan diarahkan untuk mendorong tumbuhnya perdagangan dan partisipasi sosial melalui zakat, infak, sedekah, dan infak untuk kepentingan bersama.[17] Tentunya diharapkan tumbuh kesadaran masyarakat untuk menutup jurang antara kaya dan miskin dalam masyarakat.
Penelitan ini merupakan kajian berjenis kepustakaan atau library reseach dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analisis. Untuk itu, data-data akan dikumpulkan melalui penelurusan kepustakaan. Adapun untuk menganalisis data, kajian ini menggunakan analisis konten-kualitatif atau qualitative-content analysis, yaitu dengan melakukan interpretasi kritis terhadap data yang didapatkan baik primer ataupun sekunder (Krippendoff, 2004). Data-data tersebut kemudian akan dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh hasil yang diinginkan berupa, Kesenjangan Ekonomi Dalam Prespektif Islam Di Negara Indonesia.
Kondisi demografi yang berkaitan dengan jumlah penduduk. Status kependudukan dari satu daerah dengan daerah lain tentu saja berbeda baik dari segi jumlah, komposisi maupun persebarannya. Situasi kependudukan yang semakin heterogen antara penduduk perkotaan dan pedesaan tentunya akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Komposisi penduduk juga menentukan jarak ekonomi.
Komposisi penduduk dapat dilihat dari jumlah penduduk usia kerja
Daerah dengan komposisi penduduk usia produktif tentu akan berbeda dengan daerah dengan jumlah penduduk usia produktif yang lebih sedikit. Penyebaran penduduk juga menjadi masalah, dimana persebarannya tidak merata. Misalnya, karena mereka percaya bahwa pulau Jawa menawarkan kesempatan kerja yang baik, banyak orang mencari pekerjaan di pulau Jawa, menyebabkan distribusi penduduk yang cenderung terkonsentrasi hanya di pulau Jawa.[18]
Pendidikan adalah lift yang memungkinkan orang untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sekalipun memiliki kurikulum yang sama, setiap daerah tidak memiliki kualitas pendidikan yang sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan fasilitas dan kualitas pendidikan.
Perbedaan kondisi pendidikan akan diterjemahkan menjadi perbedaan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas dapat menjadi salah satu modal untuk menciptakan standar ekonomi yang tinggi bagi masyarakat.[19]
Tingkat pendapatan atau upah di setiap daerah berbeda-beda. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan ekonomi karena masyarakat di perkotaan atau kawasan industri akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi daripada masyarakat di pedesaan.
Tingkat pendapatan ini akan dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu. Dengan pendapatan yang tinggi maka kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan lebih tinggi, sedangkan gaji yang rendah akan mempersulit masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.[20]
Pemerataan pembangunan merupakan salah satu langkah yang diambil oleh negara untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Salah satu contoh pembangunan yang dipimpin oleh pemerintah adalah pembangunan infrastruktur. Jika pembangunan infrastruktur dilakukan dengan baik, akan lebih mudah untuk mencapai pembangunan ekonomi yang merata. Jika pembangunan infrastruktur dilakukan secara serempak, masyarakat di setiap daerah dapat melakukan kegiatan ekonominya.
Rendahnya kemampuan pelaku ekonomi dalam melakukan kegiatan ekonomi akan menyebabkan penurunan pendapatan yang akan diterimanya. Rendahnya pendapatan menjadi penyebab yang menyebabkan ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga menimbulkan masalah ketimpangan ekonomi dalam masyarakat.[21]
Kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh tersedianya lapangan kerja
Penyempitan lapangan pekerjaan akan menimbulkan pengangguran di masyarakat. Pengangguran tidak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan mereka. Bayangkan jika tenaga kerja tidak terserap sebagai kepala rumah tangga yang berada pada usia produktif, hal ini tentu berdampak tidak hanya pada individu tetapi juga seluruh keluarga.
Tingginya angka pengangguran juga disebabkan oleh tingginya jumlah angkatan kerja di suatu daerah, sementara lapangan pekerjaan di daerah tersebut sedikit. Rendahnya kualitas sumber daya manusia juga menjadi penyebab sulitnya masyarakat mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.
Bisa saja terjadi, lapangan kerja terbuka lebar, namun keterampilan yang diperlukan tidak tersedia di masyarakat. Jika suatu daerah tidak bisa menciptakan lapangan kerja, kesenjangan ekonomi bisa semakin besar.[22]
Ketimpangan pendapatan dapat timbul karena distribusi pendapatan yang tidak merata
Distribusi pendapatan menjelaskan dan mengevaluasi distribusi pendapatan dalam suatu negara. Menurut Bank Dunia, ketimpangan pendapatan merupakan aspek penting untuk mengukur kesejahteraan suatu negara karena pengaruhnya terhadap kemampuannya untuk mengurangi kemiskinan.
Dibandingkan dengan indikator lainnya, ketimpangan pendapatan merupakan aspek kebahagiaan yang penting karena juga melihat distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat yang berbeda dan bukan hanya satu kelompok masyarakat.
Distribusi yang tidak merata dalam suatu negara menciptakan distribusi pendapatan yang tidak merata. Untuk mengetahui ketimpangan distribusi pendapatan dapat menggunakan indikator koefisien gini dan kurva Lorenz.[23]
Koefisien Gini atau indeks Gini adalah ukuran distribusi pendapatan. Teori koefisien Gini dikembangkan oleh seorang ahli statistik Italia bernama Corrado Gini pada tahun 1912. Tidak hanya mengukur distribusi pendapatan, koefisien Gini juga digunakan untuk mengukur ketimpangan ekonomi dan mengukur distribusi kekayaan di antara penduduk.
Nilai koefisien gini bervariasi dari 0 (0%) sampai dengan 1 (100%). Jika koefisien gini mendekati nol (0), maka pendapatan merata, tetapi mendekati satu pendapatan tidak merata.
Koefisien Gini secara efektif digunakan sebagai ukuran distribusi pendapatan, tetapi tidak menjadikannya sebagai ukuran absolut dari pendapatan atau kekayaan suatu negara. Negara berpenghasilan tinggi dan negara berpenghasilan rendah dapat memiliki koefisien Gini yang sama. Hal ini dapat terjadi jika kedua negara memiliki distribusi pendapatan yang sama.[24]
Kurva Lorenz adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara persentase pendapatan dan persentase penerima pendapatan selama periode waktu tertentu dan biasanya diukur oleh negara selama setahun. Kurva Lorenz akan muncul dengan kemiringan 1 yang dilambangkan dengan diagonal.
Semakin jauh kurva dari diagonal, distribusi pendapatan semakin timpang, sebaliknya semakin dekat kurva dengan diagonal, distribusi pendapatan semakin seragam.[25]
Ketimpangan ekonomi berdampak pada kesejahteraan setiap orang
Oleh karena itu, perlu adanya solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Solusi untuk kesenjangan ekonomi dapat ditemukan dengan mengidentifikasi akar penyebabnya. Jika akar masalahnya berbeda, solusinya juga akan berbeda. Misalnya, jika penyebab ketimpangan ekonomi terkait dengan ketimpangan pendidikan, solusinya adalah mengembangkan kebijakan yang menangani pemerataan pendidikan, serta aspek lainnya.
Mengatasi ketimpangan ekonomi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dan kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah. Solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi adalah sebagai berikut.
Karena penyebab ketimpangan ekonomi adalah pendidikan yang tidak merata, maka solusi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi adalah dengan meningkatkan kualitas pemerataan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang turut memperkuat pondasi perekonomian. Infrastruktur Pembangunan, infrastruktur dapat mengurangi ketimpangan ekonomi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya infrastruktur yang tidak merata menyebabkan lambatnya pengangkutan barang ke berbagai daerah sehingga meningkatkan biaya produksi. Salah satu pembangunan infrastruktur yang dapat mengurangi ketimpangan adalah dengan membangun pelabuhan agar barang dapat dikirim dan diterima dengan cepat.[26]
Pemberian hibah yang tepat sasaran kepada masyarakat dapat menjadi solusi atas permasalahan ketimpangan ekonomi. Subsidi pemerintah dapat berupa bantuan langsung atau bantuan berupa instrumen permodalan bagi masyarakat, untuk meningkatkan kegiatan ekonominya. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah sehingga kesenjangan ekonomi dapat teratasi.[27]
Secara etimologi zakat berasal dari akar kata zaka yang berarti pertumbuhan, kebersihan, dan kebaikan (Qardawi, 1999). Dari sudut pandang fikih, zakat mengacu pada pengeluaran wajib atas barang-barang tertentu yang diselenggarakan oleh pihak tertentu (muzakki) dengan cara tertentu dan untuk golongan (mustahik) tertentu (Al-Baghdadi, 1999).
Distribusi kekayaan dan pendapatan melalui zakat
Distribusi kekayaan dan pendapatan melalui zakat akan menciptakan keharmonisan antara si kaya dan si miskin. Dengan kekayaan dan pendapatan yang disalurkan melalui zakat, maka akan tercipta agunan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang tidak mampu (Kementerian Ekonomi dan Keuangan Islam, Fundamental Nilai dan Prinsip Ekonomi Islam, 2018).
Lebih jauh lagi, dengan zakat, redistribusi sumber daya ekonomi dari kaya ke miskin tercapai. Memang, zakat mengarah pada redistribusi produk di pasar dari yang kaya ke yang miskin. Apalagi jika zakat diberikan sebagai input kepada mustahik, maka penyalurannya akan diarahkan melalui peningkatan sumber-sumber pendapatan fungsional mustahik, seperti kenaikan gaji atau keuntungan yang akan diterima mustahik (Bank Indonesia, n.d.).[28]
Namun seperti diketahui, pengeluaran zakat sendiri dihitung sebesar 2,5% dari harta yang dimiliki dari 100% total harta. Ini benar-benar tidak sepenuhnya menyelesaikan perbedaan yang terjadi. Residunya sekitar 97,5%. Betul, mereka yang memiliki kelebihan harta rela mengeluarkan 97,5% hartanya dan menyalurkannya dalam bentuk infak, sedekah, dan hibah. Maka kesenjangan ekonomi rakyat akan menyempit.[29]
Distribusi kekayaan dan pendapatan melalui Wakaf
Wakaf secara etimologi berarti menjaga, melarang atau menjaga (Mandzur, 1999). Sedangkan dalam hal hak asuh atas harta Allah mengizinkan seseorang untuk menikmatinya, yang disertai dengan kestabilan harta tersebut (Muflih, 1997). Oleh karena itu, kata wakaf digunakan dalam Islam dalam arti memiliki harta dan melestarikannya untuk manfaat amal tertentu yang terbatas, sambil melarang penggunaan apa pun selain tujuan khusus itu.[30]
Definisi ini sesuai dengan keabadian wakaf itu sendiri, yaitu berlaku untuk barang yang mudah rusak yang manfaatnya dapat diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri. Oleh karena itu, wakaf banyak kaitannya dengan tanah dan bangunan. Namun sebenarnya ada juga wakaf dalam bentuk lain, seperti: buku, saham, kas, dll. (Sahidin, 2021).
Wakaf adalah sarana utama untuk mendistribusikan harta atau kekayaan orang dan bersifat publik. Melalui wakaf, diharapkan sumber daya ekonomi tidak hanya terkonsentrasi pada orang kaya tetapi juga memungkinkan untuk didistribusikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya. Dalam Islam, wakaf merupakan ajaran agama dengan tujuan mulia, sedangkan dalam ilmu ekonomi merupakan sarana penting untuk mencapai kesejahteraan (Hazami, 2016).
Untuk itu, melalui alat wakaf ini diharapkan dapat memberdayakan masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah untuk memberikan kesempatan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat Indonesia (Bank Indonesia, 2016).
Adapun kegunaan wakaf, dalam literatur fikih dapat digunakan untuk kepentingan keagamaan seperti pembangunan masjid dan mushola, maupun untuk kepentingan umum, seperti lembaga lembaga pendidikan, pembuangan jenazah, pembangunan jembatan, perpustakaan. dll. (Kamil, 2016).
Distribusi kekayaan dan pendapatan melalui Infaq
Secara etimologis, infaq berasal dari kata anfaqa yang artinya memberikan sesuatu untuk tujuan tertentu. Sedangkan secara terminologi, infaq berarti menyisihkan sebagian harta atau penghasilan untuk kepentingan yang diatur oleh ajaran Islam. Artinya infaq adalah salah satu kegiatan manusia yang bertujuan untuk memberikan makanan yang diberikan Allah kepada sesamanya dengan ikhlas (Hafidhudin, 2007).
Sedangkan memberi berasal dari kata etimologi sadaqa, yang berarti “benar”. Dengan demikian, orang yang suka bersedekah adalah orang yang beriman dengan imannya. Padahal secara terminologi pengertian sedekah sama dengan infak, termasuk hukum dan ketentuan yang terkandung di dalamnya. Namun infak berkaitan dengan materi, sedangkan memberi memiliki makna yang lebih luas dari infaq, baik materi maupun immateri (Rosmini, 2016).
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, penyebab ketimpangan ekonomi disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu:
- Faktor alam, budaya dan struktural. Hal ini disebabkan pengaruh sistem kapitalisme dan materialisme.
- Banyak dampak negatif jika terjadi kesenjangan ekonomi, misalnya pemberontakan, kriminalitas, radikalisme, kemiskinan, penurunan pendapatan nasional dan menghambat pembangunan bangsa.
- Islam menyikapi ketimpangan dengan berperilaku adil, khususnya dalam bidang ekonomi, dengan saling tolong-menolong dan dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya zakat, wakaf, infak dan sedekah yang semuanya merupakan kegiatan filantropi, bertujuan untuk memperkuat ukhuwah Islamiyyah dan menghilangkan ketimpangan.
Daftar Pustaka
[1] Revrisond
Baswir (1987), Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah Indonesia, Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Indonesia, Vol 2. Hal. 1
[2] Mengenai sejarah
perekonomian Indonesia ini
lihat Prajudi Atmo-sudirdjo, Sejarah
EkonomiIndonesia. (Jakarta: Pradnya Para-mita, Cetakan ke-IV, 1983).
[3] Mubyarto, Politik
Pertanian dan Pembangunan
Pedesaan. (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).
[4] Lihat: Iwan
Jaya Azis, "Pengembangan Pembangunan
Daerah di Indonesia", dalam
M. Arsyad Anwar (ed),
Permasalahan dan Prospek
Ekonomi Indonesia 198511986,
Jakarta, Sinar Harapan, 1985.
[5] Revrisond
Baswir (1987), Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah Indonesia, Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Indonesia, Vol 2. Hal. 2
[6] Sritua Arief
dan Adi Sasono,
"Indonesia:
Ketergantungan dan Keterbelakangan" (Jakarta:
Lembaga Studi Pembangunan, 1981).
[7]
“Sejak tahun 1999, tingkat kekayaan di Indonesia meningkat drastis. Namun,
pertumbuhan ini membuat kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin hampir
tidak berubah,” kata World Inequality 2022.
[8] Adi Ahdiat
(2022), Kesenjangan Ekonomi di RI Tidak Banyak Berubah sejak 20 Tahun Lalu [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/30/kesenjangan-ekonomi-di-ri-tidak-banyak-berubah-sejak-20-tahun-lalu
[9] Yudi (2021),
Atasi Kesenjangan Ekonomi dengan Islam, [Di Akses Pada 26 Jun. 23] https://www.islampos.com/atasi-kesenjangan-ekonomi-dengan-islam-224805/
[10] Yudi (2021), Atasi
Kesenjangan Ekonomi dengan Islam, [Di Akses Pada 26 Jun. 23] https://www.islampos.com/atasi-kesenjangan-ekonomi-dengan-islam-224805/
[11] Yudi (2021),
Atasi Kesenjangan Ekonomi dengan Islam, [Di Akses Pada 26 Jun. 23] https://www.islampos.com/atasi-kesenjangan-ekonomi-dengan-islam-224805/
[12] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[13] M. Syahrul
Syarifuddin (2021), Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi,
Jurnal Penelitian Medan Agama, Volume 12, Nomor 02, 2021, DOI:10.58836/jpma.v12i2.11506. h. 103, https://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/
[14] M. Syahrul
Syarifuddin (2021), Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi,
Jurnal Penelitian Medan Agama, Volume 12, Nomor 02, 2021, DOI:10.58836/jpma.v12i2.11506. h. 103, https://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/
[15] M. Syahrul
Syarifuddin (2021), Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi,
Jurnal Penelitian Medan Agama, Volume 12, Nomor 02, 2021, DOI:10.58836/jpma.v12i2.11506. h. 104, https://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/
[16] M. Syahrul
Syarifuddin (2021), Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi,
Jurnal Penelitian Medan Agama, Volume 12, Nomor 02, 2021, DOI:10.58836/jpma.v12i2.11506. h. 104, https://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/
[17] M. Syahrul
Syarifuddin (2021), Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi,
Jurnal Penelitian Medan Agama, Volume 12, Nomor 02, 2021, DOI:10.58836/jpma.v12i2.11506. h. 106, https://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/
[18] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[19] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[20] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[21] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[22] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[23] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[24] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[25] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[26] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[27] wislah.com
(2020), Kesenjangan Ekonomi, Pengertian, Penyebab, Ketimpangan dan Solusi [Di
Akses Pada 26 Jun. 23] https://wislah.com/kesenjangan-ekonomi-pengertian-penyebab-ketimpangan-dan-solusi/
[28] M. Syahrul
Syarifuddin (2021), Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi,
Jurnal Penelitian Medan Agama, Volume 12, Nomor 02, 2021, DOI:10.58836/jpma.v12i2.11506. h. 106, https://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/
[29] M. Syahrul
Syarifuddin (2021), Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi,
Jurnal Penelitian Medan Agama, Volume 12, Nomor 02, 2021, DOI:10.58836/jpma.v12i2.11506. h. 106, https://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/
[30] M. Syahrul
Syarifuddin (2021), Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi,
Jurnal Penelitian Medan Agama, Volume 12, Nomor 02, 2021, DOI:10.58836/jpma.v12i2.11506. h. 106-107, https://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/
Comments