Sejarah Pengembangan Filsafat Ilmu
Dalam sejarah perkembangan filsafat selalu dibicarakan dua hal, yaitu apa hubungan antara kesadaran dan wujud, akal dan materi. Pemikiran atau idealisme yang dikembangkan oleh Socrates Plato mengatakan bahwa ide adalah hal yang utama sedangkan materi hanyalah perwujudan dari sebuah ide. Berbeda dengan materi atau materialisme yang dikembangkan oleh Anaxagoras dan Democritus yang menjadikan materi sebagai yang utama (primer) sedangkan kesadaran sebagai yang sekunder.
Masalah semacam ini muncul dengan pemahaman baru, yaitu empirisme filsuf Inggris seperti F. Bacon, D. Hume dan rasionalisme Rene Descartes dan Spinoza. Justru persoalan-persoalan seperti itulah yang pada akhirnya mengobarkan filsafat eksistensialisme sebagai koreksi terhadap pandangan para filosof tersebut. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang mempelajari berbagai fenomena berdasarkan keberadaannya.
Martin Heidegger adalah salah satu filsuf eksistensialisme. Pemikirannya sebagai seorang eksistensialis berbeda dengan semua fenomena dalam sejarah manusia yang terjadi dalam hidupnya. Zaman modern, yang di satu sisi menjanjikan kemajuan yang signifikan bagi umat manusia, namun di sisi lain berpotensi menghancurkan umat manusia itu sendiri (dehumanisasi/depersonalisasi).
Present tense dapat dilihat sebagai pemberontakan terhadap pemikiran abad pertengahan. Renaisans (abad XVXVI) yang, sebagai alternatif, menghidupkan kembali budaya Yunani-Romawi kepada budaya Kristen. Ini bukan hanya pemberontakan di bidang nilai-nilai budaya, tetapi juga menandakan era baru dengan krisis Abad Pertengahan. Penemuan ilmiah penting juga memainkan peran penting di zaman modern, yang meninggalkan pemikiran abad pertengahan. Sören Kierkegaard (1813-1855) kemudian dianggap sebagai pendiri eksistensialisme dengan lompatan imannya. Pemikiran eksistensialis Heidegger lebih berfokus pada manusia.
Hal ini mengacu pada keberadaan manusia di dunia, yang berarti keberadaan mereka serta keberadaan di sekitar mereka ditentukan oleh mereka. Dalam bahasa Latin, kata "manusia" adalah "mens", yang berarti "berpikir".
Ada juga kata Yunani anthropos yang berarti wajah manusia. Kata kedua berasal dari bahasa Latin dan berarti "sesuatu yang ada di bumi". Ketika datang ke istilah gay, orang dapat dibagi menjadi dua arti. Yakni, bahwa manusia sebagai makhluk yang diciptakan sama dengan yang lainnya. Yang pertama adalah manusia sebagai makhluk ciptaan yang memiliki rasa dan akal.
Bagi Heidegger, dasar penjelasan tentang wujud dapat ditemukan dalam bukunya “K. The Contemporary Western Philosophy of Berten "Being and Time". Ini adalah karya terbesarnya, yang mengkaji konsep eksistensinya. Menurutnya, Ada sendiri terkait erat dengan "waktu", wujud dan waktu. Makna keberadaan hanya dapat dipahami dan ditafsirkan melalui keberadaan manusia.
Oleh karena itu, hermeneutika tidak lain adalah interpretasi dari masyarakat itu sendiri. Fakta ini menunjukkan bahwa selalu ada ruang dan waktu. Heidegger menyebut keadaan ini Dasein. Menurutnya, waktu juga nyata, dan justru dalam kerangka waktu inilah seseorang selalu memiliki kemungkinan dan peluang tersebut untuk menjadi alternatif bagi seseorang. Orang selalu memaknai “ada” dalam konteks ruang dan waktu. Manusia menentukan keberadaan, bukan sebaliknya. Heidegger awalnya adalah pendukung fenomenologi. Sederhananya, fenomenolog mendekati filsafat dengan mencoba memahami pengalaman yang tidak dimediasi oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi teoretis abstrak. Heidegger tertarik pada "menjadi" (atau apa artinya "menjadi").
Karya terkenalnya Being and Time telah dicirikan sebagai ontologi fenomenologis. Heidegger adalah seorang filsuf yang sangat dipengaruhi oleh gurunya Edmund Husserl. Edmund Husserl dikenal sebagai penemu fenomenologi untuk karya-karyanya Logical Investigations (1900–1901), Ideas (1913) dan beberapa karya lainnya.
Menurut Heidegger, pertanyaan tentang hakikat keberadaan hanya dapat diperlakukan secara ontologis dengan menggunakan Husserl. fenomenologi (metode reduksi fenomenologis). Bedanya, metode Husserl mengantarkan manusia pada “kesadaran”, sedangkan metode Heidegger mengarah pada “kemanusiaan”.
Dari sana, pemahaman abstrak Husserl dan kekonkretan Heidegger terungkap. Memang, Heidegger sangat dipengaruhi oleh fenomenologi gurunya Edmund Husserl. Tetapi Heidegger tidak menggunakannya hanya untuk memahami hakikat kesadaran manusia. Terutama dalam karyanya Being and Time, yang secara eksplisit didedikasikan untuknya sebagai penolakan terhadap fenomenologinya. Filsafat Heidegger adalah upaya untuk memahami makhluk yang mengungkapkan dirinya.
2
Pentingnya hermeneutika di gurun kehidupan spiritual masyarakat tidak disadari, meskipun para filosof telah lama menyebarkan pentingnya hermeneutika. Hal ini bisa dimaklumi karena menurut Mulyono kita cenderung berasumsi demikian. Hermeneutika diartikan sebagai "ilmu tafsir" dengan tetap mengabaikan sifat kritisnya.
Pada dasarnya, kita mengenal hermeneutika, yang diartikan sebagai kata kerja dari kata Yunani hermeneuin, yang artinya menerjemahkan atau menafsirkan. Kita juga tahu bahwa kata itu mengacu pada dewa Hermes, dewa dalam mitologi Yunani di Gunung Olympus, yang tugasnya membawa berita kepada orang-orang dan juga nasib orang-orang. Hermes menyampaikan pesan dari dunia lain dengan cara yang bisa dipahami orang dalam bahasa mereka sendiri.
Oleh karena itu, tugas Hermes tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi terlebih dahulu memahami, menerjemahkan, dan menjelaskannya kepada masyarakat, menurut Mulyono, tanpa disadari definisi tersebut digagas oleh Heidegger.
Memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan pesan dalam bahasa ini adalah rahim yang melahirkan hermeneutika. Dalam proses ini, hermeneutika memasukkan beberapa unsur yang sangat kompleks seperti asumsi, dialektika, bahasa dan realitas. Artikel ini mencoba mengeksplorasi pemikiran hermeneutika yang berpusat pada satu tokoh, yaitu Hans-Georg Gadamer.
Comments