Munggahan Sebagai Salah Satu Tradisi dalam Menjaga Ketahanan Nasional
Munggahan Sebagai Salah Satu Tradisi dalam Menjaga Ketahanan Nasional - A Rima Mustajab - Indonesia adalah negara dengan beragam suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Keberagaman ini menyatu dalam kebudayaan, sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat, yang membagi budaya menjadi tiga aspek: sistem budaya, sistem sosial, dan artefak. Ini berarti kebudayaan terdiri dari elemen-elemen kognitif, normatif, dan material. Di Indonesia, kebudayaan menjadi sesuatu yang unik dan terjaga dengan baik, didorong oleh keinginan masyarakat untuk melestarikan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun (Zaelani, 2019).
Tradisi Munggahan (Sumber: Medcom) |
Kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan, pasti mencerminkan kebudayaan, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara multikultural. Masyarakat mengalami perubahan dari tradisional menjadi modern. Masyarakat tradisional dikenal dengan kebudayaan yang kuat, yang berasal dari lingkungan alam, pengalaman sosial, dan warisan leluhur mereka. Pengetahuan ini terus diwariskan ke generasi berikutnya dalam bentuk yang mudah dipahami, meskipun sederhana, namun sarat makna (Fitrianita et al., 2018). Tradisi masyarakat berkembang sesuai dengan lingkungan sosialnya dan biasanya diwariskan secara lisan, perilaku, atau kebiasaan tanpa aturan tertulis yang baku.
Salah satu tradisi yang mencerminkan integrasi antara kebudayaan dan agama Islam adalah di kalangan etnis Sunda di Jawa Barat. Etnis ini dikenal dengan kebudayaan “Sunda Wiwitan,” yang mempertahankan pola kehidupan berdasarkan animisme dan dinamisme, serta praktik monoteisme kuno melalui konsep kekuasaan tertinggi yang disebut sang hyang kersa atau sikang sawiji-wiji, yang berarti Tuhan yang Maha Tunggal (Nurul Diva, 2020).
Ramadhan adalah bulan yang sangat dinanti oleh umat Islam. Dalam menyambut bulan suci ini, masyarakat Sunda memiliki tradisi yang masih dilestarikan hingga kini, yaitu Munggahan. Munggahan, yang berasal dari kata Sunda "munggah," berarti "naik" atau "keluar dari kebiasaan sehari-hari." Dalam konteks ini, Munggahan berarti meningkatkan diri menjadi lebih baik menjelang bulan Ramadhan (Danadibrata, 2006:727). Tradisi ini merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang kaya akan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Tradisi ini memiliki makna filosofis yang mendalam, berakar dari kepercayaan animisme dan dinamisme kuno, serta terus berkembang seiring waktu (Yuhana dan Syamsul Bahri, 2016:4).
Selain nilai religius, Munggahan juga mengandung nilai kerukunan dan kemasyarakatan, yang sesuai dengan identitas dan karakter bangsa Indonesia serta mendukung konsep Ketahanan Nasional. Berdasarkan fenomena ini, penulis ingin mendalami lebih jauh mengenai tradisi Munggahan dalam masyarakat Sunda serta menilai relevansi nilai-nilai tradisi ini dengan Ketahanan Nasional Indonesia.
1. Tradisi Munggahan
Agama memainkan peran penting dalam membentuk pandangan dunia masyarakat, mempengaruhi cara mereka melihat kehidupan. Pandangan tersebut berdampak pada perkembangan peradaban dan sejarah manusia. Agama tidak hanya memengaruhi cara manusia memandang diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan, tetapi juga membentuk sistem nilai dan kepercayaan yang dianut masyarakat. Tanpa sistem nilai ini, sulit membayangkan adanya peradaban yang berkembang.
Kata "Islam" berasal dari bahasa Arab, dari akar kata "aslama," yang berarti "sejahtera" atau "tidak bercacat." Dalam konteks bahasa Indonesia, istilah ini menjadi "selamat," mencerminkan bagaimana umat Islam dalam menjalankan ibadahnya selalu mengucapkan doa selamat.
Diskusi tentang tradisi dan agama, terutama Islam di Indonesia, sering kali menganggap keduanya sebagai entitas yang terpisah. Namun, sebenarnya, pengertian ini dibentuk oleh latar belakang sejarah tertentu. Istilah "tradisi," yang berasal dari bahasa Arab dan berarti kebiasaan, telah ada sejak masa pra-kolonial di Nusantara dan terus dipraktikkan hingga kini. Masyarakat Nusantara sering menggunakan istilah ini tanpa batasan yang jelas, menggabungkannya dengan praktik agama, adat, dan hukum.
Salah satu tradisi keagamaan yang terkenal di Indonesia adalah Munggahan. Tradisi ini masih dilaksanakan dengan antusias oleh masyarakat Muslim, khususnya di tanah Sunda. Di beberapa daerah di Jawa Barat, Munggahan dikenal dengan istilah berbeda, seperti Papajar di Bandung, dan Cucurak di Bogor. Munggahan dilakukan menjelang bulan Ramadhan, biasanya pada akhir bulan Sya’ban, dan merupakan bagian penting dari pelestarian budaya yang mencegah pengaruh modernisasi.
1.1 Proses Tradisi Munggahan
Pelaksanaan Munggahan bervariasi, tetapi umumnya melibatkan aktivitas sederhana seperti berkumpul bersama keluarga, makan bersama (botram), saling bermaafan, bersilaturahmi, dan berdoa bersama. Beberapa masyarakat juga merayakannya dengan berziarah ke makam orang tua atau sanak saudara yang telah meninggal, atau melakukan sedekah munggah (sedekah sehari menjelang puasa). Meskipun bentuknya berbeda di setiap daerah, inti dari tradisi ini tetap sama: menjaga dan meneruskan kebudayaan turun-temurun yang harus dipertahankan oleh generasi berikutnya.
Tradisi ini juga dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan merupakan bagian penting dari kearifan lokal. Meskipun sederhana, nilai-nilai yang terkandung dalam Munggahan melibatkan aspek spiritual dan sosial.
1.2 Makna Tradisi Munggahan
Secara etimologis, kata "Munggahan" berasal dari bahasa Sunda "unggah," yang berarti "naik" atau "meningkat." Tradisi ini melambangkan penyambutan bulan Ramadhan sebagai waktu yang suci dan mulia, di mana umat Muslim berharap dapat meningkatkan derajat spiritual mereka. Munggahan juga merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah, membersihkan diri dari kesalahan setahun yang lalu, dan mencegah perbuatan buruk selama Ramadhan.
Sebagian masyarakat melaksanakan Munggahan dengan berziarah, yang dianggap memiliki makna spiritual, menghubungkan kehidupan dunia dengan akhirat. Ziarah ini memperkuat keyakinan bahwa hubungan dengan leluhur dan Allah SWT tetap terjaga secara spiritual.
Selain aspek spiritual, Munggahan juga memiliki nilai sosial. Masyarakat Sunda yang merantau biasanya pulang kampung untuk merayakan Munggahan, atau setidaknya mengunjungi makam orang tua atau leluhur di kampung halaman. Hal ini menjaga hubungan sosial dan menghilangkan prasangka terhadap sesama. Munggahan juga berfungsi untuk mempererat kekerabatan dan menyelesaikan konflik yang mungkin ada di antara keluarga.
Tradisi ini membantu masyarakat Sunda menjaga kekerabatan dan hubungan sosial, serta mencegah perpecahan di antara mereka. Jarak yang dekat antara kampung halaman dan tempat tinggal memungkinkan masyarakat untuk melaksanakan Munggahan, menjaga kekerabatan yang erat.
2. Tradisi Munggahan Sebagai Bentuk Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional merujuk pada kondisi dinamis suatu bangsa yang mencakup semua aspek kehidupan nasional, seperti agama, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Konsep ini tidak hanya terkait dengan ketahanan militer, tetapi juga melibatkan seluruh komponen bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk memastikan kelangsungan hidup dan pencapaian tujuan bersama (Pranowo, 2010).
Saat ini, ancaman terhadap ketahanan nasional Indonesia lebih bersifat internal dibandingkan ancaman eksternal seperti penjajahan di masa lalu. Ancaman-ancaman ini meliputi bencana alam, penyakit, kemiskinan, pengangguran, penyalahgunaan narkotika, dan masalah sosial-politik. Banyak dari ancaman tersebut berakar pada masalah moral dan hubungan sosial antar warga. Misalnya, kemiskinan dan pengangguran dapat diatasi dengan kepedulian dan solidaritas antar sesama warga negara.
Tradisi Munggahan, yang merupakan praktik khas umat Islam di Indonesia untuk menyambut bulan Ramadhan, mengandung dua nilai utama yang relevan dengan ketahanan nasional, yaitu nilai keagamaan dan nilai toleransi serta saling berbagi. Kedua nilai ini, jika dipahami dan diterapkan dengan baik, dapat menjadi alat penting dalam menghadapi tantangan ketahanan nasional.
Pertama, nilai keagamaan dalam Munggahan mencerminkan ajaran Islam yang mendorong umat untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa dan menjaga sikap moral agar tetap berada di jalan-Nya. Dalam konteks ketahanan sosial, penerapan nilai ini sangat penting. Dengan memperkuat iman dan mengikuti ajaran agama, masyarakat dapat terhindar dari perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sehingga mengurangi ancaman terhadap ketahanan nasional. Kehidupan yang damai dan harmonis dapat tercipta ketika setiap individu mematuhi ajaran agamanya.
Kedua, nilai toleransi dan saling berbagi dalam tradisi Munggahan mengajarkan pentingnya kepedulian terhadap sesama, khususnya kepada mereka yang membutuhkan. Nilai ini sangat signifikan dalam konteks ketahanan nasional, terutama dalam mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Dengan adanya kesadaran sosial, masyarakat dapat saling membantu, mengurangi kemiskinan, dan menghadapi berbagai ancaman seperti penyakit, penyalahgunaan narkotika, dan masalah sosial-politik. Sikap saling peduli dan berbagi juga memperkuat jaringan sosial, menjaga stabilitas masyarakat, dan mengurangi ketegangan sosial.
Kesimpulan
Tradisi Munggahan merupakan praktik tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda menjelang bulan Ramadhan. Tradisi ini memiliki makna yang mendalam, tidak hanya sebagai persiapan spiritual untuk menyambut bulan suci, tetapi juga sebagai bentuk pengingat akan laporan amal-amal kepada Allah. Selain itu, Munggahan mengandung nilai-nilai tinggi yang mencakup kedekatan dengan Tuhan dan cara berinteraksi dalam masyarakat.
Dalam konteks ketahanan nasional, Munggahan menawarkan kontribusi signifikan melalui nilai-nilai keagamaan dan sosialnya. Dengan memperkuat iman dan mempraktikkan sikap toleransi serta saling berbagi, tradisi ini berperan penting dalam memperkuat ketahanan nasional Indonesia. Tradisi ini membantu menjaga keharmonisan sosial, mengurangi ancaman kemiskinan, dan mempererat hubungan antar warga, sehingga mendukung ketahanan bangsa secara keseluruhan.
Comments