ANALISIS FAKTOR SANTRI DENGAN NON MUSLIM PADA SAAT RAMADHAN
ANALISIS FAKTOR SANTRI DENGAN NON MUSLIM PADA SAAT RAMADHAN
Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah:
Metodologi penelitian
Dosen Pengampu: H. NUR SAID, S.Ag., M.A., M.Ag.
Disusun oleh:
1. Autiya Nila Agustina (2030210073)
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AJARAN 2022
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Seorang santri pada saat ini sangat di butuhkan untuk
merubah kehidupan dari warga sekitar dan juga sangat tepat untuk warga yang
dulunya non muslim dan sekarang pindah menjadi Islam. Mereka itu sangat tepat
belajar dengan seorang santri yang sudah lulus dari pondok dan sekarang
mengajar ilmunya di halaman rumahnya sendiri. Karena mencari ilmu pendidikan
itu tidak mudah dan kita harus mementingkan ajaran agama itu dalam kehidupan sehari-hari
untuk mendidik anak. Jadi, selain pergi ke rumah kiai kita sangat tepat
ketika memilih belajar dengan seorang santri yang di situ banyak di ajarkan ilmu
agama.
Di dalam pondok banyak di ajarkan ilmu agama seperti
mengaji kitab kuning dan juga kitab yang lainnya, dan selain mengaji kitab di
situ juga diajarkan sopan santun dan cara menghargai orang lain dan berkeluarga
dengan masyarakat sekitar, dari pengajaran yang sangat banyak di berikan oleh
guru kita saat di pondok jadi kita sangat tepat ketika warga non muslim itu
belajar dengan santri yang ada di sekitar, ketika kamu ingin mempelajari agama
untuk merubah kehidupanmu menjadi lebih baik lagi kedepannya.
Banyak faktor yang bisa didapatkan ketika seorang non
muslim yang tidak tahu apa apa mengenai agama dan akhirnya bertanya dan belajar
kepada santri yang disitu banyak diberikan ilmu agama dari kitab-kitab yang di
pelajari selama di pondok, dan mengaji kitab suci Al-Qur’an selama di pondok, ilmu
agama itu sangat luas dan banyak,jadi non muslim yang belum mengerti agama bisa
bertanya terlebih dahulu dan bagaimana sih asyiknya dalam mempelajari agama
untuk bekal masa depan, santri pun diajarkan sopan santun yang sangat
dibutuhkan dalam bermasyarakat dan menghormati orang lain ketika kita
membutuhkan bantuan untuk kegiatan yang kita lakukan,jadi santri itu memiliki
faktor untuk merubah kehidupan non muslim tersebut menjadi lebih baik lagi
kedepannya.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan santri
dan non muslim,?
2. Faktor apa yang kita lakukan untuk
membuat non muslim berubah agama,?
3. Bagaimana cara santri mengajarkan
agama kepada seorang non muslim,?
3.Tujuan penelitian
1.
Untuk mengetahui pengertian dari kedua
istilah tersebut
2.
Untuk memahami bagaimana seorang santri
mengajarkan agama
3.
Kepada non muslim
BAB 2
Tinjauan Pustaka
1. santri
dan non muslim
Santri adalah seseorang yang berusaha mendalami agama
islam dengan sungguh-sungguh atau serius. kemana guru pergi dan menetap.
Sedangkan agama non muslim adalah orang yang tidak
beragama Islam dalam pergaulan sehari-hari disebut dengan non muslim atau orang
yang tidak beragama Islam. Maksudnya, orang yang tidak dan atau belum beragama
Islam itu artinya adalah orang yang belum lagi bisa menerima kebenaran dari
ajaran agama Islam.
2. yang
membuat non muslim pindah agama
Ketika non muslim merubah agamanya itu dari dirinya
sendiri dan juga dari niatnya sendiri, kita sebagai seorang santri hanya bisa
mengajarkan dan memberikan arahan ketika ia bertanya kepada kita.
kita tidak berhak mempengaruhi mereka untuk pergi atau
pindah agama, tetapi kita hanya berhak memberikan arahan dan ilmu ketika beliau
ingin mempelajari agama Islam yang isinya sangat luar biasa ini, jadi faktor
yang di berikan kepada non muslim ketika pindah agama itu harus mengarahkan
mereka dengan baik dan kita pun harus menuntun mereka untuk membaca syahadat
dan mempelajari agama untuk kehidupan sehari-harinya.
3. santri
mengajar kepada non muslim
Orang yang dulunya bergama non muslim pasti dia tidak
tahu agama Islam dan tidak paham bagImana sih agama Islam itu, kita harus
memahkan sedikit demi sedikit ajaran Islam kepada non muslim yang baru belajar,sabar
dan harus teliti ketika kita memberikan arahan kepada non muslim yang pindah
menjadi Islam, ketika kita memberikan pengetahuan kepada mereka itu harus benar
agar tidak terjadi salah paham.
Santri yang sekarang memiliki banyak ilmu agama itu harus
sabar mengajarkan sedikit demi sedikit ajaran agama kepada non muslim yang baru
belajar agama untuk bekal hidup mereka kedepannya.
C Landasan Teori
- Kita
meyakini bahwa dasar pijakan hubungan muslim dengan non-muslim adalah dua
ayat berikut,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama, serta tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarang kalian berkawan dengan orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, serta membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka Itulah orang-orang yang zalim1
Ayat kedua
menetapkan landasan hubungan antara muslim dan non-muslim di waktu perang.
Yaitu tidak boleh memberi loyalitas dan pertolongan. Hal ini telah kita
bicarakan dalam bab (Islam dan Jihad) terkait dengan hubungan di saat perang.
Dalam bab ini kita akan membahas secara khusus tentang hubungan antara muslim
dan non muslim di waktu damai. Ayat di atas telah merangkum dua perkara:
berbuat baik dan adil.
Kedua hal itu
dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka
kafir selama tidak menantang dan memerangi orang Islam, serta menindas
keluarganya. Adapun orang-orang yang berdamai, mereka yang tidak memerangi kaum
muslimin karena urusan agama, tidak mengusir mereka dari kampung halaman, dan
tidak terlihat hendak mengusir mereka.
Maka Allah
tidak melarang untuk berbuat baik dan adil kepada mereka. Allah mencintai
orang yang berlaku adil, sebagimana Dia mencintai orang yang berbuat baik. Adil
adalah hendaknya kalian memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi.
Sementara berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya
sebagai bentuk kebaikan dari dirimu.
Adil adalah
mengambil hakmu dan tidak lebih, sementara berbuat baik adalah mengalah sedikit
dari hak yang kamu miliki. Maka, kalau kita perhatikan, Alquran menggunakan
lafadz ”birr” (baik atau bajik) untuk orang-orang yang menentang. Ia merupakan
kata yang dipakai oleh Islam terkait dengan hak yang paling suci setelah hak
Allah. Yaitu hak berbakti kepada orang tua.
- Ahli kitab
mempunyai kedudukan tersendiri dalam muamalah sosial dan hukum syariat.
Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang yang menjalankan agamanya
berdasarkan kitab samawi, seperti Yahudi dan nasrani dimana mereka
beragama berdasarkan Taurat dan Injil.
Alqurang
melarang untuk berdialog dengan mereka kecuali dengan cara yang baik, sehingga
tidak menimbulkan perdebatan, menyulut api fanatisme dan kebencian dalam hati.
Allah SWT berfirman,
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آَمَنَّا بِالَّذِي
أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ
وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Janganlah kalian berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.2
Islam
membolehkan memakan makanan ahli kitab, menikahi perempuan-perempuan mereka
yang terjaga (suci), disertai dengan penetapan untuk membangun bangunan
keluarga di atas landasan cinta dan kasih sayang.
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
Di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Lalu Dia
menghadirkan di antaramu rasa kasih dan sayang.3
Demikianlah,
Allah membolehkan bagi seorang muslim untuk menjadikan wanita non-muslim
sebagai penata rumah tangganya, sekaligus patner dan ibu untuk anak-anaknya.
Juga Allah membolehkan bibi dan paman mereka berasal dari non muslim. Begitu
juga kakek dan nenek mereka.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا
آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kalian. Makanan kalian halal (pula) bagi mereka. (Juga dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al- Kitab sebelum kalian bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik4
Inilah hukum
bagi ahli kitab, baik mereka berada di negara mereka atau di negara Islam.
Ahlu Dzimmah
Jika non
muslim hidup bersama kaum muslimin di negara Islam, dan mereka adalah penduduk
serta keturunan dari negara itu, maka mereka dalam perjanjian permanen yang
disebut dengan ”aqdu dzimmah”. Dzimmah artinya perjanjian, jaminan dan
keamanan. Dinamakan seperti itu karena mereka memiliki perjanjian dengan Allah
dan Rasul, serta komunitas kaum muslimin. Mereka hidup di bawah naungan Islam,
bersama komunitas muslim dengan aman dan tenang. Mereka berada dalam jaminan
dan keamanan kaum muslimin, berdasarkan ”aqdu dzimmah” antara mereka dan kaum
musliminin. Perjanjian ini memberi hak kepada non muslim, menyerupai apa yang
ada di zaman sekarang dengan pemberian kewarganegaraan, yang diberikan oleh
negara untuk menjaga stabilitas politik. Dengan itu, mereka mendapatkan hak-hak
sebagaimana penduduk asli sekaligus menjalankan kewajiban-kewajibannya.
Karena itu,
seorang dzimmi adalah bagian dari penduduk negeri Islam, sebagaimana yang
diungkapkan oleh para ahli fiqih dalam berbagai madzhab dengan ungkapan
penduduk negeri. Dalam istilah fiqih ia bisa juga disebut sebagai warga negara
seperti dalam istilah politik sekarang. Bahkan sebenarnya kewarganegaraan
adalah perkembangan lanjutan dari aqdu dzimmah yang dimulai
pertama kali oleh kaum muslimin.
Jika kata
“dzimmah” tidak bisa diterima oleh kebanyakan orang zaman sekarang karena
ketidaktahuan mereka tentang arti yang sebenarnya, dan karena prakteknya dalam
sejarah yang keliru sehingga sebagian menganggap mereka sebagai penduduk kelas
dua, kita tidak melihat adanya penghalang untuk mengganti dengan istilah
warganegara yang banyak dikenal oleh kebanyakan orang zaman sekarang. Kaum
muslimin adalah orang yang pertama kali memberi hak-hak kepada semua penduduk
seraya menganggap orang yang hidup bersama mereka dengan lain agama berada
dalam dzimmah dan jaminan mereka, bahkan berada dibawah perjanjian Allah dan
Rasul-Nya.
Antara Aqdu Dzimmah dan Kewarganegaraan
Barang siapa
yang mendalami secara terperinci mengenai hukum-hukum aqdu dzimmah,
maka ia akan mengetahui bahwa sebagian besarnya sejalan dengan prinsip-prinsip
kewarganegaraan.
- Aqdu
dzimmah adalah perjanjian permanen yang akan
diwarisi oleh anak cucu tanpa perlu memperbarui. Demikian juga dengan
prinsip kewarganegaraan.
- Tidak dibenarkan
kaum muslimin atau pemimpin membatalkannya. Bahkan, ia adalah akad yang
mengikat dalam hak-hak mereka, sedangkan ahlu dzimmah sendiri
bisa membatalkannya. Begitu juga dengan kewarganegaraan, seseorang bisa
mendapat status warganegara di mana negara tidak boleh mencabut hak
tersebut. Namun, yang mendapat warganegara bisa mencabutnya jika ia
menghendaki.
- Jika
seseorang membatalkan aqdu dzimmah, pembatalan itu tidak
berlaku bagi istri dan anak-anaknya, jika mereka masih tetap senang
menjadi warga negara Islam. Hal seperti ini tidak dijumpai dalam
perjanjian manapun dan ia tidak seperti kewarganegaraan saat ini.
- Aqdu
dzimmah bukanlah akibat dari peperangan atau
penaklukan. Akan tetapi ia bisa terwujud hanya sekedar tinggal di negara
Islam selama satu tahun atau bahkan kurang, menurut mayoritas ulama’. Jika
non muslim bermaksud untuk memperpanjang tinggal di negara Islam lebih
dari setahun, maka ia diberi pilihan untuk mendapat warga negara dan
berstatus sebagai dzimmi atau kembali ke negaranya. Hal
ini menyerupai undang-undang modern tentang perolehan warganegara ketika
seseorang tinggal di negara beberapa tahun.
- Aqdu
dzimmah dilakukan oleh Imam atau wakilnya
sebagai representasi kaum muslimin, ia seperti pemberian warga negara oleh
suatu negara.
- Semua orang
boleh menjadi ahlu dzimmah apapun agama mereka, bahkan
meskipun mereka yang tidak beragama, selama orang ini rela untuk hidup
bersama kaum muslimin dan taat terhadap undang-undang. Ini adalah pendapat
Hanifiyah, riwayat imam Malik dan Ahmad. Hal ini menyerupai apa yang ada
pada zaman sekarang dimana negara memberi kewarganegaraan kepada siapa
saja, tanpa melihat agama dan keyakinan.
- Hak-hak
ahlu dzimmah pada dasarnya seperti hak-hak seorang warga negara. Ada
kaidah yang telah kita kenal, ”lahum maa lana, wa’alihim maa
alaina (mereka mendapat hak dan kewajiban sama seperti kita).
Mereka menikmati hak-hak mereka secara penuh dalam hal aqidah, ibadah,
perdata. Mereka mendapatkan jaminan keselamatan harta, darah dan
kehormatan. Mereka mempunyai hak tunjangan sebagaimana kaum muslimin dan
mereka juga harus tunduk terhadap undang-undang umum dan peradilan umum.
Mereka mempunyai kebebasan mengadu ke pengadilan untuk menjaga hak-hak
mereka dari segala bentuk kezaliman. Bahkan, meski yang terdakwa adalah
seorang khalifah sekalipun, seorang dzimmi bisa menuntut sebagaimana kaum
muslimin yang lain.
- Kita
melihat bahwa prinsip-prinsip dasar kewargenageraan yang ada pada zaman
sekarang sama dengan aqdu dzimmah, dan mungkin juga sesuai
dengan batasan-batasan peraturan yang lain. Perlu diketahui bahwa
syarat-syarat yang disebutkan oleh ulama dahulu adalah hasil karya
ijitihad pada waktu itu untuk kemaslahatan kaum muslimin, yang kemudian
disetujui oleh para ulama yang hidup pada zamannya. Ia bukan merupakan
suatu keharusan yang berlaku sampai hari kiamat.
Muslim yang tinggal di negara non muslim
Jika seorang
muslim tinggal di negara non muslim, dia tetap harus konsisten untuk berbuat
baik dan adil sebagaimana yang diserukan Allah SWT kepada seluruh manusia
dengan satu syarat: selama negara itu menjamin kebebasan agama dan hak-hak
asasi. Perlu kita ketahui bahwa sepertiga kaum muslimin sekarang hidup sebagai
minoritas di negara non muslim. Mereka menjalankan kewajiban-kewajiban
sebagaimana penduduk pribumi. Secara prinsip, negara menjamin hak-hak dan
kebebasan beragama mereka sesuai dengan perjanjian internasional yang menyeru
kepada penjagaan hak-hak manusia dan kebebasannya meskipun negara-negara besar
yang ada di dewan keamanan PBB, terutamanya Amerika, berusaha untuk melanggar
perjanjian itu, demi kepentingan dan ambisinya.
Masalah
hijrahnya kaum muslimin ke negara non muslim, atau cara mereka mendapatkan
kewarganegaraan dari negara itu, kondisinya memang berbeda dengan kondisi pada
masa lalu. Meskipun hukum dasarnya adalah boleh dan bisa jadi bagi sebagian
kaum muslimin ia menjadi suatu yang terlarang atau wajib sesuai dengan keadaan
dan niat mereka, tetapi kita hendak membicarakan realita yang ada sekarang.
Tidak ada satu
negarapun pada saat ini yang tidak dihuni orang Islam. Kebanyakan mereka adalah
penduduk asli. Maka perlu ada penyelesaian secara islami. Tidak tepat jika kita
membicarakan tentang minoritas muslim sekarang dengan cara pandang hijrah atau
tajannus (menikah dengan penduduk setempat) seperti yang terjadi dahulu,
lantaran keadaan sejarah yang memang sudah berubah sama sekali, yang tidak
mungkin menyatu dengan realita kehidupan kaum muslimin sekarang. Inilah yang
mendorong kita untuk kembali kepada kaidah dasar:
Pada dasarnya bagi setiap muslim boleh tinggal di belahan
bumi manapun, bersama bangsa manapun, di bawah undang-undang apapun, selama
diberi kebebasan untuk menjalankan kewajiban agamanya, dan mendapatkan
hak-haknya sebagaimana penduduk setempat. Hal itu berdasarkan pesan Allah kepada manusia di dalam
ratusan ayat, baik individu maupun kolektif, tanpa melihat tempat tinggal.
Agama Islam adalah agama Allah untuk seluruh manusia. Banyak dari sahabat yang
berasal dari berbagai kabilah yang berjauhan ketika masuk Islam, Rasulullah
memerintahkan mereka untuk kembali ke tempat asal kabilah mereka. Ini sebagai
bukti tentang disyariatkannya tinggal di negara non Islam. Mereka yang
berhijrah ke Habasyah juga tidak kembali ke Madinah meskipun telah berdiri
negara Islam. Mereka tinggal disana sampai terjadi perang Khaibar tahun ke
tujuh hijriyah. Tidak disebutkan dalam kitab sejarah manapun bahwa Rasulullah
Saw meminta mereka untuk menyusul dengan alasan tidak boleh hidup di negara
orang kafir.
Ketika seorang
muslim tinggal di lingkungan masyarakat non muslim, maka ia wajib berinteraksi
dengan masyarakat tersebut dengan akhlak yang damai, bukan seperti di saat
perang. Ia terikat dengan perjanjian kewarganegaraan, atau perjanjian ijin
tinggal yang hal itu menghimpun dirinya untuk berbaur dengan masyarakat di
tempat tertentu, dibawah undang-undang yang berlaku. Setiap muslim harus
konsisten dengan kewajibannya sebagai warga negara, menuntuk hak-haknya dalam
batas-batas hukum syariah, serta hendaknya menjadi elemen positif dalam
masyarakat tersebut, menyeru kepada yang makruf, mencegah kemungkaran, mengajak
kepada jalan Allah, ikut serta dalam aktivitas yang dibolehkan, berdialog
dengan yang lain dalam setiap permasalahan yang diperselisihkan, dan
bekerjasama dalam hal-hal yang diridai Allah. Pada waktu yang sama, ia harus
menahan diri untuk tidak ikut serta dalam hal-hal yang dianggap maksiat oleh
syariat Islam. Tidak cukup baginya menyeru manusia secara teori saja, akan
tetapi ikut berperan aktif dalam kehidupan sosial dan politik dengan tujuan
mempebaiki keadaan masyarakat yang ada, menebarkan ruang keadilan, toleransi
dan dialog, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan di atas materialistis hewani
yang sedang menjalar di negara-negara di dunia, di mana ia menjadi bahaya besar
bagi kelangsungan misi kehidupan manusia di dunia ini. Kira-kira inilah maksud
hadits Rasulullah Saw tentang suatu kaum yang berada di kapal. Mereka
melakukan undian. Sebagian mendapat tempat di lantai atas, dan sebagian di
bawah. Maka, jika orang yang di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang
yang ada di atas. Karena itu, mereka berpikir, ”Kita lubangi saja bagian kami
agar tidak mengganggu orang-orang yang di atas”. Apabila mereka
membiarkan keinginan tersebut, hancurlah semua. Namun jika mereka yang di atas
mencegah, selamatlah semuanya. Hadits ini menekankan pentingnya
persatuan masyarakat dengan ragam keturunan mereka berikut keharusan
bekerjasama untuk mencegah bahaya yang mengancam semua.
D. METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang saya dapat itu dari wawancara dengan santri
dan kepada masyarakat sekitar yang ada di sekitar dari seseorang non
muslim,dengan melakukan wawancara kepada mereka kita bisa mendapatkan informasi
dengan detail dan jelas untuk kita,
Dengan adanya metode penelutuan ini kita dengan mudah
mencari infornasi yang di butuhkan ketika kita melakukan penelitian,karena
memberikan pengaruh baik kepada seseorang yang baru saja pindah ke agama islam
itu sangat di butuhkan agar mereka tau bagaimana itu agama islam yang harus di
pelajari untuk bekal kehidupan masa depan,jadi dengan cara wawancara ini kita
mendapatkan ilmu dalam melakukan penelitian kualitatif ini.
[1]
Q.S.
al-Mumtahanh: 8-9.
[2]
Q.S.
al-Ankabut: 4.
[3]
Q.S.
al-Rûm: 21.
[4]
Q.S.
al-Mâ`idah: 5.
Comments