Bagaimana Akulturasi Islam dalam Tradisi Mappasikarawa?

 Bagaimana Akulturasi Islam dalam Tradisi Mappasikarawa? - Mappasikarawa adalah salah satu tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat Bugis, khususnya di Sulawesi Selatan. Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan kepada seseorang yang dihormati atau dituakan dengan cara mencium tangan sebagai simbol penghormatan dan pengakuan terhadap kedudukan sosialnya. Seiring masuknya Islam ke tanah Bugis, tradisi ini mengalami akulturasi yang menjadikannya selaras dengan ajaran agama Islam.


Asal-Usul dan Makna Mappasikarawa


Mappasikarawa berasal dari kata "sikarawa," yang berarti saling menghormati. Dalam budaya Bugis, tradisi ini dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua, pemimpin adat, atau tokoh agama. Sebelum masuknya Islam, Mappasikarawa memiliki makna yang lebih kental dengan adat dan sistem sosial masyarakat Bugis yang berlandaskan pada konsep siri' (harga diri) dan pangadereng (norma sosial dan adat).


Akulturasi Islam dalam Tradisi Mappasikarawa


Dengan berkembangnya ajaran Islam di Sulawesi Selatan, Mappasikarawa mengalami penyesuaian agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Beberapa bentuk akulturasi Islam dalam tradisi ini antara lain:


1. Mengubah Makna dari Sekadar Tradisi Adat Menjadi Bentuk Adab Islami

Islam sangat menekankan pentingnya menghormati orang tua dan ulama. Dalam ajaran Islam, sikap hormat ini bisa diwujudkan dengan mencium tangan sebagai bentuk takzim, bukan sekadar tradisi adat, tetapi juga sebagai wujud penghormatan kepada orang yang lebih berilmu atau lebih tua.



2. Menghilangkan Unsur Syirik atau Kepercayaan Mistis

Sebelum Islam masuk, beberapa praktik Mappasikarawa bisa dikaitkan dengan unsur kepercayaan animisme atau penghormatan yang berlebihan. Dengan masuknya Islam, penghormatan ini lebih diarahkan kepada adab Islami yang tidak bertentangan dengan tauhid.



3. Dilakukan dengan Doa dan Nilai Keislaman

Dalam praktik yang telah diislamisasi, Mappasikarawa sering kali diiringi dengan doa atau nasihat Islami dari orang yang dihormati. Ini menambah dimensi spiritual dalam tradisi tersebut.



4. Membatasi Subjek yang Dihormati

Islam mengajarkan bahwa penghormatan tidak boleh berlebihan dan harus tetap dalam koridor syariat. Oleh karena itu, dalam praktik modern, Mappasikarawa hanya dilakukan kepada orang-orang yang memang pantas dihormati, seperti orang tua, ulama, atau pemimpin yang adil.




Kesimpulan


Akulturasi Islam dalam tradisi Mappasikarawa menunjukkan bagaimana ajaran Islam mampu menyatu dengan budaya lokal tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur yang ada. Islam memberikan pedoman agar tradisi ini tetap selaras dengan ajaran tauhid, sehingga tetap menjadi bagian dari identitas masyarakat Bugis yang berpegang teguh pada adat dan syariat Islam. Tradisi ini menjadi contoh bagaimana Islam tidak selalu menggantikan budaya lokal, tetapi justru dapat menyempurnakan dan memberikan nilai-nilai yang lebih tinggi sesuai dengan ajaran agama.




Artikel telah dibuat dan siap untuk dipublikasikan di blog Anda. Jika ada revisi atau tambahan yang diinginkan, silakan beri tahu!


Comments

Postingan Populer

Apa yang membuat Sultan Muhammad I memutuskan untuk mengirim Syekh Subakir dan Wali Songo ke tanah Jawa

Cara Mengajar Anak SD dengan Baik dan Benar

Sholat Taubat Nasuha: Pintu Pengampunan dan Kesucian Hati